Hae
Gang langsung menemui Seok di parkiran. Setibanya di sana, ia terkejut melihat
tanaman beracun itu berada disamping mobilnya. Tiba2 saja, sebuah motor melaju
kencang ke arah Hae Gang. Seok yang melihat itu pun langsung berlari ke arah
Hae Gang. Bersamaan dengan itu, si pengendara mengeluarkan tongkat besi dari
balik jaketnya. Seok pun langsung jatuh terkapar setelah dipukul dua kali oleh
si pengendara. Hae Gang pun syok.
“Seok-ah!
Seok-ak!” teriaknya.
Jin
Eon yang kecewa langsung menghubungi ayahnya. Ia mengajak sang ayah nonton
film. Presdir Choi berkata bahwa itu akan menjadi yang pertama kalinya mereka
nonton film bersama. Jin Eon menjawab bahwa itu bukan hanya akan menjadi yang
pertama bagi mereka menonton film, tapi juga menjadi yang terakhir kalinya
mereka menonton film.
“Jangan
bertemu di tempat yang gelap setelah hari ini, Jin Eon-ah. Semakin mendekati kematianku, aku ingin
tempat yang lebih terang.” Ucap Presdir Choi.
Hmm…
agaknya Presdir Choi udah bisa ngerasain nih kenapa Jin Eon ngajak dia
ketemuan.
Sebuah
ambulance berpapasan dengan mobil Jin Eon. Suara sirenenya terdengar meraung
cukup keras. Di dalamnya, Seok terbaring dengan luka yang cukup parah. Hae Gang
lantas memegang tangan Seok. Ia pun terkejut saat menemukan tangan Seok yang
menggenggam sebuah kertas. Hae Gang pun mengambil kertas itu dan membaca
tulisan di dalamnya.
Aku akan membunuhmu…..
Hae
Gang syok membaca pesan ancaman itu. Ia pun langsung berpikiran bahwa ancaman
itu ditujukan padanya, tapi Seok mengorbankan diri untuk melindunginya.
Setibanya
di rumah sakit, ingatan Hae Gang langsung melayang ke saat2 dimana ia dan Seok
pertama kali bertemu. Saat itu, Hae Gang yang duduk di dalam mobilnya memergoki
Seok sedang mematut diri di kaca spionnya. Seok tampak menjulurkan lidahnya
sambil menggosokkan ice cream ke lidahnya. Hae Gang kemudian mengingat saat ia
bermain pistol air bersama Seok dan anak2. Tangis Hae Gang pun akhirnya
pecah.
Jin
Eon tampak menunggu ayahnya di depan pintu masuk bioskop. Begitu sang ayah tiba,
Jin Eon pun langsung menatapnya dengan dingin. Presdir Choi pun berkata bahwa
itu adalah hari yang tidak akan pernah ia lupakan. Presdir Choi mengajak Jin
Eon masuk, tapi Jin Eon malah meminta SIM-nya Sopir Kim.
Sontak,
Presdir Choi langsung menatap putranya itu. Sementara Sopir Kim terheran2.
“Kenapa
kau meminta izin mengemudiku?” tanya Sopir Kim.
“Setelah
aku mendengar perkataan ayahku, baru aku akan mendengar ceritamu.” Jawab Jin
Eon.
Jin
Eon lantas mengajak sang ayah masuk. Presdir Choi terkejut karena Jin Eon
mengajaknya menonton film tentang kecelakaan dua pendaki. Presdir Choi juga
penasaran kenapa hanya ada mereka saja di gedung bioskop.
“Tulang paha sebelah kiri mengalami keretakan.
Bukan hanya patah tulang, pendarahan dan disekitar pembuluh darah juga rusak. 15
Mei 1981, saat itu cuacanya tidak bersalju dan berangin, kenapa kau menghantam
batu gunung? Luka pada betis kiri ayah, karena ditusuk dengan pisau, benarkan?
Siapa yang menusuk ayah? Apakah ayahnya Hae Gang menusukmu ayah? Kenapa?” tanya
Jin Eon.
“Tidak
ada yang seperti itu. Dimana atau bagaimana aku ditusuk, aku tidak tahu apa-apa
tentang itu. Aku tidak ingat telah ditusuk.” Jawab Presdir Choi.
