Ji An menyebut, bahwa hal buruk yang dilakukan Do Kyung terhadapnya adalah membuatnya jatuh cinta pada Do Kyung, jadi Ji An tak bisa memaafkan Do Kyung, juga dirinya sendiri.
“Kau
kembali ke Haesung sejak kakekmu jatuh sakit karenamu. Awalnya aku salah paham,
tapi aku memahamimu. Kau tidak bisa sekedar pergi dari keluargamu karena
kebencian dan kekecewaanmu. Jadi aku membantumu. Aku membantumu tanpa tahu
perbuatan keluargamu terhadap ayahku. Serta ayahku menyelamatkan keluargamu
demi diriku dan Ji Soo.” Ucap Ji An dengan mata berkaca-kaca.
“Aku
tidak menyangka kakek berbuat seperti itu.” Jawab Do Kyung.
“Kau
menyesal?” tanya Ji An.
“Sampai
membuatku tidak bisa berkata-kata.” Jawab Do Kyung.
“Kalau
begitu, lupakan aku sepenuhnya. Itu hal terakhir yang bisa kau lakukan
untukku.” Ucap Ji An.
Do
Kyung tak sanggup bicara.
“Jawab
aku.” Pinta Ji An.
“Kau
melupakanku sepenuhnya.” jawab Do Kyung.
“Aku
akan melakukannya, tapi aku tidak mau tinggal di ingatanmu juga. Jadi kita bisa
bersikap selayaknya orang asing walaupun saling berpapasan selagi kita
melanjutkan hidup.” Ucap Ji An.
Lantas,
Ji An mengembalikan kalung yang diberikan Do Kyung padanya. Ia menjatuhkan
kalung itu di atas meja, lalu beranjak pergi.
Keduanya
sama2 terluka.
Ji Tae
dan Soo A datang menjemput ayah dan ibu. Semula ayah menolak pulang, karena
itulah Ji Tae mengajak ibunya bicara agar Soo A bisa bicara berdua dengan
ayahnya. Soo A berkata, jika ayah tetap berada di sana, maka ia dan bayinya
akan khawatir. Soo A juga mengaku, kalau ia merasa sudah merampas waktu ayah
bersama keluarga. Tuan Seo merasa tidak enak. Soo A mengajak ayah pulang. Ia
bilang, ayah adalah kakek dari calon bayinya serta meminta ayah memberikan nama
untuk bayinya.
Ji An ke rumah Seok Doo. Ia bermaksud mengembalikan 20 ribu dollar yang dipinjam ayahnya. Seok Doo pun mengaku, bukan ia yang meminjamkan uang itu pada Tuan Seo. Seok Doo menceritakan semuanya, bahwa uang itu didapat Tuan Seo dari perusahaan asuransi untuk kankernya. Seok Doo bilang, Tuan Seo mendaftarkan dirinya sebelum usahanya bangkrut.
Ji An
syok, ia terduduk lemas di tangga apartemen Seok Doo saking syoknya.
Tangis
Ji An lalu pecah, Appa... Appa...
Do
Kyung curhat pada Gi Jae. Ia berkata, tentang dirinya yang tidak pernah melakukan
apapun untuk Ji An sejak ia pergi dari rumah.
“Aku
menyombong karena membelikannya kalung dengan bekerja paruh waktu. Aku
membuatkannya sup rumput laut.” Ucap Do Kyung.
“Bagaimana dengannya? Dia sudah melakukan apa untukmu?” tanya Gi Jae.
“Dia
membantuku pada rapat pemegang saham. Dia membantuku menyiapkan presentasi. Saat
Kakek mencegahku meneken kontrak, dia menunjukkan pabrik kepadaku. Dia
mencarikanku mesin bekas. Dia juga menunjukkan barang-barang pelet. Cara
membersihkan kulkas dan menggunakan mesin cuci. Barang paket acara. Desain
kertas pembungkus. Desain toilet hewan piaraan. Dia bahkan merawatku saat aku
sakit. Dia membuatkanku bubur. Ayahnya membantu kami mencabut artikel soal
ibuku. Serta dia menjadikanku pimpinan. Aku tidak percaya diriku sendiri.”
Jawab Do Kyung.
“Choi
Do Kyung, apa yang kau lakukan usai meninggalkan rumah?” tanya Gi Jae.
“Aku
hanya mengeluh kepadanya untuk menerima hatiku dan mencintaiku. Kau tahu aku
percaya diri bisa meraih hatinya. Walaupun aku pergi dari rumah, aku tidak
pergi dari rumah. Aku masih Choi Do Kyung dari Haesung. Aku tidak melakukan
yang dia inginkan. Aku tidak pernah membantunya. Dia malah membantuku. Walaupun
menolakku, dia tetap membantuku.” Jawab Do Kyung.
