Sebelumnya....
“Aku
rasa aku jatuh cinta lagi padamu.” Ucap Jin Eon begitu Hae Gang menghampirinya.
“Aku
sudah tahu.” jawab Hae Gang.
“Berikan
tasmu.” Pinta Jin Eon.
“Tidak
mau, tas melambangkan harga diri seorang wanita.” Jawab Hae Gang.
“Berikan
padaku. Tas wanitaku melambangkan harga diriku.” ucap Jin Eon.
Hae
Gang pun tersenyum, lalu memberikan tas alias keranjangnya yang berisi
peralatan mandi pada Jin Eon. Jin Eon kemudian menyuruh Hae Gang menggandeng
lengannya. Hae Gang pun menggandeng lengan Jin Eon, dan selanjutnya keduanya
beranjak pergi menuju sauna dengan senyum terkembang.
“Kau
akan memakai itu?” tanya Hae Gang saat melihat Jin Eon sedang memilih2 baju
sauna.
“Aku
pernah memakainya dulu.” Jawab Jin Eon.
“Tak
bisa kubayangkan…” dan Hae Gang pun tersenyum geli, “… tapi entah bagaimana
tampaknya akan lucu.”
“Awas
ya kalau kau jatuh cinta padaku.” Ucap Jin Eon.
Ajumma
penjaga sauna kemudian memberitahu bahwa Jin Eon dan Hae Gang harus
menitipkan barang2 berharga mereka
sebelum masuk ke sauna. Jin Eon pun langsung melirik Hae Gang dan berkata kalau
mereka harus menitipkan barang2 berharga mereka.
“Titipkan
saja.” Jawab Hae Gang.
“Tolong
jaga barang berhargaku.” Pinta Jin Eon.
“Berikan
saja padaku.” Jawab si ajumma.
Dan,
Jin Eon pun langsung menyodorkan Hae Gang sebagai miliknya yang berharga. Si
ajumma langsung mengernyit heran. Hae Gang pun meminta Jin Eon berhenti
bercanda. Jin Eon berkata, bahwa ia serius kalau Hae Gang miliknya yang
berharga. Hae Gang pun mendengus mendengar gombalan Jin Eon itu.
“Karena
sudah jam lima sekarang, ayo bertemu jam setengah enam di tempat penjualan
camilan di lantai sauna.” Ucap Hae Gang.
“Jadi
kita harus berpisah selama 30 menit? Itu sulit untukku. “ jawab Jin Eon.
Setengah
jam kemudian, Jin Eon menghampiri Hae
Gang yang sudah menunggunya di lantai sauna. Hae Gang tertawa geli melihat Jin
Eon yang mengenakan kaus sauna. Jin Eon ingin tahu kenapa Hae Gang tertawa. Hae
Gang pun berkata bahwa Jin Eon terlihat seperti pria paru baya untuk pertama kalinya.
“Aku
memang pria paru baya.” Jawab Jin Eon.
“Kukira
kau benar2 pria paru baya, tapi karena alasan tertentu membuatku kesal.” Ucap
Hae Gang.
“Kau
akan menangis saat aku menjadi kakek nanti.” Jawab Jin Eon.
“Kakek
Choi Jin Eon, gigi palsumu copot.” ledek Hae Gang.
Jin
Eon pun tertawa. Jin Eon lalu balas meledek Hae Gang.
“Nenek
Do Hae Gang, oh, tongkatmu terjatuh.” Ledek Jin Eon.
“Oh,
tolong ambilkan. Aku harus menemukan gigi palsu Kakek.” Jawab Hae Gang.
Keduanya
pun kembali tertawa….
Hae
Gang dan Jin Eon kini berada di dalam ruang sauna. Baru sebentar, tapi Jin Eon
sudah merasa kepanasan dan ingin keluar. Sementara Hae Gang terlihat menikmati.
Melihat Jin Eon yang sudah tidak tahan, Hae Gang pun menyuruh Jin Eon keluar
duluan dan ia akan menyusul Jin Eon 10 menit lagi.
“10
menit? Akan kutunggu. Aku bisa menahannya.” Jawab Jin Eon.
“Mengapa
menahan? Tidak perlu.” Ucap Hae Gang.
“Aku
akan tahan. Harus. Karena dengan begitu, kita bisa terus bersama-sama.” Jawab
Jin Eon.
Hae
Gang pun tersenyum, lalu mengelap wajah Jin Eon yang dipenuhi keringat dengan
handuk kecil. Jin Eon tersenyum, lalu memejamkan matanya dan mendekatkan
wajahnya ke wajah Hae Gang.
“Kita
lupa rahasia alam semesta. Seluruh benda di dunia ini akan saling tertarik satu
sama lain. Jangan pedulikan orang lain dan lakukan sesukamu.” Ucap Jin Eon.
Hae
Gang pun tersenyum geli. Jin Eon lalu membuka matanya dan terheran2 melihat
hanya ada mereka berdua di dalam sauna itu. Karena hanya ada mereka berdua di
sana, Jin Eon pun menyuruh Hae Gang menciumnya. Hae Gang tersipu, kemudian
mendekatkan bibirnya ke bibir Jin Eon, tapi kemudian ia tak jadi mencium Jin
Eon.
“Aku
akan melakukannya malam hari.” Ucap Hae Gang.
Jin
Eon kaget, apa?
“Nanti,
saat kita cuma berdua saja.” Ucap Hae Gang.
Jin
Eon pun setuju.
Keluar
dari ruang sana, Jin Eon dan Hae Gang duduk di lantai tempat penjualan camilan.
Hae Gang mengajak Jin Eon berbelanja usai dari sauna agar mereka bisa makan
malam di rumah.
“Itukah
maumu? Kalau begitu nanti malam aku yang akan membuatkan makan malam.” Jawab
Jin Eon.
“Kau?
Kau memasak?” tanya Hae Gang tidak percaya.
“Aku
bisa memanggang daging steik.” Jawab Jin Eon,
“Baiklah,
kalau begitu nanti malam kau yang membuat makan malam.” Ucap Hae Gang.
“Ada
wine di rumah, kan?” tanya Jin Eon.
“Kemarin
aku membeli Romanee- St-Vivant 02 Vintage dan Chateau Cos d'Estournel 03
Vintage.” Jawab Hae Gang.
Jin
Eon lalu memberikan sikhye ice (minuman beras) pada Hae Gang, namun sebelum
memberikannya pada Hae Gang, ia membuang salah satu pipetnya. Selesai Hae Gang
minum, Jin Eon dengan wajah nakal nya menyeruput minumannya dengan pipet bekas
Hae Gang itu.
“Aku
ingin kau menginap nanti malam.” Ucap Hae Gang, membuat Jin Eon tertegun.
“Tidur
bersamaku nanti malam di Buamdong.” Ucap Hae Gang lagi.
Namun
Jin Eon diam saja dan tampak memikirkan sesuatu.
“Apa-apaan
ini? Mengapa tidak ada jawaban? Tidurlah denganku nanti malam dan singgah ke
Pyongchangdong besok pagi untuk mengganti pakaian dalam perjalanan ke kantor.”
ucap Hae Gang.
“Ah,
maaf. Aku punya rencana.” Jawab Jin Eon.
“Apa?
Tapi kau akan singgah untuk makan malam, kan?” tanya Hae Gang.
“Hasil
klinis untuk obat anti virus CM 8573 sudah keluar dan mulai dari jam 11 nanti
malam, aku akan melakukan konferensi video dengan Perusahaan Farmasi
Schering-Plough. Jam 3 di Berlin.” Jawab Jin Eon.
“Kapan
rapatnya akan selesai?” tanya Hae Gang dengan wajah kecewa.
“Tidak
akan selesai. Kupikir akan berlangsung semalaman.” Jawab Jin Eon. Hae Gang pun
kecewa.
Jin
Eon lantas menawari Hae Gang telur rebus. Hae Gang, entah karena sebal atau
ingin mengerjai Jin Eon, mengupas telur itu setelah memukulkan telurnya ke
kepala Jin Eon. Jin Eon tertawa sambil meringis kesakitan memegangi kepalanya.
“Apa?
Kau ingin aku memecahkannya di dahimu?” tanya Hae Gang.
Jin
Eon pun mau membalas Hae Gang. Ia mau memukulkan telur itu ke dahi Hae Gang,
tapi saat hendak memukulkan telurnya ke dahi Hae Gang, Hae Gang malah memasang
muka memelas membuat Jin Eon merasa tidak tega.
“Mana
bisa aku memukulmu?” ucap Jin Eon.
Di
ruangannya, Seol Ri yang sudah bersiap pulang tertegun saat melihat sepasang
ikan cupang di mejanya. Kata2 seseorang pun terngiang di telinganya.
“Karena tampaknya kau telah
disakiti oleh seseorang. Meskipun tidak tahu pasti, tampaknya demikian. Meskipun
aku tidak tahu pasti. Tampaknya kau harus terbebas darinya agar bisa membuka
hatimu pada seseorang.”
“Aku
ingin terbebas, Il Man-ah. Aku juga ingin menyayangi seseorang, Yi Cheon
Bong-ah.” Ucap Seol Ri pada sepasang ikan itu.
Seol
Ri kemudian beranjak keluar. Dan diluar, ia mendengus kesal karena lagi2
bertemu Gang San yang sudah menunggunya sejak tadi. Gang San pun melambaikan
tangannya ke Seol Ri dengan wajah ceria. Seol Ri yang sebal, tidak mempedulikan
Gang San dan berjalan begitu saja. Gang San pun lekas berjalan di samping Seol
Ri.
“Bukankah
ini menjengkelkan? Bukankah ini mengganggu? Bukankah ini membuatmu kesal? Tuh
kan, ini mungkin berakhir hanya dengan satu kencan. Semangat berubah menjadi
keberanian. Keberanian berubah menjadi kegigihan. Kegigihan berubah menjadi
kedengkian. Kedengkian berubah menjadi kegilaan. Menurutmu aku berada dalam
tahap yang mana?” tanya Gang San.
Seol
Ri pun menghentikan langkahnya dan menatap sebal Gang San.
“Keberanian.
Kau mungkin menganggap betapa tidak tahu malu diriku ini. Sebetulnya, aku
menggunakan banyak keberanian sekarang. Aku minum Cheongsimhwan (pil penenang
herbal Korea) sebelum datang kemari hari ini.” ucap Gang San.
“Kalau
kau terus melakukannya, aku akan melaporkanmu.” Jawab Seol Ri.
“Terima
saja ini. Kau tidak perlu datang, terima saja.” Ucap Gang San sambil
menyodorkan sesuatu seperti tiket gitu.
Tapi
karena Seol Ri diam saja, akhirnya Gang San memasukkan tiket itu ke saku mantel
Seol Ri.
“Besok
adalah ulang tahunku. Aku mengabaikan keluargaku yang ingin makan bersamaku,
dan melewatkan ajakan teman-teman yang ingin minum denganku. Kuputuskan untuk
menghabiskan ulang tahunku denganmu, jadi pikirkanlah. Entah datang atau tidak,
karena aku bersamamu seharian, jangan terlalu khawatir. Kau bisa menonton film
denganku, makan bersamaku dan hanya menghabiskan waktu sebelum pulang. Tidak
begitu sulit. Coba saja. Kau bisa memulai kali kedua bersama pria lain bila
mau. Sampai bertemu besok.” Ucap Gang San.
Gang
San kemudian beranjak pergi sambil terus menatap Seol Ri.
“Kau
seperti kaktus. Aku ingin memberikanmu banyak air, tapi jika kulakukan, kaktus
akan mati. Jadi aku tak bisa melakukannya. Setelah keberanian, semangat yang
pantang mundur. Karena semangat yang pantang mundur bukan cinta, aku hanya akan
berani sampai besok.” Ucap Gang San.
Gang
San lalu tersenyum, kemudian melambaikan tangannya pada Seol Ri dan beranjak
pergi. Seol Ri tertegun menatap kepergian Gang San.
Ha
Joon mengomentari Hyun Woo yang masih melajang, padahal teman Hyun Woo sudah
dua kali menikah tapi Hyun Woo hanya menjadi saksi pernikahan saja. Ha Joon
ingin tahu alasan Hyun Woo masih belum menikah.
“Hei,
hei! Bukannya aku tidak bisa, tapi aku memilih tidak. Mana bisa aku menjalani
seumur hidupku memandang seorang wanita saja? Aku tak bisa melakukannya.” Jawab
Hyun Woo.
“Oh,
jadi itu sebabnya kau bahkan tidak mencari seorang wanita seumur hidupmu? Katakan
sejujurnya. Go Unnie, kau pernah terbakar parah karena seorang wanita, bukan?”
tanya Ha Joon.
Sementara,
Seok yang mendengar pembicaraan itu diam saja dan terlihat sedih.
“Pernikahan
itu seperti sangkar burung. Burung di luar sangkar berjuang keras agar masuk ke
dalam sangkar. Burung di dalam sangkar berjuang keras agar keluar. Michel de Montaigne.” Jawab Hyun Woo.
“Kau
lebih pesimis dari tampangmu.” Ucap Ha Joon.
“Pernikahan
merupakan usaha memecahkan masalah bersama-sama yang bahkan tidak kau miliki
saat kau sendiri. Eddie Cantor. Musuhku banyak, namun tidak ada yang sepertimu.
George Gordon Byron.” Jawab Hyun Woo.
“Karena
kau mengumpulkan, menulis dan menghapalkan kutipan demikian, itu sebabnya kau
belum menikah dan dipenuhi kebencian. Robek saja buku catatan menyedihkan itu
dan buang. Ada apa denganmu? Kau bukan pecundang. Daripada menghabiskan waktu
mengumpulkan kata-kata seperti itu, berkencanlah dengan perempuan.” Ucap Ha
Joon.
“Aku
tak bisa merobeknya. Ini buku catatan Ayahku.” Jawab Hyun Woo.
Ha
Joon kaget, apa?
“Dengan
memikirkan hal itu, perkenalkan aku pada wanita. Aku kesepian karena aku ini
manusia, tapi aku sangat kesepian hingga kemanusiaanku hampir hancur.” Jawab
Hyun Woo.
“Tipemu
seperti apa?” tanya Ha Joon.
“Suzy,
IU, Miranda Kerr. Aku kesepian lantaran mereka semua punya pacar.” Jawab Hyun
Woo.
“Wow!
Siapa? Suzy, IU, Miranda Kerr? Itu sungguh berlebihan. Ah, kau membuat selera
alkoholku hilang. Aku tidak minum ini!” maki Ha Joon.
“Jam
berapa ini? 8.48? Aku bertanya-tanya apakah lamarannya berjalan baik?” ucap
Hyun Woo.
Dan,
Ha Joon pun langsung menatap Seok yang terlihat sedih. Seok kemudian tersenyum,
dan berkata akan ikut berdiri sebagai saksi di pernikahan Jin Eon dan Hae Gang.
“Jika
anak itu akan menikah, dan aku tidak berdiri sebagai saksi, siapa lagi? Aku
tahu dia punya teman lain, tapi aku yang terdekat.” Ucap Seok.
“Aku
dapat 7 lembar. Kau harus minta sekitar 20. Kau lebih kurang sudah seperti
kakaknya.” Jawab Hyun Woo.
Namun,
meski berusaha tersenyum, Seok tetap tak dapat menyembunyikan kesedihannya. Dan
Ha Joon menyadari hal itu.
Jin
Eon tampak sibuk membakar daging. Sedangkan Hae Gang menunggu di meja makan
dengan wajah sebal.
“Sudah
jam 9, kan? Sebaiknya aku cepat-cepat makan lalu pergi. Aku harus pergi
selambat-lambatnya jam 10.20.” ucap Jin Eon.
Hae
Gang pun tambah sebal. Jin Eon lalu menyuruh Hae Gang mencicipi wine nya.
“Rasanya
lumayan.” Ucap Hae Gang.
“02
Vintage lumayan?” tanya Jin Eon sambil membawakan daging steaknya ke meja.
“Selalu
ada apel yang busuk dalam gentong. Kau menghanguskan asparagus-nya. Kandungan
gizinya mungkin sudah hilang.” Jawab Hae Gang.
Hae
Gang lalu menuangkan wine ke gelas Jin Eon.
“Haruskah
kita bersulang?” tanya Jin Eon.
“Mengapa?
Ini bukan hari istimewa. Mari minum saja.” Jawab Hae Gang.
Tapi
Jin Eon malah tersenyum jahil dan mendekatkan gelasnya ke gelas Hae Gang.
“Aku
akan makan dengan baik, dengan sangat terburu-buru, karena kau harus bangkit
pergi pada jam 10.20.” ucap Hae Gang.
“Jadi,
mari makan cepat-cepat.” Jawab Jin Eon.
“Wine-nya
bahkan belum bernapas.” Gumam Hae Gang sebal.
“Apa?
Aku tak bisa mendengar.” Tanya Jin Eon.
“Bukan
apa-apa. Makan saja, aku bicara pada diriku sendiri.” Jawab Hae Gang.
“Aku
tak sabar menanti besok.” Ucap Jin Eon.
“Aku
juga.” jawab Hae Gang.
“Kita
telah melalui jalan panjang hingga sampai di sini, kan? Apa yang harus kita
lakukan soal pernikahan? Kau bisa lakukan sesukamu. Bahkan bisa saja di Bali
atau Hawaii.” Ucap Jin Eon.
“Mengapa
lokasi begitu penting? Mari lewatkan
seremonial dan jalan-jalan saja bersama Ibu Mertua. Swiss bagus dan begitu pula
Perancis Selatan. Ayo pergi di bulan April. Saat itu Alinea Avignon indah.”
Jawab Hae Gang.
“Tapi,
bukankah kita menikah?” tanya Hae Gang lagi.
“Kalau
begitu, tidak?” tanya Jin Eon.
“Lakukan
saja?” tanya Hae Gang.
“Apa?
Kau ingin aku melamar atau semacamnya? Aku sudah memberitahukanmu cincinnya
telah kukembalikan. Mengapa formalitas begitu penting asalkan kita siap lahir
batin? Dan bukan seperti kau tidak pernah menerima cincin dari lelaki gila itu.”
jawab Jin Eon.
Hae
Gang pun makin sebal. Jin Eon lalu mencicipi steak yang dipanggangnya dan mulai
narsis.
“Aku
tahu aku yang memanggangnya, tapi ini luar biasa. Dagingnya lumer. Seperti
madu. Rasanya seperti madu. Bisa-bisa aku gila? Kapan datangnya hari esok?”
ucap Jin Eon.
Dan
Hae Gang hanya menatapnya dengan tatapan sebal.
Selesai
makan, Hae Gang menyemprotkan spray ke tubuh Jin Eon untuk menghilangkan bau
Jin Eon karena memasak tadi. Habis menyemprotkan spray, Hae Gang memberikan tas
dan jaket Jin Eon, kemudian mengantarkan Jin Eon ke pintu.
“Berikan
padaku yang kau pegang.” Pinta Jin Eon.
“Apa
yang kau bicarakan?” tanya Hae Gang bingung.
“Mengapa
kau mengayuh mundur sekarang? Tadi di Hanjin, yang kau bilang padaku, kau akan
melakukannya nanti malam saat kita sendiri. Ini milikku, berikan kemari.” Jawab
Jin Eon.
Jin
Eon lalu menutup matanya dan mendekatkan bibirnya ke Hae Gang. Hae Gang diam
saja sambil menatap sebal Jin Eon. Jin Eon pun meminta Hae Gang segera
melakukannya agar ia tidak terlambat menghadiri meeting. Hae Gang pun makin
sebal, tapi biarpun sebal ia tetap mencium Jin Eon.
Namun
tiba2 saja, Jin Eon memegang wajah Hae Gang dan mencium bibirnya. Ia tak
membiarkan Hae Gang melepaskan ciuman itu. Ketika Hae Gang mulai menikmati
ciuman mereka, Jin Eon malah melepaskan ciumannya.
“Jika
kau terus-menerus melakukan hal ini, aku tak bisa pergi ke kantor. Kau
membuatku tergila-gila!” ucap Jin Eon.
Jin
Eon lalu beranjak pergi. Hae Gang diam saja sambil menatap sebal Jin Eon.
Apakah
Jin Eon langsung pergi? Tentu saja tidak, ia menunggu di mobil sambil senyum2
menatap jamnya. Tak lama kemudian, ia melihat cincinnya yang akan ia pakai
untuk melamar Hae Gang.
Hae
Gang sendiri baru selesai mandi. Ia masih kesal karena Jin Eon yang lebih
mementingkan pekerjaan ketimbang dirinya.
Jin
Eon baru turun dari mobil saat melihat lampu di dalam rumah yang sudah padam. Ia
lantas masuk ke dalam rumah sambil tersenyum jahil.
Dan,
Hae Gang? Dia sibuk mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Tiba2 saja, Hae
Gang mematikan hairdryer nya, kemudian membuka lacinya dan melihat cincin
pernikahannya yang lama. Setelah cukup lama memandangi cincinnya itu, Hae Gang
pun menyematkan cincin itu di jarinya.
Tanpa
ia sadari, Jin Eon diam2 masuk ke kamarnya. Hae Gang masih sibuk melihat
cincinnya. Jin Eon kemudian berdiri di samping Hae Gang dan ia pun tersenyum
melihat Hae Gang. Hae Gang kembali memandangi cermin. Ia terkejut saat melihat
Jin Eon dari cermin.
“Kau
mengagetkanku. Mengapa kau datang?” tanya Hae Gang.
“Aku
datang untuk mengeringkan rambutmu.” Jawab Jin Eon.
Jin
Eon lalu mengambil hairdryer dan mengeringkan rambut Hae Gang.
“Bagaimana
dengan rapatmu?” tanya Hae Gang.
“Aku
menyuruh Hyun Woo menggantikan tempatku karena aku tak sabar menunggu sampai
besok. Aku tidak ingin, tapi tubuhku tidak mau mendengarkanku. Aku tak bisa
mengendalikan tubuhku hari ini.” jawab Jin Eon.
“Hyun
Woo akan menghadapi banyak kesulitan.” Ucap Hae Gang.
Hae
Gang lantas bangkit dari duduknya dan berdiri menghadap ke arah Jin Eon.
“Ulurkan tanganmu.” pinta keduanya kompak.
“Kau
membeli cincin?” tanya keduanya lagi.
Keduanya
pun tertawa geli karena sama2 menanyakan pertanyaan yang sama.
“Aku
dulu yang akan memasangnya.” Ucap Hae Gang.
Hae
Gang lalu menyematkan cincin barunya ke jari Jin Eon.
“Aku
akan menjadi suami yang baik.” Ucap Jin Eon sambil menunjukkan cincinnya.
“Aku
juga akan menjadi istri yang baik.” Jawab Hae Gang.
Jin
Eon lantas menyematkan cincin itu ke jari Hae Gang, namun ia seketika terkejut
melihat cincinnya yang lama sudah terpasang di jari Hae Gang. Mata Jin Eon
seketika berkaca2. Ia terharu.
“Siapa
dia? Lelaki yang pertama menikahimu?” tanya Jin Eon.
“Seseorang.
Seseorang yang tergila-gila padaku.” Jawab Hae Gang.
“Ini
permintaan, namun singkirkan lelaki gila itu.” ucap Jin Eon.
“Tidak
mau. Aku juga mencintai mantan suamiku.” Jawab Hae Gang.
“Apa?
Lalu bagaimana denganku? Dan cincin ini?” tanya Jin Eon.
“Beruntung,
istrimu punya tangan lain.” Jawab Hae Gang.
Jin
Eon pun menyematkan cincin barunya di jari kanan Hae Gang.
Adegan
berikutnya, Jin Eon melepaskan kimono Hae Gang secara perlahan2. Setelah itu,
gantian Hae Gang yang melepaskan kancing kemeja Jin Eon. Jin Eon kemudian
menciumi wajah Hae Gang, sebelum akhirnya keduanya saling berciuman.
Dua
orang yang mabuk diantar pulang oleh supir taksi. Ha Joon memberitahu Seok
bahwa mereka sudah sampai, tapi karena Seok tidak mau bangun, Ha Joon pun
meminta sopir taksi membawa mereka ke kantor, lalu setelah itu kembali lagi ke
rumah Seok. Sopir taksi ingin tau alasan Ha Joon menyuruhnya bolak balik
begitu.
“Karena
dia tidur nyenyak. Jika kubangunkan, dia tidak akan bisa tidur lagi. Dia takkan
bisa tidur semalaman.” Jawab Ha Joon.
“Tampaknya
tidurnya baik-baik saja.” Ucap sang sopir.
“Itu
lantaran dia mabuk. Saat sadar, dia juga akan terjaga. Dan saat dia terjaga...”
Sopir
taksi tidak peduli. Ia memotong kata2 Ha Joon dengan menyuruh mereka keluar.
Terpaksa lah Ha Joon membangunkan Seok. Seok terbangun, ia melihat
sekelilingnya dan akhirnya menyadari bahwa dirinya sudah tiba di rumah.
“Kau
jangan turun, pulanglah dengan taksi ini.” suruh Seok, lalu keluar dari taksi.
Tapi
Ha Joon malah ikutan turun dari taksi. Seok kemudian melemparkan tubuhnya ke
halte di depan rumahnya. Seok pun berkata, menyegarkan. Amat sangat
menyegarkan. Melegakan.
“Bangun
lah. Cepat.” Suruh Ha Joon.
“Menyegarkan
di dalam. Rasanya sangat bebas di dalam. Pergilah baik-baik. Hiduplah
baik-baik.” Ucap Seok.
Seok
lantas melirik Ha Joon dan menyuruh gadis itu pergi. Tapi Ha Joon gak mau pergi
dan ikut rebahan di samping Seok.
“Bolehkah
aku berbaring di atas lenganmu? Kepalaku sakit lantaran tak ada daging di sana.
Tolong kasihani sebelum aku beku sampai mati. Satu lengan yang akan membusuk
sampai mati. Aku tidak minta kedua-duanya, satu sisi saja. Aku cuma minta satu
lengan. Tak bisakah kau memberikannya?” pinta Ha Joon.
Seok
diam saja, ia kemudian memejamkan matanya. Tapi tak lama kemudian, ia
merentangkan tangannya. Ha Joon pun senang dan langsung meletakkan kepalanya di
atas lengan Seok.
“Dingin
sekali. Mulut dan leherku mungkin mengendur. Omong-omong, sifat pemarah adikmu
bukan bercanda. Di pagi hari, seseorang harus mengurus jasad kita. Aku harus
menulis surat wasiatku. Aku akan minta pelayanan kremasi untuk pemakamanku. Bagaimana
denganmu?” tanya Ha Joon.
Tapi
Seok diam saja. Ha Joon kemudian menatap ke langit yang dipenuhi bintang. Seok
membuka matanya, lalu menatap Ha Joon yang tersenyum menatap langit. Seok
kemudian ikut menatap ke langit.
Di
kamarnya, Seol Ri termenung melihat tiket yang diberikan Gang San. Seol Ri
kemudian membalik tiket itu dan menemukan fotonya di sana. Di bawah foto itu,
ada tulisan tentang dirinya.
“Aku tak bisa melepas
pandanganku. Mungkin karena kau masih cantik?”
Seol
Ri pun tersenyum….
Jin
Eon dan Hae Gang juga masih terjaga. Mereka saling berpegangan tangan, kemudian
bicara. Hae Gang ingin tahu apa yang dipikirkan Jin Eon. Jin Eon berkata bahwa
ia ingin tidur lagi dengan Hae Gang besok dan juga keesokan harinya.
“Berhentilah
bercanda. Sungguh, apa yang kau pikirkan? