Tuan Seo lega begitu melihat Ji An. Ia tersenyum, namun senyumnya seketika lenyap melihat Ji An menjauh saat ia mencoba mendekati Ji An. Ji An berkaca-kaca menatap ayahnya. Tak lama kemudian, Ji An berbalik. Ia mau pergi, tapi Tuan Seo langsung menghentikan langkahnya.
Tuan Seo mendekat. Ia lega Ji An masih hidup.
Setelah terdiam untuk beberapa saat, Ji An akhirnya berbalik dan menatap
ayahnya. Ia diam saja dan teringat saat Tuan Choi memukul ayahnya.
“Kenapa kau tidak... Kenapa kau tidak menelepon
kami? Kau seharusnya mengabari kami.” ucap Tuan Seo.
“Maaf.” Jawab Ji An dengan wajah tertunduk.
“Ayah menghubungi, mengirim pesan, dan bahkan meninggalkan
pesan suara setiap hari.” Ucap Tuan Seo.
“Ponselku hilang.” Jawab Ji An.
“Begitu rupanya. Kau ke mana saja selama ini? Kau
di kota ini selama ini?” tanya Tuan Seo.
“Aku tidak mau membahasnya.” Jawab Ji An.
“Lantas, sekarang kau tinggal di mana? Apa yang kau
lakukan di kota ini?” tanya Tuan Seo.
“Aku bekerja di sini.” Jawab Ji An.
“Itu artinya, selama ini kau di Seoul?” tanya
Tuan Seo.
“Ayah tidak perlu mengkhawatirkanku.” Jawab Ji
An.
“Ayah minta maaf. Ayah menyerahkanmu pada mereka
tanpa penjelasan apa pun. Andai saja ayah bisa memutar balik waktu. Ayah amat
menyesali melepaskanmu pergi seperti itu. Itu bukan salahmu. Kami menipumu. Kenapa
kau bertanggung jawab sendirian? Kau seharusnya memberi tahu ayah saat
mengetahuinya. Kau pasti menderita sendirian. Ayah kira sesuatu menimpamu.”
Ucap Tuan Seo.
Tuan Seo lantas mengajak Ji An pulang. Tapi Ji An
tidak mau. Ji An bilang, ia sudah cukup dewasa untuk tinggal sendiri. Tuan Seo
pun bercerita, kalau ia memulai bisnis sendiri dan sudah mendapat kontrak
pertama, jadi Ji An tidak akan hidup menderita lagi.
“Bukan begitu.” jawab Ji An.
“Benar. Pasti tidak mudah menghadapi ayah dan ibumu. Kau pasti amat kesal dan kecewa. Tapi kau harus tetap berusaha. Walaupun kau kesal kepada kami, kita harus berusaha bersama secara langsung. Kau juga bisa mendengar cerita dari sisi kami. Kita keluarga, bukan? Kau setidaknya harus memberikan kami kesempatan untuk meminta pengampunanmu.” Ucap Tuan Seo.
“Kenapa? Apa kita harus berusaha jika kita
keluarga? Kenapa? Haruskah keluarga tinggal bersama walaupun itu sulit? Ayah
kira aku bisa menghadapi Ayah dan Ibu? Ayah kira aku bisa tinggal dengan
kalian?” jawab Ji An.
“Setidaknya kau harus memberikan kami kesempatan.”
Ucap Tuan Seo.
“Aku mau sendiri sekarang tanpa keluarga. Maaf. Jangan
ganggu aku untuk sementara waktu.” Jawab Ji An.
Ji An lalu pergi. Tuan Seo hanya bisa menahan
kesedihannya menatap kepergian Ji An.
Nyonya No terkejut saat diberitahu Tuan Choi
bahwa Ji An menghilang. Tuan Choi pun berniat menyewa seseorang untuk mencari
Ji An. Nyonya No tidak setuju pada awalnya, tapi kemudian ia terdiam.
Do Kyung mengirimkan pesan pada Hyuk. Ia memberitahu Hyuk, kalau ada lowongan bagus untuk Ji An dan sudah mengirimkan aplikasi lamaran Ji An, tapi memakai nomor Hyuk. Do Kyung menyuruh Hyuk mengabari Ji An jika dipanggil untuk wawancara. Do Kyung juga berharap, Hyuk bisa membujuk Ji An mengikuti wawancara itu.
Hyuk menghela napas. Ia bingung harus melakukan
apa terhadap Ji An dan Do Kyung.
Hyuk lalu membalas pesan Do Kyung. Ia bilang,
akan memberitahu Ji An jika menerima panggilan wawancara itu. Do Kyung pun
heran sendiri karena Hyuk membalas pesannya begitu cepat. Ia bertanya2, apakah
Hyuk sungguh2 akan memberitahu Ji An? Ataukah Hyuk tidak akan memberitahu Ji An
karena ingin berada di sisi Ji An?
Ji An sibuk menggergaji kayu. Pemilik tempat Ji
An bekerja, hanya bisa geleng2 kepala melihat Ji An yang bekerja tanpa henti.
Tuan Seo pulang ke rumah. Ia berjalan tanpa
ekspresi. Begitu tiba di rumah, Tuan Seo
langsung masuk ke kamarnya. Ia melipat jaketnya, lalu tidur.
Teman kerja Ji An pamit pulang. Dan si pemilik pun juga menyuruh Ji An pulang. Tapi si pemilik kemudian teringat pesan Hyuk yang menyuruhnya memberi banyak pekerjaan untuk Ji An, agar Ji An tidak punya waktu untuk memikirkan yang lain. Si pemilik lalu menyuruh Ji An bekerja lagi.
Nyonya Yang yang baru pulang bekerja, terkejut
melihat Tuan Seo sudah tidur. Nyonya Yang juga melihat jaket Tuan Seo sudah
terlipat rapi.