“Kau merasa
putus asa, bukan?” tanya Gi Jae.
“Aku
bahkan tidak berhak merasa bersalah. Aku merasa dipermalukan. Aku tidak percaya
diriku sendiri. Aku marah kepada diriku sendiri.” Jawab Do Kyung.
Do
Kyung bicara sambil mengepalkan tangannya.
Tuan
Seo yang sedang dalam perjalanan pulang bersama istri, anak dan menantunya
dapat kiriman SMS dari Seok Doo. Seok Doo mengatakan soal Ji An yang sudah
mengetahui uang asuransi Tuan Seo.
Tuan
Seo menghela nafas. Ketika melihat Ji An di pinggir jalan, ia menyuruh Ji Tae
berhenti.
Ji An
duduk sendirian di toserba favoritnya. Tak lama kemudian, Tuan Seo datang dan
mengomentari Ji An yang sama sekali tidak menyentuh kaleng birnya. Tuan Seo
lantas duduk di hadapan Ji An dan menghibur Ji An. Tuan Seo bilang, ia tidak
dioperasi bukan untuk memberikan Ji An uangnya.
“Benarkah?”
tanya Ji An.
“Kau tidak dengar dokternya? Jika ada kesempatan, kenapa ayah tidak meraihnya? Ayah
juga punya hasrat.” Jawab Tuan Seo.
“Kesempatan
satu persen tetaplah kesempatan. Tapi ada kesempatan 10 persen.” Ucap Ji An.
“Lebih
kecil dari itu.” Jawab Tuan Seo.
“Tepat
sekali. Jadi, kenapa ayah melakukan itu? Kenapa ayah melakukan semua itu saat
kondisi ayah seperti ini? Jika tidak dioperasi, ayah setidaknya dikemoterapi.
Bagaimana bisa ayah berkeliaran dalam kondisi begitu untuk Haesung? Kenapa ayah
bepergian untuk mencari bukti bagi mereka? Ayah sudah hilang akal? Ayah
berjalan ke sana kemari di area itu selama berhari-hari. Kenapa ayah melakukan
itu? Untuk apa semua itu?” tanya Ji An.
“Ayah
melakukannya karena tahu akan pergi. Jika tidak, bagaimana bisa ayah melakukan
itu? Jika ayah menganggap ayah sekadar sakit dan akan membaik jika diobati atau
dioperasi, ayah tidak akan punya tenaga untuk melakukan semua itu.” Jawab Tuan
Seo.
“Jadi,
kenapa ayah memakai semua tenaga untuk itu? Ayah seharusnya menghemat setiap
tenaga Ayah. Ayah seharusnya memikirkan kepentingan keluarga kita. Lagi pula,
siapa orang-orang itu? Kenapa keluarga Haesung berhak menerima bantuan ayah?
Karena ayah mengirimkanku, alih-alih Ji Soo, kepada mereka? Aku hanya tinggal
dua bulan di sana. Karena ayah mengambil Ji Soo tanpa melaporkannya? Tapi ayah
menyelamatkan Ji Soo karena mengambilnya. Ingat perbuatan mereka kepada ayah
setelah mengetahui itu? Mereka memukul dan mengancam ayah. Siapa peduli jika
mereka kehilangan kendali akan perusahaan mereka? Kenapa itu penting bagi ayah?”
protes Ji An.
“Ayah
hanya ingin membantu mereka.” Ucap Tuan Seo.
“Kenapa?
Apa membuatku tidak khawatir dan menebus kesalahan ayah sepenting itu?” tanya
Ji An.
“Kau
sudah bertemu dengan kakak Ji Soo? Apa pria itu berkata seperti itu?” tanya
Tuan Seo.
“Aku
mengakhiri hubunganku dengannya.” Jawab Ji An.
“Jika kau
bisa melakukan itu kini, kenapa tidak melakukannya lebih awal?” tanya Tuan Seo.
Ji An
pun terdiam.
“Lantas,
semuanya kini tidak masalah. Kau putus dengannya dan ayah menebus kesalahan
ayah. Kita bisa menikmati waktu yang tersisa dan jalan masing-masing, bukan?”
ucap Tuan Seo.
Tangis
Ji An pecah, Appa! Appa, aku minta maaf. Andai aku bilang kepada ayah bahwa ayah tidak
menderita kanker dan itu hanya imajinasi ayah...
“Kau
terus menyalahkan dirimu sendiri, bukan?” tanya ayah.
“Itu
membuatku menggila.” Jawab Ji An.