“Ya,
aku ingat ayah. Aku bilang, aku ingat, ayah.” ucap Jin Eon.
“Apa
yang kau bicarakan?” tanya Presdir Choi.
“Itu
adalah musim gugur saat aku kelas empat. Halaman depan membeku dan aku
menggunakan besi alas sepatu es ayah dan bermain dengan kapak es dan
menghancurkan es. Segera setelah kau melihatku, kau mengambil kapak esnya dan mulai
memukuli aku. Setelah memukuliku, yang kau ambil bukan aku yang berdarah dan
pingsan disana, tapi besi alas sepatu esmu dan kau cepat-cepat pergi. Ayah
merusak tali ayahnya Hae Gang dengan besi alas sepatu es dan kapak es. Dan juga
sebelum pergi ke gunung, kau memberi temanmu alkohol, benarkan? Sejak dari pagi.”
Jawab Jin Eon.
Presdir
Choi pun emosi. Ia meminta Jin Eon berhenti bicara omong kosong.
“Hak
paten Ssanghwasan didaftarkan pada 10 mei, kecelakaan terjadi pada 15 Mei,
pemindahan hak paten pada 16 Mei. Kematiannya dilaporkan tanggal 17 Mei, kau
mencuri hak paten temanmu. Kau membunuh temanmu, dan anak temanmu, anaknya...”
“Tidak
ada yang seperti itu! Kau salah, semuanya salah! Dia memintaku dan aku
melaksanakan permintaannya. Itulah kenyataannya, itulah kebenaran yang aku tahu.
Apa kau ada di gunung? Aku ada di sana, aku disana. Hanya aku satu-satunya yang
mengetahui kebenarannya. Aku tahu kebenarannya! Aku tahu!” jawab Presdir Choi.
“AYAH!!”
teriak Jin Eon.
“Aku
membesarkan yang tadinya bukan apa-apa. Aku mengembangkannya menjadi trilyunan
dan mengembalikannya kepada anaknya, aku mengembalikannya kepada Hae Gang. Meskipun
Ji Hoon masih hidup, dia tidak bisa melakukan itu. Meskipun dia mengembangkan
obat, dia tidak bisa menjadikannya sebuah produk. Aku yang melakukannya. Menggantikan
tempatnya, aku melindungi Ssanghwasan, mengembangkannya, dan menjadikannya
uang! Dengan secarik kertas yang ditinggalkannya, aku memberi makan orang-orang
dan merubah perekonomian negara. Dia mati, dia telah mati menggantikan aku. Akhirnya,
itu adalah yang terbaik untuk semua orang.” Ucap Presdir Choi.
“Ayah
pikir mendiang akan setuju dengan pendapat ayah?” tanya Jin Eon.
“Apakah
penting apa yang dipikirkan orang yang sudah mati? Apa pentingnya kebenaran
yang dipegang oleh orang yang sudah mati? Yang terpenting dari hidup adalah
hidup! Mereka yang selamat harus melanjutkan hidupnya! Kita harus hidup. Daripada
kebenaran satu orang, kebenaran yang menguntungkan semua orang adalah
keputusanku.Dan itu adalah benteng bagiku.” jawab Presdir Choi.
Jin
Eon pun menatap sang ayah dengan penuh kebencian.
“Datanglah
setelah kau selesai menonton, aku tidak bisa lagi menonton karena itu mengingatkan
aku padanya.” Ucap Presdir Choi.
“Meskipun
kasusnya telah kadaluwarsa, serahkan diri ayah pada yang berwenang. Ungkapkan
kebenaran dengan mulut ayah sendiri. Aku tidak bisa memaafkan ayah, aku tidak
mau memaafkan ayah.” jawab Jin Eon.
“Aku
tidak bisa melakukannya?” tanya Presdir Choi.
“Karena
aku tidak bisa membunuh ayahku, aku rasa aku yang harus mati. Sekarang, taliku
tergantung di tangan ayah juga. Apa ayah akan memotongnya lagi? Demi kebaikan
semua orang?” jawab Jin Eon.
Presdir
Choi pun tampak terluka dengan kata2 Jin Eon. Tapi benarkah Presdir Choi yang
membunuh ayah Hae Gang?? Aku masih gak yakin… aku malah berpikir bahwa ayah si
kembar lah yang mau membunuh Presdir Choi.
Tae
Seok merayakan kemenangannya dengan minum2 bersama Produser Kim. Ia yakin, Seok
tidak akan mampu hadir di persidangan setelah insiden itu dan dengan begitu
permainan akan berakhir. Produser Kim yakin tuduhan akan mengarah pada Shin
Kyung Woo.
“Ancaman
dan pembunuhan karena dendam, poin utama di sini adalah pengacara lawan, Baek
Seok terluka karena berusaha menyelamatkan Do Hae Gang.” ucap Tae Seok.
“Apa
yang harus kulakukan dengan manajer kantor Park, haruskah aku tetap
menempatkannya di kantor itu?” tanya Produser Kim.
“Kalau
kau segera mengeluarkannya, itu akan terlihat mencurigakan, jadi biarkan saja
dia disana untuk sekarang.” jawab Tae Seok.
Produser
Kim menurut…
“Mari
kita lihat saja untuk sekarang, dan jaksa akan segera memulai penyelidikan
kasus pemerasan pasien farmasi Mi Do karena itu menaikkan harga saham
dipasaran. Cobalah cari pemain yang bisa mengikuti rencana. Supaya aku tidak
terlibat, carilah seseorang yang tidak ada hubungannya denganku, seseorang yang
tidak asing. Siapa yang melindungi perusahaan sampai segila ini? Siapa yang berani
menyingkirkan bawahanku? Aku tidak bisa dirampok dari farmasi Cheon Nyeon tanpa
berbuat apapun. Setelah aku memasak dengan tanganku yang sakit, tidak
seharusnya kuberikan kepada anjing.” Ucap Tae Seok.
“Apa
kau berencana membiarkan Wakil Presdir Do Hae Gang? Aku mengatakannya bukan
karena dia memecatku, dengan persidangan ini, kita berusaha untuk memborgolnya.
Untuk membunuh dua burung dengan satu batu. Seperti yang kau katakan, dia
adalah wanita yang mengerikan, kau harus berhati-hati.” Jawab Produser Kim.
“Mari
kita lihat siapa yang akan diborgol. Kau ingin menangkap Min Tae Seok? Kau?
Maka kau seharusnya hidup dengan baik, dengan baik. Kau menanam dosa, sekarang
siapa menghukum siapa? Mari kita lihat siapa yang akhirnya masuk penjara.” Ucap
Tae Seok.
Seol
Ri masih saja melakukan aksi protesnya terkait efek samping Pudoxin. Tak lama
kemudian, Jin Ri datang dan langsung membawa Seol Ri pergi. Mereka pun
berdebat. Seol Ri mengaku bahwa dirinya adalah korban efek samping Pudoxin.
“Kalau
begitu aku akan mengucapkan selamat, karena menjadi korban setelah menjadi penyerang.
Kau seharusnya menggantinya menjadi korban efek samping Do Hae Gang dari
farmasi Cheon Nyeon. Apa kau dipaksa melakukannya? Kau yang memilih untuk
melakukannya. Kau menginginkannya, kau menyukai Jin Eon maka kau bermain mata
dengannya, jadi apanya yang korban?. Kau yang membuat pilihan, tubuhmu,
hidupmu, kau adalah penyerang, Kang Seol Ri.” Ucap Jin Ri.
“Tes
klinisnya dipalsukan, itu tidak boleh terjadi.” Jawab Seol Ri.
“Kalau
semua berjalan sesuai keinginanmu, kau menjadi menantu di keluarga kami, apa
kau akan tetap melakukan ini? Sejak kapan kau jadi orang baik? Kau juga tahu
itu. Mendiang Moon Tae Joon dan Do Hae Gang, saat mereka berdemo Pudoxin, apa
kau perduli pada saat itu? Kau hanya merasa terganggu karena Do Hae Gang
berdemo di depan Jin Eon, benarkan? Bukan obatnya, tapi Do Hae Gang yang
membuatmu marah, benarkan?” ucap Jin Ri.
“Karena
pekerjaanku menjadi masalahku sekarang.” jawab Seol Ri.
“Tidak
ada obat yang tanpa efek samping. Apakah ada obat tanpa efek samping? Kenapa
kami yang harus bertanggung jawab? Tanggung jawab untuk apa? Pergi dan
proteslah di depan rumah Do Hae Gang, aku akan mendukungmu sepenuhnya.” Ucap
Jin Ri.
Namun
Seol Ri masih aja tetap keras kepala mau melanjutkan aksi protesnya.
“Tidak
bisa, aku sudah memutuskan untuk menghalangimu. Besok, tidak akan ada
sebarispun laporan di surat kabar.” Ucap Jin Ri.
“Surat
kabar bukan satu-satunya cara, ada cara lain untuk membuat orang lain tahu. Aku
akan menuntutmu atas pembunuhan karakter (fitnah). Silahkan, lakukan sesukamu. Sekarang,
persidangannya akan berjalan jadi akan ketahuan siapa sebenarnya yang memfitnah.”
Jawab Seol Ri.
Jin
Ri pun memberitahu Seol Ri bahwa persidangannya dipukul karena sang pengacara yang
dipukul dengan tongkat baseball. Seol Ri
terkejut. Jin Ri memberitahu Seol Ri bahwa Seok dipukul dengan tongkat baseball
dan dilarikan ke rumah sakit dua jam lalu. Seol Ri terpukul. Ia pun langsung
berlari ke rumah sakit.
Di
rumah sakit, Hae Gang dan Tuan Baek masih menunggui Seok. Tuan Baek tampak
cemas. Hae Gang pun jadi semakin merasa bersalah karenanya.
Tak lama kemudian,
dua orang polisi menghampiri Hae Gang.
“Aku
diberitahu bahwa alarm mobilku berbunyi, jadi aku pergi ke tempat parkir. Ada
tanaman oleander di samping mobilku. Aku
terkejut, jadi aku berhenti. Lalu, ada sepeda motor menuju ke arahku, dan dia
menyelamatkanku. Dia berusaha menyelamatkan aku, bukan aku tapi tongkat
baseballnya... Kepalanya dipukul dengan tongkat baseball, belakang kepalanya
dan orang itu kembali lagi dan memukul bagian kanan tubuhnya.
Tak
lama kemudian, Seol Ri datang dan menatap tajam ke arah Hae Gang yang sedang
dimintai keterangan oleh polisi.
“Kau
bahkan tidak mencintai Oppaku, kenapa kau tidak segera meninggalkannya? Kau
membuatnya menunggu selama 4 tahun, dan berpikir kau akan menerimanya kalau dia
menunggu. Kau tidak membiarkan dia mendekatimu ataupun meninggalkanmu. Hal
terburuk yang kau lakukan pada Oppaku bukan hanya hari ini saja. Kalau saja kau
lebih cepat meninggalkannya, maka ini tidak akan pernah terjadi. Pergi, aku
memintamu untuk segera pergi. Kalau kau tetap ada di sini, aku akan… Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Oppaku…
Aku mungkin... benar-benar akan membunuhmu. Aku mungkin akan mencekik lehermu.”
Ucap Seol Ri.
Hae
Gang diam saja dan hanya bisa menangis.
“Do
Hae Gang-ssi! Apa kau tidak mendengar aku menyuruhmu pergi? Pergilah! Pergi!
Pergilah! Menyingkirlah dari pandanganku!” teriak Seol Ri.
“Hubungi
aku kalau oppamu sadar, aku mohon padamu.” Pinta Hae Gang.
Jin
Eon masih di bioskop, ia sudah terlihat lebih tenang. Tak lama kemudian, Jin
Eon mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Hae
Gang sendiri masih di depan rumah sakit. Ia sangat terpukul dengan insiden
Seok. Tak lama, ponselnya berbunyi. Ia pun menjawab panggilan dari Jin Eon.
“Akan
kuberitahu padamu, cerita tentang ayah kita.” ucap Jin Eon.
“Hari
ini mungkin akan sulit.” Jawab Hae Gang dengan suara serak.
“Ada
apa dengan suaramu? Apakah karena telponku? Atau memang sudah seperti itu
sebelumnya? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jin Eon.
Namun
Hae Gang diam saja…
“Apakah
aku harus lebih keras sebagai bawahan? Katakan padaku, aku akan melakukan
keinginanmu. Apapun yang membuat kau merasa nyaman. Aku rasa aku harus memperbaiki
panggilanku kepadamu. Aku akan berhati-hati mulai sekarang. Kalau begitu, mari
kita bertemu besok setelah pulang kerja.” Ucap Jin Eon.
“Aku
ada di rumah sakit. Seok terluka. Bukan aku, tapi dia yang terluka. Dia sedang
dioperasi. Ada oleander.” Jawab Hae Gang.
Jin
Eon terkejut.
Seok
akhirnya dibawa keluar dari ruang operasi. Dokter menjelaskan kalau Seok akan
segera sadar. Tulang yang patah akan segera membaik, namun masalahnya tulang
yang patah adalah tulang belakangnya. Syaraf di dekat tulang belakangnya
tertekan. Meskipun dilakukan operasi untuk melepaskan tekanan dan memasukkan
alat ke daerah yang patah, mereka harus tetap memperhatikan bagaimana syaraf
yang rusak akan kembali pulih.
Seol
Ri pun terkejut, apa? Kerusakan syaraf?
Jin
Eon langsung menghampiri Hae Gang yang masih menunggui Seok di luar rumah
sakit. Jin Eon mengajak Hae Gang masuk karena udara yang cukup dingin. Hae Gang
menolak. Ia masih sangat terpukul. Jin Eon pun menggosok2an tangannya, kemudian
meletakkannya di kedua pipi Hae Gang agar Hae Gang merasa hangat.
“Haruskah
kita masuk ke mobil? Atau haruskah kita menunggu di kafe di sebelah sana? Kau
sedingin es, mari kita hangatkan kau terlebih dulu.” Bujuk Jin Eon.
“Aku
akan menunggu di sini.” Jawab Hae Gang.
“Mari
kita tunggu di dalam.” Ucap Jin Eon. Namun Hae Gang tetap tidak mau masuk ke
dalam.
Nyonya
Hong duduk melamun di lantai rumah. Tak lama kemudian, Jin Ri datang dan
terheran2 melihat ibu tirinya duduk di lantai. Jin Ri pun mendekati ibu
tirinya, ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan ibu tirinya. Nyonya Hong
berkata bahwa ia sedang menunggu Jin Ri.
“Min
Tae Seok, dia hanya berpura-pura, pura-pura. Dia benar-benar berpura-pura
padamu. Dia tidak punya apa-apa selain keberanian, itu bukan cinta tapi ambisi.
Bukan kau yang diinginkannya, tapi uangmu.” Ucap Nyonya Hong.
Jin
Ri cengo, sementara itu Tae Seok yang hendak turun pun berhenti melangkah
begitu mendengar namanya disebut2 oleh Nyonya Hong. Nyonya Hong kembali
melanjutkan kata2nya.
“Dia
sedang bermain film murahan memikirkan latar belakangmu, dasar bajingan itu. Dia
berusaha menjadikanmu sebagai pengangkat hidupnya. Ambisi untuk melompat dari
bawah ke atas, dengan memanfaatkanmu sebagai pijakannya! Apa kau tidak
melihatnya? Beraninya dia seorang pegawai biasa mengangkat kepalanya kepada
anak pemilik perusahaan? Apa? Dia tidak menyukaimu karena kau anak pemilik
perusahaan? Lucu sekali, kecoa yang lewatpun akan tertawa. Dia melakukannya
dengan sengaja. Untuk membuatmu marah dan merasa terganggu. Dia menciummu,
benarkan?” ucap Nyonya Hong.
Tae
Seok terkejut dengan ucapan Nyonya Hong, begitupula Jin Ri.
“Setelah
dia menciummu, dia benar-benar mengabaikanmu. Hari dimana dia menggendongmu
pulang ke rumah.” Ucap Nyonya Hong.
“Bagaimana
kau tahu?” tanya Jin Ri.
“Ada
lipstik di bajunya. Dia sengaja melakukannya, bajingan itu, untuk menunjukkan
pada ayahmu dan aku. Aku bisa menduganya meski tidak melihatnya, begitulah cara
yang dilakukannya.” Jawab Nyonya Hong.
“Apalagi
sekarang? Apakah ini cara baru mengangguku dengan berdalih alzheimer? Yang
berpura-pura bukan Min Tae Seok, tapi kau, ibu tiri.” Ucap Jin Ri.
“Apa
kau tahu orang yang ambisius hancur karena ambisi mereka? Kau tidak tahu ini,
tapi bajingan itu benar-benar buruk, Jin Ri.” Jawab Nyonya Hong.
“Apa
kau sudah selesai bicara? Aku tahu dia buruk, semakin lama aku hidup dengannya,
dia tidak bertambah baik, itu benar. Tapi tetap saja dia adalah ayah dari
anak-anak kami, jadi tolong hentikan. Dan saat aku tidak tahu apa itu cinta,
dia setia padaku. Apakah pasangan hidup dengan cinta? Mereka hidup dengan
persaudaraan.” Ucap Jin Ri.
Tae
Seok senyum2 mendengar ucapan Jin Ri. Tapi tak lama, ia kembali memelototi
Nyonya Hong saat Nyonya Hong kembali bicara.
(Ekspresi
Tae Seok di sini membuatku ketawa ngakak….)
“Dia
menelantarkan wanita. Wanita yang hidup bersamanya selama 8 tahun. Dia
membuangnya seperti sepatu lama karena dirimu.” Ucap Nyonya Hong.
“Tinggal
bersama? Dia tidak hanya berkencan, tapi hidup bersama dengan wanita itu?
Selama 8 tahun?” kaget Jin Ri.
“Wanita
itu bahkan membesarkan adiknya. Mereka tidak mengadakan resepsi, mereka sudah
menikah. Bagaimana dia bisa menelantarkan wanita itu demi dirimu? Tidak dengan
dia, selamanya tidak pernah!” ucap Nyonya Hong.
Nyonya
Hong kemudian bangkit dari duduknya. Ia pun makin sewot saat melihat Tae Seok
yang berdiri di tangga.
“Lihatlah
bajingan itu! Kapan dia merangkak masuk ke rumah orang lain?” ucap Nyonya Hong.
“Apa?
Tinggal bersama? Kau tinggal bersamanya? Selama 8 tahun? Hei, Min Tae Seok!”
teriak Jin Ri.
“Itu
alzheimer, gejala Alzheimer. Dia tidak hidup dalam kenyataan, kenapa kau juga
kembali ke masa lalu?” jawab Tae Seok.
“Tapi
kenapa kau tua sekali? Saat tadi aku
melihatmu, aku kira kau adalah ayahmu.” ucap Nyonya Hong.
Tae
Seok langsung kesal. Sedangkan Jin Ri terheran2 mendengarnya. Nyonya Hong
kemudian menatap Jin Ri.
“Apa
kau benar-benar menyukainya? Waktu kau melihat wajah ini, apakah hatimu
berdebar-debar?” tanya Nyonya Hong.
Tae
Seok pun menatap Jin Ri. Sedangkan Jin Ri menatap Tae Seok dengan tatapan
sewot. LOL LOL
Yong
Gi datang membawakan bulgogi ke meja makan. Ia mengucapkan bahwa itu bulgogi
dalam Bahasa Inggris. Nyonya Kim terheran2, ia penasaran kenapa Yong Gi
mempelajari Bahasa Inggris.
“Kalau
pusat penyakit tidak bisa disembuhkan sudah didirikan, kakak tiga menit
menyuruhku untuk pergi ke Amerika, belajar, lalu kembali lagi.” Jawab Yong Gi.
“Apa?
Jadi kau akan pergi ke Amerika?” tanya Nyonya Kim.
“Aku
belum tahu, pergi atau tidak. Kakak tiga menitku, tanpa seijinku telah mencarikan
sekolah dan rumah. Aku tidak tahu kenapa dia selalu melakukan apapun yang
diinginkannya.” Jawab Yong Gi.
“Sudah
berapa lama kalian bertemu?” tanya Nyonya Kim.
“Tidak,
aku belum memutuskan untuk pergi. Dia bilang aku harus pergi, dan aku percaya padanya
dan pergi. Dia terus mengangguku dengan masalah itu. Tapi itu lebih mudah
dikatakan daripada dilakukan, di tempat asing dimana tidak ada yang bisa
dimengerti.” Jawab Yong Gi.
“Ibu
tidak akan mengirim mu kemanapun. Aku akan memberitahu kakakmu, jadi belajar
saja di sini dan biarkan Woo Joo tetap dirawat Profesor Min.” ucap Nyonya Kim.
“Aku
bilang itu tidak masuk akal sama sekali bagiku. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba
semua orang seperti ini padaku. Seseorang ingin membangun pusat kesehatan
untukku, yang lain ingin aku belajar ke luar negeri. Dan ada seseorang yang
tidak ingin aku pergi. Semuanya memperlakukan aku dengan baik kecuali satu
orang!” jawab Yong Gi sambil melirik Gyu Seok.
Hae
Gang masih menunggu di rumah sakit. Ia menunggu dengan wajah cemas. Tak lama
kemudian, Jin Eon datang dan mengatakan bahwa ia baru saja menemui dokter. Hae
Gang ingin tahu apa yang dikatakan dokter.
“Dia
sudah dipindahkan ke kamar, tapi dia masih belum sadar. Syaraf tulang
belakangnya rusak. Aku rasa bisa saja tangan kanannya lumpuh.” Jawab Jin Eon.
Hae
Gang pun semakin merasa bersalah.
“Mungkin
juga tidak, dan dia akan membaik setelah menjalani terapi fisik.” Ucap Jin Eon,
untuk menenangkan Hae Gang.
Hae
Gang lantas menjenguk Seok. Tepat saat itu, Seok terbangun. Hae Gang menatap
Seok dengan cemas. Seok mencoba tersenyum. Tangis Hae Gang pun pecah.
“Sekarang
aku bahkan membuatmu menangis. Kau membuat aku sedih. Jadi menangislah selama
satu menit, 60 detik saja, mengerti?” ucap Seok.
“Maafkan
aku. Karena aku, maafkan aku, Seok-ah!” jawab Hae Gang
“Kau
menangis di sini untukku, karena aku. Aku suka menjadi diriku sendiri. Meski
aku terlihat seperti ini, aku suka aku, diriku sendiri, Ong Gi-ya.” ucap Seok.
Hae
Gang terus menangis. Seok pun berkata bahwa satu menit Hae Gang sudah lewat,
jadi kalau Hae Gang masih menangis maka Hae Gang harus membayar denda sebanyak
10 ribu won padanya.
“Airmata
apa yang mahal sekali?” tanya Hae Gang.
“Kenapa
kau tidak menangis?” Seok bertanya balik.
“Apa
kau tidak tahu? Saat aku melihatmu, aku berpikir, aku harus menjadi seseorang
seperti itu, aku harus memperlakukan orang seperti itu. Orang yang lebih baik,
aku harus menjadi orang yang lebih baik. Karena aku tidak segera
meninggalkanmu, mungkin itu sebabnya kau menjadi seperti ini.” ucap Hae Gang.
“Apa
yang harus kulakukan meskipun begitu? Kau menyukai pria jahat. Pria baik-baik
tidak pernah bisa memiliki semuanya.” jawab Seok.
“Bagaimana
lengan kananmu?” tanya Hae Gang.
“Karena
aku tidak bisa merasakan apa-apa, baguslah karena tidak terasa sakit. Jangan
khawatir, itu akan membaik setelah menjalani terapi fisik. Aku mengantuk
sekarang, kau harus pergi.” Jawab Seok.
“Aku
akan pergi sebentar lagi, aku akan pergi setelah kau tidur.” Ucap Hae Gang.
“Kau
akan membuat bajingan itu menunggu dengan cemas. Pergi sajalah, kau akan
menangis lagi, pergi.” Jawab Seok.
“Aku
akan datang besok.” Ucap Hae Gang.
“Kau
tidak perlu datang setiap hari. Datanglah seminggu sekali, hmm?” jawab Seok.
Begitu
Hae Gang pergi, Seok yang tadinya bersikap ceria di depan Hae Gang tiba2 saja
menangis.
Hae
Gang dihubungi seseorang. Hae Gang terkejut saat orang itu mengaku sudah
menangkap seseorang. Setelah menerima telepon itu, Hae Gang pun bergegas pergi.