The King In Love Ep 1 Part 2

Sebelumnya...


Si pembunuh yang siap menghabisi San, langsung pergi ketika Wang Jeon datang. San menangis dan berusaha membangunkan Bi Yeon. Melihat jubah San yang dikenakan Bi Yeon, Wang Jeon pun mengira Bi Yeon adalah San. Wang Jeon langsung mendorong San dan memeluk tubuh Bi Yeon.


Kedua preman itu, yg masih mengintip dari tempat persembunyian mereka, ternyata mengenali Wang Jeon sebagai putra kedua dari Menteri Pertahanan. Saat melihat Wang Jeon memberikan kode pada si pembunuh untuk pergi, mereka pun sadar kalau Wang Jeon dan si pembunuh berada di pihak yang sama.


Setelah pembunuh itu pergi, Wang Jeon pun bergegas membawa Bi Yeon yang disangkanya San.


Menteri Eun langsung berlari keluar rumah begitu Wang Jeon dan rombongan tiba. Menteri Eun panic dan langsung menggendong Bi Yeon yang disangkanya San. Namun begitu, melihat wajah gadis yang digendongnya bukanlah wajah San, ia pun langsung terdiam. Sementara Wang Jeon menjelaskan, kalau ia tak sengaja menemukan tandu keluarga Menteri Eun saat mau pergi berburu. Wang Jeon juga minta maaf karena datang terlambat dan tidak bisa menyelamatkan Madan Kim.


Menteri Eun lantas menyerahkan tubuh Bi Yeon pada dua pelayannya. Setelah itu, bergegas membuka tandu dan mendapati San yang meratapi kematian sang ibu. Menteri Eun pun lega putri semata wayangnya masih hidup. Sementara Wang Jeon sibuk memperkenalkan dirinya, tapi Menteri Eun tidak menanggapinya sama sekali.


Won menyalahkan dirinya atas tragedy yang menimpa keluarga Menteri Eun. Ia menyesal tidak mendengarkan kata-kata Rin. Rin pun meyakinkan Won, kalau San tidak akan mati begitu saja. Won ingin tahu, seberapa parah luka yang diterima San. Rin mengaku tidak tahu, tapi ia berjanji akan mencari tahu.


Rin lantas mengajak Won kembali ke istana. Namun Won menolak karena ingin menyampaikan pesan terakhir ibu San pada San. Rin pun berkata, dia yang akan menyampaikannya. Tapi Won berkeras ingin menyampaikan pesan itu secara langsung pada San.


Tabib tampak mengobati luka sayatan di pipi Bi Yeon. Sementara di kamar lain, San masih meratapi jasad ibunya. Pada sang ayah, San mengaku itu karena dirinya keras kepala jadi sang ibu terpaksa membagi pengawal mereka untuk melindungi San.

“Itulah sebabnya tidak banyak pengawal yang melindungi ibu.” Ucap San.


Menteri Eun benar-benar murka dengan semua kejadian ini. Pelayannya, Goo Hyung, menuturkan bahwa menurut saksi mata, orang-orang mereka sudah mati saat Wang Jeon tiba. Menteri Eun pun bertanya, apa ada perampok yang selamat.

“Tidak ada seorang pun. Tampaknya anak buah Tuan Wang yang membunuh mereka semua. Ada lebih dari dua puluh perampok.” Jawab Goo Hyung.

“Sepuluh pengawal kita mati di tangan dua puluh perampok kecil?!” marah Menteri Eun.


“Mereka bukan perampok biasa! Aku menawari mereka uang tapi mereka tidak tertarik. Mereka hanya ingin membunuh semuanya. Mana ada perampok yang enggan diberi uang?” ucap San.

“San, apa menurutmu Tuan Wang mengira Bi Yeon adalah dirimu?” tanya Menteri Eun.

“Ya, Bi Yeon mengenakan pakaianku.” Jawab San.

“Apakah para perampok itu berusaha membunuh Bi Yeon yang mengenakan pakaianmu?” tanya Menteri Eun.

“Tidak. Mereka mencoba membunuhku, tapi Bi Yeon melompat menghadangku dan terluka.” Jawab San.

“Begitu rupanya. Kalau begitu... kita biarkan saja seperti itu. Mulai sekarang, anak yang terluka itu bukanlah Bi Yeon, tapi dirimu, San.” Ucap Menteri Eun.


Menteri Eun lantas menyuruh Goo Hyung menyebarkan isu kalau wajah San terluka parah, jadi San tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan umum. Menteri Eun juga menyuruh San pergi dari rumah untuk sementara waktu.

“Kenapa? Sampai kapan?” tangis San.

“Jika ada seseorang yang merekayasa para perampok untuk mengatur hal yang seperti itu, kau harus pergi jauh sampai kita tahu siapa dan untuk apa dia melakukan ini.” jawab Menteri Eun.

“Bagaimana dengan ibu?” tanya San.


“Mulai sekarang, dia bukan ibumu. Kau harus memanggilnya Nyonya.” Jawab Menteri Eun.

“Lantas... apa ayah juga?” tanya San.

“Jangan panggil aku ayah lagi. Dengan begitu, kau dan keluarga ini bisa terus melanjutkan hidup.” jawab Menteri Eun.


San pun menangis. Menteri Eun yang juga telah menitikkan air mata, menarik San ke dalam pelukannya.


Won dan Rin memanjat pagar rumah Menteri Eun. Rin menyuruh Won tetap disana, sementara ia akan mengecek situasi di dalam. Tapi begitu Rin pergi, Won melihat San. Won pun langsung turun tapi malah terpeleset.


Namun saat bangkit, Won tidak menemukan San dimana-mana. Saat tengah kebingungan mencari San, San pun muncul di belakangnya dengan bersenjatakan tongkat kayu. San mengira Won adalah komplotan si pencuri. Won pun berusaha menjelaskan, kalau ada alasan kenapa ia tidak masuk lewat pintu depan. Won bilang ingin menyampaikan pesan terakhir ibu San.

“Hari ini aku ada di pegunungan. Sebelum nyonya menghembuskan nafas terakhirnya, aku bertemu dengannya, dan ia memintaku untuk menyampaikan mandat terakhirnya pada putrinya.” Ucap Won.


San pun marah mendengarnya. Ia mendesak Won ke pohon dan bertanya kenapa Won tidak menolongnya. Won mengaku, ia diam saja karena takut. Won lantas menjauhkan tangan San darinya. Saat itulah, ia melihat bekas darah Bi Yeon di lengan baju San.

“Kau si pelayan itu rupanya.  Orang yang selamat bersama anak gadis itu.” ucap Won.


Won lantas minta bantuan San untuk bertemu dengan San. San yang sudah tak sanggup bicara lagi, hanya menggelengkan kepalanya. Won kemudian menyuruh San menyampaikan pesan terakhir ibu San pada San. San mengangguk.

"Jangan membenci siapa pun. Selalu tersenyumlah seperti biasanya dan lanjutkanlah hidupmu.Itulah keinginan ibunya.” Jawab Won.


Tangis San pun kembali pecah. Tak lama kemudian, Rin datang. San pun bertanya, apa ibunya sangat kesakitan saat itu. San memanggil ibunya dengan sebutan nyonya. Rin dan Won pun menyangkalnya, untuk menenangkan San.


Lega, San langsung menangis dan terjatuh. Sontak, Rin langsung mengulurkan tangannya untuk membantu San, tapi keduluan Won.

“Jangan menangis. Aku sungguh minta maaf. Aku pengecut dan egois.” Ucap Won.


Tangis San makin kencang. Won pun menepuk2 bahu San, untuk menenangkan San. Sementara Rin, hanya bisa mematung melihat Won yang menenangkan San.

Kembali ke San dan Won dewasa…


San menatap kesal Won saat Won mengaku mengenalnya. Won pun akhirnya melepaskan tangan San setelah San mengatakan bahwa ia juga mengingat Won.Tapi tak lama kemudian, tangannya dipelintir San. San juga mendorong Won sampai jatuh.

“Tidak mungkin aku tidak mengenalimu. Aku sangat mengenal orang sepertimu.” Jawab San.


San lantas mengambil bolanya, lalu melemparkan bola itu pada temannya dan beranjak pergi. Rin menatap kepergian San dengan tawa geli. Won pun kesal ditertawakan seperti itu. Rin kemudian membantu Won berdiri. Won ngedumel panjang lebar gara-gara Rin diam saja melihatnya dipelintir dan didorong San. Won merasa, kalau ia harus memecat Rin sbg pengawal pribadinya.


Tapi sesuatu di kejauhan menarik perhatian Rin. Won pun langsung berhenti mengomel saat Rin menunjuk ke arah sesuatu yang dilihatnya.


Won dan Rin lantas menyusul San yang masuk menemui Guru Lee Seung Hyoo. Won pun mengenalkan dirinya sebagai Han Cheon dan Rin sebagai Qinglin. San yang merasa sikap Won kurang sopan, langsung mengkritisi Won.

“Melihat dan mendengar caramu berbicara, nama depanmu benar brengsek rupanya.” Ucap San.


Kesal, Won pun ingin menghajar San tapi langsung ditahan Rin. Tapi San dengan santainya mengklaim kalau itulah yang akan dikatakan gurunya. Rin pun bicara baik-baik, menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan mereka.

“Setiap bulan purnama, Guru menggelar kuliah untuk tamu-tamu.” Jawab San.

“Kudengar kau seorang guru legendaris, yang tak memiliki telinga untuk mendengar dan mulut  untuk berbicara.” Protes Won karena Guru Lee diam saja sedari tadi.

“Kukira kau hanya tidak tahu tata krama, tapi ternyata kau tidak dewasa dan juga tidak sopan.” Balas San.

“Itulah yang guru katakan?” tanya Won.

“Itu juga yang aku katakan.” Jawab San.

“Apa tidak ada cara?” tanya Rin dengan sopan.

Melihat kesopanan Rin, San pun segan menyahut. San kemudian memberitahu Won dan Rin kalau ada satu cara. San bilang, gurunya akan menjawab pertanyaan mereka yang lulus ujian saja.

“Jika ada ujian, apa yang harus kami lakukan?” tanya Rin.

“Bagaimana dengan Bokyeokgu?” tanya Guru Lee.

Guru Lee datang ke pinggir lapangan dengan membawa kendi wine nya untuk menyaksikan pertandingan San dan Won.


San membuat peraturan, siapa yang membuat lima poin duluan maka dialah yang keluar sbg pemenang. Won pun setuju dan meminta San memberitahunya jika ada peraturan lain.

“Apa kau belum pernah bermain Bokyeokgu?” tanya San.

“Aku pernah melihatnya, tadi sebelumnya.” Jawab Won.


Kasihan karena Won tak pernah main Bokyeokgu, San mengubah peraturan. Ia berkata, Won hanya cukup mencetak satu poin saja. Won pun tak terima dikasihani seperti itu. Rin buru-buru menengahi mereka. Ia setuju dengan peraturan San. Won pun mengoceh, kalau San akan menyesal karena sudah membiarkannya mencetak satu poin saja. Tapi San hanya menghela nafas malas saja mendengar ocehan Won.


Pertandingan dimulai. Bola dilemparkan ke atas. Won dan San berusaha memperebutkan bola itu. San dengan mudahnya menguasai bola itu. Tapi Won menggeser keluar lapangan demi merebut bola itu. Akibatnya, San mendapat satu poin. Won pun bingung. San dengan malas menjelaskan, kalau menyerang tubuh lawan tidak diperbolehkan, jadi karena itu ia mendapat satu poin.


Sementara di pinggir lapangan, Guru Lee asyik minum wine.


Pertandingan pun kembali berlanjut. San dengan sengaja menyodorkan bolanya ke hadapan wajah Won. Won berusaha merebut bola itu, tapi dengan sigapnya San mampu menghindar dan mempertahankan bola itu.

“Jika kau memohon, aku bisa menganggap ini sebagai latihan.” Ucap San.

Tentu saja, Won tak mau. Ia bilang, seumur hidupnya tak akan memohon pada wanita.


San pun dengan lihainya menarik bolanya dari hadapan Won, kemudian memukul bolanya masuk ke gawang.  Satu poin lagi untuk San. Won bengong melihat gawangnya kebobolan lagi. Sementara San menatap Won dengan wajah puas.

Pertandingan terus berlanjut hingga akhirnya San berhasil mencetak 4 poin.

Tinggal poin terakhir, San dan Won pun saling hadang. San bertanya, apa Won benar-benar ingin menang.

“Aku harus menang melawan lawan yang curang dan egois.” Jawab Won.

“Lihat siapa yang bicara.” Sinis San.


Won tak mau membiarkan gawangnya kebobolan lagi. Ia dan San saling kejar, memperebutkan bola. Won berhasil memukul bola, tapi bolanya bukan masuk ke gawang tapi malah memecahkan kendi wine Guru Lee.


Guru Lee langsung meratapi wine nya yang tumpah. Semua orang pun khawatir menatap ke arah Guru Lee. Pertandingan pun terpaksa dihentikan. Mereka semua mengiringi Guru Lee yang meratapi wine nya yang tumpah.


Won yang tak tahu arti wine itu bagi Guru Lee bertanya, apakah ada yang terluka kena bola. Rin yang juga tak tahu kalau wine itu adalah milik Guru Lee yang paling berharga, bertanya pada San, apa arti wine itu.

“Teman lama guru mengirimkan arak 12 kendi per tahun. Dia menyimpannya ditempat yang sulit untuk diakses agar tidak terlalu banyak minum, dan dia hanya minum secangkir per bulan. Jadi dia minum secangkir sambil sarapan di hari yang penuh semangat seperti hari ini. Dia sudah lama menyimpannya.” Jawab San.

Won pun dengan pedenya berjanji akan mengganti wine itu.


Won langsung menghadap Guru Lee. Ia berjanji, akan membawakan Guru Lee wine itu, bukan hanya 12 kendi tapi 24 kendi. Tapi Guru Lee tak mendengarkan ucapan Won dan memanggil Soo A, nama samaran San. Guru Lee melarang San bermain bokyeokgu lagi. Guru Lee bilang, hanya itulah cara untuk meredakan kemarahannya.

San pun panic. Ia langsung berlutut agar Guru Lee tidak melarangnya main polo. Won ikut berlutut, ia berjanji akan mengganti wine Guru Lee. Guru Lee pun tertarik dengan ucapan Won. Ia minta Won memberinya wine itu sebelum sarapan pagi besok.

San pun tak mau kalah. Ia juga janji akan menghidangkan wine itu saat sarapan pagi besok. Tapi Guru Lee tidak boleh melarangnya main polo. Guru Lee setuju.


“Arak cendawan? Mereka bilang arak itu langka, jadi bukankah itu pasti ada di rumah pembuatan arak istana?” tanya Won saat sudah berdua dengan Rin.

“Sekalipun demikian, kita butuh waktu dua hari untuk bisa kembali ke sini. Bagaimana kita bisa menghidangkannya untuk sarapan besok pagi?” ucap Rin.


Tak lama kemudian, Won dan Rin melihat San keluar dari kamar.  Won pun berniat mengikuti San. Sementara itu, teman2 San khawatir karena San akan pergi ke Gunung Ho Gae.

“Aku sudah pernah pergi ke sana.” Jawab San.

“Waktu itu kau ditemani Guru Besar. Selain Guru Besar Daewoon, takkan ada yang bisa mendaki ke sana.” Ucap mereka.

“Para petani ginseng dengan begitu mudahnya berkeliaran di gunung itu.” jawab San.

“Seluruh petani ginseng hanya mendaki sampai kaki gunung.” Ucap mereka.


Tapi San tidak peduli. San lantas melirik Won. Won langsung pura2 membetulkan sendalnya. San pun mendengus sebal melihat Won.


Won dan Rin mengikuti San sampai ke hutan. Rin merasa aneh. Ia bertanya, arak apa yang bisa didapatkan di tengah gunung gelap begitu. Tapi Won kekeuh mau mengikuti San. Tapi begitu menatap lurus ke depan, San nya udah hilang.


Saat sibuk mencari San, tiba2 San nongol dengan santainya di depan mereka. Won pun terkesiap, tapi ia masih sok dan mengatakan kalau bukan itu bukan urusan San saat San bertanya mereka mau kemana. San pun menyuruh Won pergi duluan. Won dengan sombongnya memanjat b ebatuan di hadapannya, tapi malah jatuh.


Menyerah, Won dengan angkuhnya berjanji akan memberi San uang asal San mau menunjukkan dimana arak itu.

San pun berdecak,  Apakah itu uangmu?  Uang yang akan kau berikan seenaknya itu... Apakah itu uangmu sendiri? Aku merasa sangat malu saat melihat orang-orang menyombongkan uang pemberian dari orang tuanya yang berharga.


Won malah tertawa dan membuat kontak mata dengan Rin. Rin pun langsung bertanya dengan sopan dimana wine itu.


San pun langsung menunjuk ke arah gunung yang terjal.

“Tidak ada jalan untuk di daki bagi orang awam. Bahkan dari sekolah kami, Mata Naga, hanya ada satu orang yang terlatih yang sanggup mendakinya.” Ucap San.

“Pria sejati, sejatinya tidak mengirim gadis seorang diri untuk menyusuri jalan mendaki yang gelap dan berbahaya.” Jawab Won.

Won lalu menanyakan pendapat Rin.

“Sejak muda, kami selalu menjaga kebugaran tubuh kami. Kami takkan memperlambat jalanmu.” Ucap Rin pada San.

“Kurasa kalian akan memperlambatku.” Jawab San, lalu jalan lagi.


Tapi Rin menghentikan langkah San. Ia membujuk San untuk pergi bersama mereka. San pun menunjuk Won, dia juga? Won langsung tersenyum manis pada San. Rin kembali membujuk San untuk memberi mereka satu cangkir arak itu. San pun setuju. Sementara Won agak kesal melihat Rin memohon-mohon pada San.


Dua orang pria memperhatikan mereka.

“Apa mereka benar-benar akan mendaki gunung itu? Bukankah seharusnya kita menghentikan mereka?”

“Menurutmu, mereka akan mendengarkan kita?”

“Dalam kondisi seperti ini, apa yang akan dilakukan guru-guru kita?”

“Guru-guru kita, pasti akan menyuruh kita mengawal Putra Mahkota, apapun yang terjadi.”


Tak hanya itu, pria bercadar yang membunuh ibu San juga berada di sana. Pria itu lantas menerbangkan burungnya dan bergegas mengikuti San, Won dan Rin.


Mereka akhirnya tiba di puncak. Namun langkah mereka terhadang oleh jembatan rapuh . San berniat menyebrangi jembatan itu setelah menarik napas dalam-dalam. Tapi Rin melarang. Rin lantas mengetes jembatan itu, tapi salah satu kayu di jembatan itu langsung patah saat ia menginjaknya.

“Apakah tidak ada jalan lain?” tanya Won.
“Ada. Jika kau turun melalui jalan yang kita tempuh tadi, akan ada jalan besar yang mengarahkanmu langsung kembali ke rumahmu.” Jawab San.


San pun berniat menapaki jembatan itu, tapi dilarang Won. Won bilang dia yang akan memimpin, sementara San akan berdiri di tengah dan Rin berdiri di belakang San.


Tapi San tak mendengar saran Won dan langsung menapaki jembatan itu begitu saja. Won pun bergegas menyusul San. Ia mencoba mendahuli San dan menyuruh San berdiri di tengahnya. Tapi San tidak mau dan berusaha menarik Won ke belakangnya.


Dan terjadilah tarik menarik diantara Won dan San yang menyebabkan tas makanan San jatuh ke bawah.


Won dan San pun ribut lagi. Mereka saling mendorong, membuat jembatan rapuh itu bergoyang tak karuan. Won dan San barulah berhenti bertengkar. Mereka diam dengan wajah ketakutan menunggu sampai jembatan itu stabil kembali.


Setelah jembatan stabil, mereka bertiga kembali berjalan. Tapi salah satu tali penyangga putus, membuat San terdorong ke belakang dan bersandar di dada Rin. Won dan Rin pun langsung kikuk.


Won menoleh, maksud hati mau bertanya apa mereka sebaiknya melompat saja. Tapi melihat posisi San dan Rin, dia jadi malu sendiri dan buru2 mengalihkan pandangannya.


Mereka bertiga mulai jalan lagi, tapi San tiba-tiba saja bersin membuat tali penyangga yg lain putus. Panic, mereka langsung berlari ke ujung jembatan tapi jembatan keburu putus sebelum mereka berhasil ke ujung jembatan.


Won berhasil selamat. Dia berusaha sekuat tenaga menarik San ke atas. Rin juga berusaha mendorong San ke atas.


Hingga akhirnya, Won berhasil menarik San dan San jatuh menindih Won. Keduanya pun bersitatap.

Kita lalu mendengar narasi Won…

“Inilah kisah tentang diriku yang mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri.”

0 Comments:

Post a Comment