“Kau
tidak dengar dari Ji Tae? Berkat itu, ayah amat bahagia. Sekarang ayah tidak
salah sangka atau pun kecewa. Begitulah cara ayah berdamai dengan diri sendiri.”
Ucap Tuan Seo.
“Kuharap...
Kuharap ayah bisa tinggal dengan kami lebih lama.” Jawab Ji An.
“Sampai
kapan? Kapan kau akan berhenti sedih?” tanya Tuan Seo.
“Setidaknya
sampai aku menjadi seorang ibu.” Jawab Ji An.
“Sampai
ayah punya cucu? Lantas, ayah mau tinggal sampai melihat anakmu bersekolah SD. Berikutnya
sampai SMP dan anakmu menikah. Astaga, jika itu berlanjut, akan terlalu sedih
bagi ayah untuk pergi. Kematian selalu menyedihkan jika kau memikirkannya. Ayah
puas sekarang. Semua orang menjalani hidupnya masing-masing atau akan mencapai
tujuannya. Sebagai seorang ayah, hanya itu yang bisa ayah minta. Semua orang
pada akhirnya akan meninggalkan dunia ini. Tidak ada yang bisa memperkirakan
kapan itu akan terjadi. Untungnya, ayah bisa menyelesaikan urusan ayah. Ayah
melakukan semua yang bisa dilakukan seorang ayah. Ayah hidup dengan baik,
menimbang keadaannya. Hanya itu yang penting. Ji An-ah, jika ayah tidak masalah
pergi, kau juga tidak apa-apa mengantarkan ayah sambil tersenyum.” Ucap Tuan
Seo.
Tuan
Seo lantas mengelus pipi Ji An.
Ji An
pulang bersama ayah. Ia menggandeng lengan ayah, serta menyenderkan kepalanya
di bahu ayah.
“Appa,
saranghae.” Ucap Ji Soo, lalu menangis di pelukan ayahnya.
Tuan Choi yang baru pulang, terkejut saat diberitahu Seohyun tentang perkelahian Nyonya No dan Seketaris Min.
Tuan
Choi langsung melihat keadaan istrinya di kamar. Nyonya No yang merasa malu,
menutupi wajahnya dengan selimut dan menangis.
Paginya, Nyonya Yang memasakkan sup ikan untuk Soo A. Soo A minta maaf. Ia berkata, kemaren memang sangat ingin makan sup ikan tapi sekarang ia ingin makan hotteok dari stan dekat kantornya.
“Tidak
apa-apa. Kedua gadis itu bisa memakannya.” Jawab Nyonya Yang.
Ji An
lalu memanggil ayah. Tapi ayah tidak ada di kamarnya.
Tuan
Seo ternyata sedang menyapu halaman. Ji An menyusul ayahnya keluar, tapi sang
ayah menyuruhnya masuk karena cuaca sangat dingin.
Ji Tae
dan Soo A lantas keluar dan pamit bekerja.
Do Kyung menemui kakeknya. Mereka membahas Ji An. Do Kyung marah, ia menuding kakeknya sengaja memanggil Ji An untuk meredam kemarahannya. CEO No pun berusaha menjelaskan, tapi Do Kyung tidak mau mendengar apa-apa lagi dari kakeknya. Ia menyuruh kakeknya pulang ke Hawaii dan memberikan tiketnya.
CEO No
marah, tapi Do Kyung tak peduli dan beranjak pergi.
Ji Ho
menyuruh ayahnya memeriksa proposal bisnis franchise nya.
Tuan
Seo pun sewot.
“Bagaimana
bisa kau membuatnya dengan amat ceroboh? Kau tidak pernah melihat harga mesin. Yang
penting itu investasi totalnya. Kau harus pergi ke Pasar Bangsan dan meriset
harganya, ya? Kirimkan data ini ke kakakmu dan buat menjadi presentasi
PowerPoint. Menyusun idemu dengan baik juga penting.” Ucap Tuan Seo.
Ji Tae
naik jabatan, ia dipromosikan menjadi manajer.
Nyonya
No ke rumah Ji An dan melihat betapa dekatnya Ji An dan Ji Soo. Nyonya No
seketika teringat pertengkarannya dengan adiknya.
Ji An dan Ji Soo akhirnya melihat Nyonya No. Nyonya No mendekati mereka dan mengaku ingin bicara pada orang tua Ji An. Ji An masuk duluan ke rumah agar Ji Soo bisa leluasa bicara dengan Nyonya No.
Ji Soo penasaran, ibunya mau bilang apa. Sang ibu mengaku, ingin berterima kasih pada orang tua Ji An. Ji Soo pun berkata, bahwa ayah dan ibunya sedang ada di pasar.
0 Comments:
Post a Comment