“Belakangan ini aku tidak pernah melihatnya tidur
secepat ini. Kenapa dia melihat bajunya dengan amat rapi?” gumamnya.
Keesokan paginya, Nyonya Yang yang baru bangun
terkejut melihat Tuan Seo masih tidur.
Nyonya Yang cemas. Ia yang baru selesai menyiapkan sarapan, bergegas menghampiri Ji Tae dan Soo A yang mau berangkat kerja. Nyonya Yang menceritakan keadaan Tuan Seo pada Ji Tae. Tapi Ji Tae malah bersikap acuh dan menyuruh ibunya membiarkan ayahnya tidur. Nyonya Yang lalu menyuruh Ji Tae dan Soo A makan. Tapi Ji Tae menolak. Nyonya Yang pun kecewa.
Hee mengajak Hyuk minum kopi. Ia kemudian memberitahu Hyuk tentang Ji An yang tidak pernah makan di rumah. Hyuk menyuruh Hee membiarkan Ji An. Hee juga mengomentari Hyuk yang tidak pernah menengok Ji An.
“Itu yang kujanjikan kepadanya. Aku berjanji akan
membiarkannya melakukan apa yang dia mau.” jawab Hyuk.
Ji Soo datang mengantar roti. Hyuk mengajak Ji Soo makan siang karena sudah berjanji akan mentraktir Ji Soo.
Ji Soo senang bukan kepalang. Ia memberitahu Boss
Kang tentang Hyuk yang mengajaknya makan siang.
Boss Kang lalu menanyakan keadaan Hee. Ji Soo bilang, Hee tidak lagi ramah padanya sejak hari itu. Ji Soo lalu menanyakan, sejak kapan Boss Kang mulai punya perasaan pada Hee.
“Saat itu tanggal 5 Maret tahun 1998.” Jawab Boss
Kang.
Boss Kang lalu bertanya, apa Ji Soo tahu kenapa
namanya Kang Nam Goo.
“Ayah anda pasti punya selera humor yang bagus.”
Jawab Ji Soo sembari tertawa.
“Aku tidak tahu mereka punya selera humor yang
bagus atau hanya takut. Nama belakang direktur panti asuhan tempatku diasuh
adalah Kang. Itulah alasannya namaku Kang Nam Goo. Lalu ada Kang Seo Goo dan
Kang Dong Goo. Nama pria yang tiba di sana sebelum aku adalah Kang Won Do. Kau
tidak boleh tinggal di sana setelah SMA. Aku menerima 3.000 dolar untuk
kebutuhan hidup. Aku belajar membuat adonan dari wanita penjual hotteok di
depan sekolahku. Aku hanya sempat mencobanya lima kali selama enam tahun aku
bersekolah. Itu amat enak.” Ucap Boss Kang.
“Hanya lima kali?” tanya Ji Soo.
“Kukira aku akan menghasilkan banyak uang dengan
itu. Kudengar mahasiswi menyukai kudapan. Jadi, aku pergi ke Universitas Wanita
Ewha tanpa rencana.” Jawab Boss Kang.
Flashback…
Boss Kang berjualan hotteok di depan universitas,
tapi sayangnya orang2 yang membeli tidak menyukai rasanya.
Saat Hee datang bersama teman2nya, teman Hee
berkata rasa hotteoknya mengerikan. Hee pun langsung menyenggol temannya untuk
menghentikan temannya itu bicara.
Tapi Hee terus-terusan datang membeli hotteoknya.
Hingga pada hari keempat, Hee mengajaknya bicara. Hee pun memberitahu Boss Kang
cara membuat hotteok yang enak. Keesokan harinya, Boss Kang pun mencoba saran
Hee.
Flashback end…
“Aku mengikuti nasihatnya, dan rasanya membaik. Tapi
setelah hari itu, dia tidak kembali.” Ucap Boss Kang.
Dua minggu kemudian, saat kedai Boss Kang
kebanjiran pengunjung, Boss Kang melihat Hee dari kejauhan. Boss Kang lantas
menghampiri Hee dan menyuruh Hee mencoba resep barunya. Hee mencicipinya dan
memuji rasanya.
Flashback end…
“Dia orang pertama yang tersenyum amat lebar kepada seseorang sepertiku. Aku tidak pernah punya ibu.” Ucap Boss Kang.
“Jadi pemilik kafe adalah cinta pertama anda?”
tanya Ji Soo.
“Dia bukan cinta pertamaku. Istilah cinta pertama
itu ada saat kita sudah mencintai orang lain lagi. Tapi dia cintaku
satu-satunya.” Jawab Boss Kang.
“Diakah alasan anda tidak menikah?” tanya Ji Soo.
Beralih ke Hyuk yang lagi ngobrol sama sunbae
nya. Sunbae nya bilang, mereka butuh tambahan pegawai saat mulai menjual bahan2
interior.
“Kenapa kita mempekerjakan orang padahal tidak
memulainya? Kau di sini untuk membantuku.” Jawab Hyuk.
“Aku rekan bisnismu sekaligus investor. Aku
seharusnya tinggal di sini sampai dana investasiku kembali.” Ucap Boss Kang.
Ketika asyik mengobrol, Hyuk menerima panggilan
wawancara untuk Ji An.
Hyuk pun pergi ke toko perabot. Si pemilik memuji
Ji An yang melakukan pekerjaan dua kali lebih cepat dari Sun Tae. Sun Tae pun
merasa malu.
“Itulah dia. Dia mau menjadi pemahat.” Jawab
Hyuk.
Hyuk lalu memberikan Ji An jadwal wawancara dan
alamat perusahaannya. Ji An menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
“Hyuk-ah, apakah kau pernah bertemu dengan
ayahku?” tanya Ji An.
“Ya. Dia mentraktir semua orang di kelas seni
kayu.” Jawab Hyuk.
Do Kyung yang lagi memeriksa berkasnya,
mendapatkan pesan dari Hyuk tentang panggilan wawancara Ji An. Hyuk bilang, ia
sudah memberitahu Ji An serta meminta Do Kyung tidak menghubunginya lagi.
“Aku juga tidak mau.” sewot Do Kyung.
Hyuk menjemput Ji Soo di toko roti. Boss Kang pun keluar menyapa Hyuk. Boss Kang lalu berkata akan membuat resep rahasia, jadi tidak masalah kalau Ji Soo tidak kembali ke toko roti hari itu.
Setelah Hyuk dan Ji Soo pergi, Boss Kang melihat
Hee di depan tokonya. Mereka pun bicara di taman.
Hee duduk di bangku taman. Ia menyuruh Boss Kang
duduk, tapi Boss Kang menolak. Boss Kang bilang, ia suka melihat wajah Hee. Hee
makin kesal. Hee lalu menyuruh Boss Kang berhenti. Hee mengaku, sudah
mengetahui alasan Boss Kang berpura2 seperti mereka tidak sengaja bertemu,
serta tahu alasan Boss Kang tidak mengacuhkannya.
“Jadi, kenapa kau menyuruhku berhenti?” tanya
Boss Kang.
“Terima kasih.” Jawab Hee.
“Hentikan.” Pinta Boss Kang.
“Terima kasih sudah menarikku keluar dari sumur.
Kau membuatku menjadi penuh semangat seperti dahulu. Jadi, berhenti di sana. Mulai
sekarang, aku akan hidup dengan baik.” Jawab Hee.
“Denganku.” Ucap Boss Kang.
“Aku mau melupakan masa lalu dan pergi. Aku mau
pergi dari semua masa laluku. Di antara semua yang terjadi di masa lalu, aku
mau kenanganku denganmu tetap indah.” Jawab Hee.
“Kau kejam.” Ucap Boss Kang.
“Ya. Aku kejam. Sudah kubilang. Aku amat kejam
kepadamu. Kenapa kau tidak bisa melupakanku padahal kau sudah melupakan semua
itu? Kau bodoh. Aku mengingat semuanya. Aku tahu perbuatanku. Aku ingat betapa
tidak tahu malunya aku. Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa bersamamu.”
Jawab Hee.
“Hee-ya,
kau membantuku. Setelah kau pergi, aku berharap kau akan bahagia. Keyakinan
itu membantuku melewati setiap harinya. Aku tidak peduli dengan hidupku. Tidak
ada yang menyenangkan. Aku bahkan tidak punya teman. Kau tidak mengasihaniku?”
tanya Boss Kang.
“Aku mengasihanimu.” Jawab Hee.
“Itulah maksudku.” Ucap Boss Kang.
“Itulah alasanku tidak bisa bersamamu. Kau
terlalu menyedihkan. Aku tidak akan pernah bisa bersamamu. Kumohon. Jangan
kembali.” Jawab Hee.
Ji Soo mengajak Hyuk ke restoran mie. Ji Soo
bilang, restoran itu membuat mie sendiri jadi rasanya enak. Tapi antreannya
terlalu panjang. Ji Soo pun minta maaf karena hal itu. Hyuk santai, ia bilang
antrean panjang berarti restoran itu terkenal. Hyuk penasaran bagaimana Ji Soo
bisa menemukan restoran itu. Ji Soo bilang, ia mencarinya di internet.
“Benarkah? Aku juga menyukai mi.” ucap Hyuk.
“Sungguh? Aku suka apa pun yang dibuat dengan
tepung. Udon, spageti, jajangmyeon, jjamppong, naengmyeon, tteokbokki, dan
kalguksu.” Jawab Ji Soo.
“Itulah alasanmu membuat roti?” tanya Hyuk.
“Aku memang paling suka roti.” Jawab Ji Soo
Begitu mencicipi mie nya, Ji Soo dan Hyuk kompak memuji rasanya yang lezat. Mereka lalu tertawa karena mengatakan hal yang sama. Melihat Ji Soo yang sudah kembali ceria, Hyuk pun bertanya, apa keadaan Ji Soo sudah lebih baik.
“Keadaannya masih buruk. Aku gembira saat
melupakannya. Saat teringat, aku masih sedih.” Jawab Ji Soo.
“Itulah alasannya orang bekerja saat merasa
frustrasi. Itu membuat seseorang berpikir.” Ucap Hyuk.
“Itulah alasanku merasa paling gembira saat
berada di toko roti.” Jawab Ji Soo.
“Awalnya aku ingin melakukan itu. Aku tadinya
tidak mau berkuliah. Tapi kakakku mendaftarkanku. Dia bilang aku akan lebih
mudah mendapatkan pekerjaan.” Jawab Ji Soo.
“Kakakmu masuk akal. Tapi kau tidak menyukainya,
bukan?” tanya Hyuk.
“Aku menyadarinya saat sedang latihan. Perutku
amat kuat. Tapi aku tidak tahan melihat bagian dalam mulut kotor dan
tenggorokan orang. Aku trauma.” Jawab Ji Soo.
“Bagaimana kau bisa bekerja di kantor dokter
gigi?” tanya Hyuk.
“Aku tidak bekerja sebagai perawat. Aku hanya
kasir. Hari itu, usus buntu perawat pecah, jadi, dokter giginya memintaku untuk
menggantikannya.” Jawab Ji Soo.
“Begitu rupanya.” Ucap Hyuk sembari menatap Ji
Soo.
Ji An kembali ke toko perabotan saat boss nya dan Sun Tae lagi makan siang. Boss nya bilang, ia memesankan Ji An nasi goreng tapi Sun Tae tidak sengaja memakannya. Sun Tae minta maaf dan menawari Ji An makan jjamppong.
“Makan apa pun tidak masalah.” Jawab Ji An.
“Kita harus makan untuk mendapatkan tenaga. Kau
tidak boleh terus-menerus melewatkan makan.” Ucap boss Ji An.
Terpaksalah Ji An makan, tapi saat mulai
menyeruput mie nya, Ji An teringat pertemuannya dengan ayahnya tadi. Ji An pun
langsung berhenti makan. Ia menangis dan berlari ke toilet.
Hyuk dan Ji Soo sudah selesai makan. Hyuk protes, karena tadi Ji Soo yang membayar. Ji Soo bilang, itu ucapan terima kasinya karena Hyuk sudah banyak membantunya.
“Tapi aku meninggalkanmu di Incheon. Aku masih
berutang jadi aku harus mentraktirmu di hari berikutnya.” Ucap Hyuk.
Senyum Ji Soo pun langsung merekah mendengar Hyuk
mau mentraktirnya lagi.
Gi Jae menghubungi Do Kyung. Gi Jae bilang, Ji An
membatalkan wawancara. Gi Jae bilang, ia sudah menceritakan semuanya pada Ji
An.
Do Kyung pun langsung pergi menemui Ji An. Ia
ingin tahu alasan Ji An membatalkan wawancara. Tapi Ji An bilang, Do Kyung
tidak perlu mengetahui alasannya.
“Sudah kukatakan dengan jelas. Kau melamar
pekerjaan ini seperti orang lain. Aku mendaftarkanmu ke sana karena kau andal.”
Ucap Do Kyung.
“Aku mengetahuinya. Aku berulang kali mendaftar
ke berbagai perusahaan.” Jawab Ji An.
“Jadi, kenapa kau tidak mau wawancara? Jawab aku.”
ucap Do Kyung.
“Aku tidak mau pergi.” Jawab Ji An.
“Saat kubilang aku mendaftarkanmu, kau tidak
bilang tidak menyukainya.” Ucap Do Kyung.
“Aku tidak pernah bilang aku menyukainya. Kubilang
akan kupertimbangkan.” Jawab Ji An.
“Itukah alasanmu memutuskan tidak pergi
wawancara? Kenapa kau kemari? Aku tidak memahamimu. Kau harus hidup dengan
baik.” Ucap Do Kyung.
“Kau sudah melakukan semua yang ingin kau
lakukan, bukan?” tuduh Ji An.
“Ji An. Ada apa denganmu? Kenapa kau melakukan
ini? Teriaki saja aku. Aku tahu. Kau berhak kesal.” Ucap Do Kyung.
“Choi Do Kyung-ssi, kau sadar bahwa memedulikanku
memang aneh bagimu, bukan?” tanya Ji An.
“Tidak. Kenapa aneh? Coba berpikir dari sudut
pandangku. Bagaimana bisa aku sekadar menyaksikanmu seperti ini?” ucap Do
Kyung.
“Kau khawatir karena aku dahulu adikmu. Kau merasa kasihan karena banyak masalah kulewati padahal aku tidak bersalah, bukan? Saat kau mengetahui aku bukan adikmu, kita bersepakat. Serta kita berusaha keras. Tapi keadaannya tidak berjalan sesuai keinginanku. Lantas, itulah akhir hubungan kita.” jawab Ji An.
“Tapi aku berutang kepadamu.” Ucap Do Kyung.
“Kau tidak berutang sama sekali. Orang tuaku yang
bersalah. Kau membantuku. Pak Choi sudah mengetahuinya dan keadaannya tidak
berjalan sesuai rencana kita. Itulah akhirnya bagi kita berdua.” Jawab Ji An.
“Tapi kau aneh. Amat aneh.” Ucap Do Kyung.
“Kenapa kau peduli? Berapa kali sudah kubilang
kepadamu? Kenapa kau peduli?” tanya Ji An.
“Kau membuatku kehabisan kata-kata.” Jawab Do
Kyung.
“Aku tidak ada urusan denganmu. Karena kita tidak
punya urusan dengan masing-masing, kau sebaiknya tidak memedulikan kehidupanku.
Aku tidak ada alasan untuk menemuimu lagi.” Ucap Ji An.
Ji An lalu beranjak pergi, meninggalkan Do Kyung,
yang menatapnya lirih.
“Itu karena kau takut Do Kyung melakukan sesuatu
untuk membantumu?” tanya Hyuk.
“Tidak. Aku hanya tidak mau melakukan itu lagi. Aku
mau berhenti mencari pekerjaan yang lebih baik dan mencari perusahaan yang
membayarku lebih besar. Aku mau berhenti melamar ke perusahaan besar dan
melakukan wawancara. Itu semua tidak berguna. Setelah bisnis ayahku bangkrut dan
aku tidak lagi pergi ke sekolah seni, aku mau sukses sendiri. Satu-satunya cara
adalah bekerja di perusahaan besar. Tapi itu terlalu sulit. Jika tertarik
dengan perusahaan kecil aku bisa bekerja lebih awal. Aku ingin menjadi
seseorang yang punya pekerjaan bagus. Aku amat putus asa ingin mendapatkan gaji
yang lebih besar. Karena itu aku pergi dari rumah saat mereka bilang keluargaku
kaya.” Jawab Ji An.
“Biar kukatakan lagi, ini bukan salahmu.” Ucap
Hyuk.
“Aku pindah ke sana karena mereka kaya. Jika
mereka miskin, akankah aku langsung ke sana setelah beberapa hari? Meskipun aku
putri kandung mereka, teganya aku meninggalkan orang tuaku yang telah
membesarkanku. Aku memang seperti itu.” jawab Ji An.
“Kedengarannya kau sudah pasrah.” Ucap Hyuk.
“Aku sudah tidak peduli lagi. Inilah aku yang
sekarang. Aku menyukai keadaanku sekarang. Aku senang melakukan ini.” jawab Ji
An.
Beralih ke Gi Jae dan Do Kyung yang makan di tempat biasa, tapi Do Kyung sedang tidak berselera. Gi Jae pun menyuruh Do Kyung berhenti membantu Ji An, karena Ji An sudah mengambil keputusan.
“Kenapa aku amat gelisah? Semua ucapannya benar. Tapi
dia kehilangan semangatnya dan menjadi dingin. Aku tidak bisa berhenti
memikirkannya.” Ucap Do Kyung.
“Caramu mengakui perasaan kepadanya aneh.” Jawab
Gi Jae.
“Ini berbeda. Aku sadar aku menyukainya. Tapi aku
tidak berencana terlibat dengannya.” Ucap Do Kyung.
Gi Jae lalu membicarakan So Ra yang akan pulang
minggu depan. Gi Jae bertanya, apa Do Kyung akan menemui So Ra. Do Kyung
bilang, hidupnya sudah ditentukan saat dia lahir, jadi dia harus menemui So Ra.
Ji Soo yang baru pulang, terkejut melihat barang2nya sudah berubah. Ia membuka lemarinya dan tidak menemukan pakaian yang kemarin dibelinya. Ji Soo pun langsung menanyakannya pada Seketaris Min. Seketaris Min bilang, ia membuang barang-barang Ji Soo atas perintah Nyonya No. Ji Soo ingin tahu kemana Seketaris Min membuangnya.
“Pasti sudah dibawa oleh truk pengangkut sampah.”
Jawab Seketaris Min.
Ji Soo pun langsung berlari keluar, mengejar truk pengangkut sampah. Bersamaan dengan itu, Do Kyung pulang dan terkejut melihat Ji Soo berlari di jalanan. Saat mau turun, Ji Soo tiba2 masuk ke mobilnya dan menyuruhnya mengejar truk sampah itu.
Di rumah, Nyonya No kesal saat Seketaris Min bilang Ji Soo mengejar truk sampah itu. Tak lama kemudian, Do Kyung dan Ji Soo pulang. Nyona No terkejut melihat Ji Soo berhasil mengambil kembali barang2 itu.
“Kau tidak melihat barang-barang di kamarmu? Ibu
membelikan yang lebih baik untukmu.” Ucap Nyonya No.
“Itu semua tidak cocok dengan seleraku.” Ketus Ji
Soo.
Ji Soo lalu naik ke atas. Do Kyung membantu Ji
Soo membawa barang2 Ji Soo. Sampai di kamar, Ji Soo langsung membongkar
barangnya. Do Kyung bilang, akan memanggil Seketaris Min untuk membantu Ji Soo,
tapi Ji Soo menolaknya.
Seohyun datang. Ia menutup hidungnya begitu masuk
kamar Ji Soo. Do Kyung pun mengajak Seohyun keluar.
Dibawah, Seohyun dan Nyonya No membahas Ji Soo.
Seohyun bilang, kamar Ji Soo sangat bau. Nyonya No pun menyuruh Seketaris Min
untuk membawa barang2 Ji Soo ke laundry.
Tak lama kemudian, Ji Soo turun dengan membawa
tas besar. Ji Soo menyuruh No mengembalikan barang2 itu. Nyonya No kesal dan
menyuruh Ji Soo duduk.
“Ji Soo-ua, meskipun sekarang ibu memanggilmu Ji
Soo, kau terlahir sebagai Choi Eun Seok. Kau seharusnya dibesarkan dengan nama
itu.” ucap Nyonya No.
“Tapi aku tidak tumbuh dengan nama itu.” jawab Ji
Soo.
“Benar. Karena itu ibu menyayangkan tingkahmu
ini.” ucap Nyonya No.
“Tingkahku? Apa salahku?” tanya Ji Soo.
“Bagaimanapun, kau keluarga kami. Keluarga kami punya
aturan khusus. Kami berbeda dengan orang lain.” Jawab Nyonya No.
“Ini Perusahaan Haesung.” Jawab Seohyun.
“Karena uang kalian lebih banyak daripada orang
lain?” tanya Ji Soo.
“Kau tidak boleh mengatakannya begitu saja. Itu
terdengar tidak beradab.” Jawab Nyonya No.
“Choi Seo Hyun, kau bilang aku harus mengetuk
untuk meminta izin sebelum masuk ke ruangan mana pun di rumah ini?” tanya Ji
Soo.
“Benar. Itu sopan santunnya.” Jawab Seohyun.
“Berarti aku tidak boleh masuk ke kamarmu tanpa
seizinmu, bukan? Serta, apakah masuk akal jika membuang barang-barangku seperti
itu? Ini tidak pernah terjadi di keluargaku yang berharga. Aku tidak pernah
meminjam barang-barang saudariku tanpa seizinnya.” Ucap Ji Soo.
“Beraninya kau membandingkan mereka dengan kami!”
sewot Nyonya No.
“Ini aneh. Tidak masuk akal bagiku. Bagaimana
bisa anda membuang barang-barangku tanpa seizinku?” tanya Ji Soo.
“Ibu sudah memberitahukan alasannya. Ibu ingin kau
beradaptasi dengan keluarga kami.” jawab Nyonya No.
“Sudah kubilang, aku kemari bukan untuk menjadi
Eun Seok.” Ucap Ji Soo.
“Lantas menjadi siapa? Kau kemari karena tidak
ingin hidup sebagai Ji Soo.” Jawab Nyonya No.
Ji Soo terdiam. Do Kyung turun dan melihat
keributan itu dari tangga.
“Tidak bisakah kau mencoba? Kau tidak bisa
mempertimbangkan hal yang ibu lalui demi dirimu? Ibu hanya ingin memberimu hal
yang tidak bisa ibu berikan saat kau tidak ada. Tidak bisakah kau memahami itu?
Hanya demi dirimu, kami memutuskan untuk memaafkan Seo Tae Soo dan Yang Mi
Jung. Kami bahkan tidak melaporkan mereka ke polisi. Ibu bahkan membiarkan dia
mengelola restorannya. Kami tidak melakukan apa pun kepada saudaramu karena
mereka telah membesarkanmu.” Ucap Nyonya No.
Tuan Choi pulang dan terpaku melihat keributan
itu. Ji Soo terkejut Nyonya No mau melaporkan keluarga lamanya ke polisi.
“Mereka membawamu dan menukarmu dengan putri
mereka. Itu kejahatan.” Ucap Nyonya No.
“Mereka orang tuaku!” tegas Ji Soo.
“Mereka membesarkanmu, tapi mereka bukan orang
tuamu. Ibumu adalah aku.” jawab Nyonya No.
“Anda melahirkanku, tapi anda bukan ibuku. Anda
bertanggung jawab atas menghilangnya aku. Jadi, mereka mengirim Ji An alih-alih
aku. Tapi bahkan tidak sampai setahun. Ji An hendak memberitahukan kebenarannya.
Bisa-bisanya anda berpikir untuk menghubungi polisi. Aku sudah mengatakannya
dengan jelas. Hanya aku yang bisa marah kepada orang tuaku. Karena anda
menghilangkanku.” Ucap Ji Soo.
“Kenapa kau amat bodoh? Sadarlah! Ibumu adalah aku. Kamu keluarga kami. Kita sedarah.” Jawab Nyonya No.
“Apa bagusnya sedarah jika tidak tinggal bersama?
Anda dan suami anda bagaikan orang asing bagiku. Karena kita tidak saling
mengenal.” Ucap Ji Soo.
“Jika kau tetap ingin menjadi orang asing... Jika
kau tidak ingin berusaha, keluar saja dari rumah ini.” jawab Nyonya No.
“Baiklah. Aku akan meninggalkan rumah ini.
Carikan aku rumah.” Ucap Ji Soo.
“Apa? Rumah?” Nyonya No terkejut.
“Sudah sepatutnya orang tua menyokong anak
mereka. Tapi anda tidak mengeluarkan uang untuk membesarkanku selama ini. Restoran
ibuku? Berapa biayanya? Lebih besar dari yang dia keluarkan untuk
membesarkanku?” jawab Ji Soo.
Ji Soo lalu bangkit dari duduknya. Sebelum pergi,
Ji Soo menyuruh Nyonya No mencarikannya sebuah kamar dan dia akan langsung
pergi.
Ji Soo kembali ke kamarnya. Ia memeluk salah satu
sweater barunya, lalu duduk di tepi ranjang dan mengingat kenangannya bersama
Nyonya Yang saat Nyonya Yang membelikannya baju hangat, padahal harganya sangat
mahal.
Flashback…
“Ibu ingin kau mengenakan pakaian bagus saat
kuliah. Tapi ibu hanya bisa memberimu baju bekas sekarang. Maafkan ibu. Ibu
tidak punya pilihan karena bisnis ayahmu gagal.” Ucap Nyonya Yang.
Tapi saat di kasir, ternyata diskonnya hanya 20
%, bukan 50 % seperti yang mereka lihat. Nyonya Yang pun bingung. Uangnya tak
cukup karena harus membelikan Ji An mantel juga. Ji Soo merengek, ia bilang
sudah menginginkan baju itu dari setahun lalu. Nyonya Yang pun mengabulkan
permintaan Ji Soo. Ia membelikan Ji Soo baju itu meski harganya mahal dan untuk
Ji An, ia akan membelikan mantel yang murah. Ji Soo senang dan langsung memeluk
Nyonya Yang.
“Eomma.” Ucap Ji Soo. Tangis Ji Soo pun akhirnya
menetes.
Do Kyung
kemudian mengetuk pintu kamar Ji Soo. Ia ingin masuk, tapi Ji Soo melarang.
Nyonya Yang yang baru pulang terkejut mendapati
suaminya masih tidur. Cemas, ia pun membangunkan sang suami, tapi suaminya
tidak mau bangun dan meminta jangan diganggu.
Nyonya No membicarakan soal Do Kyung yang akan
langsung menemui So Ra saat So Ra kembali. Nyonya No juga berkata, akan
menyuruh Do Kyung menghubungi So Ra.
Selesai bicara dengan ibunya So Ra, Nyonya No
dikejutkan dengan telepon ayahnya.
CEO No baru saja tiba di kediaman keluarga Choi.
Seketaris Min terkejut dan bertanya apa alasan CEO No kembali ke Korea tanpa
memberi kabar terlebih dahulu.
“Beraninya kau bicara padaku seperti itu!” bentak
CEO No.
CEO No juga melarang Seketaris Min menghubungi
siapapun. Tak lama kemudian, Nyonya No pulang dan CEO No langsung mengajaknya
bicara.
Ji Tae dan Soo A pergi melihat-lihat apartemen.
Ji Tae bilang, apartemen itu lebih baik dari apartemen yang mereka datangi
sebelumnya.
“Ya benar, tapi tempatnya lebih kecil daripada
yang terlihat di foto.” Jawab Soo A.
Setelah melihat2 apartemen, mereka duduk diluar,
menikmati pemandangan Seoul dan makan sandwich.
“Kenapa makan di luar saat cuacanya dingin? Hanya
setengah potong roti lapis?” ucap Ji Tae.
“Aku terlalu banyak di dalam ruangan dan merasa
sesak. Tempat ini memiliki pemandangan bagus.” Jawab Soo A.
“Ayo cari apartemen lebih besar yang agak jauh.”
Ajak Ji Tae.
“Kenapa menghabiskan uang untuk transportasi? Bahkan
menurutku rumah itu sudah cukup mahal. 800 dolar sebulan? Tidak ada yang lebih
murah. 800 dolar sebulan. Artinya setahun 9.600 dolar? Hampir mencapai 20.000
dalam dua tahun.” Ucap Soo A.
“Tidak apa-apa. Kita tidak perlu memberi Ji Ho
1.000 dolar per bulan untuk biaya kuliah.” Jawab Ji Tae.
“Tapi tetap saja, kita akan kehilangan hampir
20.000 dolar dalam dua tahun.” Ucap Soo A.
“Lantas kenapa?” tanya Ji Tae.
“Sebaiknya kita mempertimbangkan soal pindah dari
rumah.” Jawab Soo A.
“Tidak! Di rumah itu, kita tidak bisa bersantai.”
Tegas Ji Tae.
“Lantas, batalkan simpanan untukku, pinjamlah
uang dari bank, dan sewa rumah dalam jangka panjang.” Jawab Soo A.
“Kenapa membatalkan simpananmu yang sudah makin
sedikit?” tanya Ji Tae.
“Rasanya sayang jika kita membayar biaya
bulanannya.” Jawab Soo A.
“Ya, jika kau berpikir seperti itu. Tapi jika kau
memikirkan rumah tangga kita, sama sekali tidak. Meskipun kita tidak peduli, suasananya
menyesakkan. Aku tidak ingin kau berusaha bertahan di sana.” Ucap Ji Tae.
“Kau yakin ini bukan demi dirimu? Kaulah yang tidak tahan, bukan aku. Jangan
menggunakanku sebagai alasan.” Jawab Soo A.
“Kau tidak masalah?” tanya Ji Tae.
“Yang membuatku kesal adalah melihatmu frustasi.
Kau tidak mandiri secara mental.” Jawab Soo A, yang membuat Ji Tae terdiam.
Nyonya Yang pergi ke Haesung untuk menemui Tuan
Choi. Awalnya, dia mau menemui Nyonya No, tapi kantor bilang, Nyonya No pulang
lebih awal, jadi dia menemui Tuan Choi. Nyonya Yang mengembalikan uang yang
didapatnya dari restoran. Nyonya Yang mengaku, mengumpulkan uang itu setelah
kebohongannya terbongkar.
“Kenapa menerima tawarannya jika kau akan seperti
ini?” tanya Tuan Choi.
“Sampai anda menemukan pengganti yang bisa
mengelolanya, aku akan mengatur para pegawai dan bekerja keras tanpa menerima
bayaran, serta memastikan bisnisnya berkembang. Jadi, kumohon, jangan mengancam
Ji An lagi. Aku tidak bisa menyerahkan diri karena Ji Soo. Daripada
menghasilkan uang dan mengorbankan Ji An, lebih baik aku mati.” Jawab Nyonya
Yang.
“Aku sudah bicara dengan suamimu. Dia tidak
memberitahumu?” ucap Tuan Choi.
“Apa maksud anda?” tanya Nyonya Yang.
“Aku tidak mendendam. Kau bisa mengelola
restorannya sebagai bayaran karena telah membesarkan putriku.” Jawab Tuan Choi.
Nyonya Yang terkejut, apa? Tuan Choi berkata,
bertemu Tuan Seo dua hari yang lalu. Nyonya Yang memberitahu, kalau suaminya
tidur saat ia pulang hari itu.
“Dia tidak sakit?” tanya Tuan Choi.
“Dia tidak demam dan bangun saat kuguncangkan. Dia
hanya tidak ingin diganggu.” Jawab Nyonya Yang.
“Ji An sudah pulang?” tanya Tuan Choi.
“Belum.” Jawab Nyonya No.
Sekarang, Tuan Choi duduk sendirian di taman. Ia
menghela nafas, lalu menghubungi dokter pribadinya.
Tuan Choi menemui dokter pribadinya.
“Dokter Go, ada apa denganku? Aku kesepian. Aku
merasa marah, bingung, dan kosong. Rasanya seperti tidak punya apa-apa. Aku
merasa ingin menangis. Lalu tiba-tiba ingin marah.” Ucap Tuan Choi.
“Itu menopause pria.” Jawab Dokter Go.
“Menopause pria?” tanya Tuan Choi.
“Kau yakin tidak ada masalah lain? Jika orang
sepertimu, yang emosinya terkendali, menderita seperti ini, pasti ada hal lain
yang mengganggumu.” Jawab Dokter Go.
“Kau memperlakukanku seperti pasien? Aku kemari untuk minum teh.” Protes Tuan
Choi.
“Karena sudah di sini, mari berakting menjadi
dokter dan pasien.” Ajak Dokter Go.
“Jika begitu, aku harus memberitahumu segalanya.”
Jawab Tuan Choi.
“Jadi, memang ada masalah?” tanya Dokter Go.
Tuan Choi pun berkata, akan menceritakannya lain
kali. Tuan Choi berdiri, tapi kemudian teringat pada cerita Nyonya Yang soal
Tuan Seo yang sudah tidur selama dua hari.
“Bisakah seseorang tidur terus selama dua malam
tiga hari? Dia tidur tanpa makan.” Tanya Tuan Choi.
“Aku tidak yakin, tapi itu bisa terjadi jika
orang tersebut tidak ingin sadar.” Jawab Dokter Go.
“Dia tidak ingin sadar?” tanya Tuan Choi kaget.
“Jika dia tidak ingin bangun dan menghadapi kenyataan
karena terlalu menyakitkan, maka dia akan memilih tidur untuk menghindarinya.”
Jawab Dokter Go.
Lalu, Tuan Choi ditelpon istrinya.
Tuan Choi buru-buru pulang dan menyapa CEO No.
CEO No marah mengetahui Ji An bukan cucunya.
“Dia bilang ingin ke Hawaii untuk mengunjungi
ayah. Tiba-tiba, tanpa alasan. Dia tidak pernah begitu. Pasti ada masalah. Ayah
tidak tahu masalahnya, tapi pasti ada masalah. Jadi, setelah keluar dari rumah
sakit, ayah langsung naik pesawat.” Ucap CEO No.
“Kau memberitahukan semuanya?” tanya Tuan Choi
pada istrinya dengan tatapan tajam.
“Kau mencoba menyalahkan orang lain? Ini bencana
besar. Saat ada krisis, kita harus mengontrol kerugiannya lebih dahulu. Penanggulangan.”
Ucap CEO No.
“Apa rencana ayah?” tanya Tuan Choi.
Ji An disuruh boss nya membuat perabotan dengan
mengikuti instruksi yang ada.
Seketaris Yoo memberikan sebuah amplop yang
berisi uang hadiah Ji An karena memenangkan konter menggambar pada Do Kyung. Do
Kyung mengambil amplop itu, kemudian pergi. Sambil menatap kepergian Do Kyung,
Seketaris Yoo berkata kalau perasaannya tidak enak.
Sepanjang malam, Ji An membuat perabotnya.
Setelah perabotnya selesai, ia tersenyum melihat hasil karyanya.
Do Kyung berdiri di depan toko perabot, tapi ia
ragu untuk masuk.
Begitu tiba di rumah, Ji Tae dan Soo A terkejut
melihat Tuan Seo masih tidur. Ji Tae pun membangunkan ayahnya dan mengajak sang
ayah ke rumah sakit. Tuan Seo menolak dan mengaku baik2 saja. Ji Tae pun
membantu sang ayah duduk dan mengajak ayahnya ke rumah sakit. Tuan Seo marah.
“Apa pedulimu!” bentak Tuan Seo, mengejutkan Ji
Tae dan Soo A. Nyonya Yang yang baru datang, juga terkejut.
Do Kyung masih menunggu Ji An. Tak lama kemudian,
Ji An datang dan kesal melihat Do Kyung. Ji An bertanya, untuk apa Do Kyung
datang lagi.
“Aku membawakan ini. Bebek yang kau gambar di
kaus memenangkan juara pertama. Ini uang hadiahnya.” Ucap Do Kyung, lalu
menyerahkan uang itu pada Ji An.
Ji An yang merasa tidak ikut kompetisi itu,
menolak menerimanya. Do Kyung pun mengaku kalau ia yang memasukkan gambar Ji An
karena gambarnya manis.
“Kau selalu melakukan hal tidak berguna.” Jawab
Ji An.
“Berhentilah marah.” Pinta Do Kyung.
“Kau juga tidak mengerti isyarat.” Jawab Ji An.
“Kenapa kau bersikap sarkastis?” tanya Do Kyung.
“Kau tidak berpikir karena ini konyol? Pegawai
Haesung Apparel hanya aku? Wakil presdir mengantarkan hadiah kepada mantan
pegawai yang tidak mengikuti kompetisi itu?” jawab Ji An.
“Aku hanya membutuhkan tanda terima. Kau lebih
ingin menemui rekan kerjamu? Aku yang datang agar mereka tidak melihatmu
seperti ini.” ucap Do Kyung.
“Kenapa kau membuat alasan untuk menemuiku? Kau masih menyukaiku? Itu tidak baik.” Jawab Ji
An.
“Jangan bicara seenaknya.” Ucap Do Kyung.
“Kau berdiri menunggu di sekitar tempat
tinggalku. Jika tidak ingin aku curiga, sebaiknya jangan melakukan hal yang
mencurigakan. Aku tidak ingin menemuimu. Kenapa kau terus datang?” jawab Ji An.
“Aku harus menemuimu. Aku mencemaskanmu.” Ucap Do
Kyung.
“Jangan itu lagi. Kenapa kau tidak mengontrol
emosimu? Satu kesalahan tidak cukup? Kau takut harus bertanggung jawab atas
perasaanmu, tapi seperti sebelumnya, kau merasa terganggu. Kau takut aku akan
mengusulkan sesuatu. Kau takut aku akan bilang aku menyukaimu. Pikirmu aku
gila? Aku mengenal keluargamu. Pikirmu aku akan meyakini perasaan pria kaya yang
menyukaiku sesaat? Kau pengecut yang salah paham, membuat alasan, dan kabur
lebih dahulu.” Jawab Ji An.
“Aku mengakuinya. Aku pengecut.” Ucap Do Kyung.
“Beraninya kau berpura-pura.” Jawab Ji An.
“Aku sungguh meminta maaf atas kejadian hari itu.”
ucap Do Kyung.
“Jika kau menyesal, jangan datang kemari. Jangan
mencemaskanku.” Jawab Ji An.
“Sikapmu aneh. Kau tidak mau mencari pekerjaan
atau pulang ke rumah. Kau bekerja di pantai. Di sini, kau memotong kayu.
Seakan-akan kau sudah menyerah. Karena itulah aku terganggu. Jika tidak ingin
aku terganggu, pulanglah ke rumah. Kau tidak tahu betapa ayahmu merindukanmu? Aku
ingin membawanya kepadamu. Dia pikir kau sudah tewas. Aku hanya bilang kau
baik-baik saja.” Ucap Do Kyung.
Mendengar itu, emosi Ji An pun meledak. Dia
berteriak2 histeris.
“Kau orangnya? Kau memberi tahu ayahku aku
tinggal di daerah sini? Beraninya kau! Beraninya kau melakukan itu! Kenapa? Apa
hakmu ikut campur? Apa hakmu memberitahunya tempat tinggalku? Beraninya Kau!
Kau pikir aku bersedia menemuimu karena masa lalu kita? Tidak. Aku
menganggapnya sebagai jalan keluar karena aku mengenal sifatmu. Kau akan
membicarakan kedermawanan dan terus datang, mengabaikan perasaanku. Kau akan
terus datang sampai kehabisan alasan. Aku tahu kau orang seperti itu! Aku tidak
pulang. Aku tidak ingin melihatnya. Beraninya kau memaksaku menemuinya! Apa
hakmu ikut campur saat semua sudah berakhir?”
Do Kyung pun terkejut melihat reaksi Ji An.
Ji An lalu menatap tajam Do Kyung dan berkata
tidak ingin melihat wajah Do Kyung lagi.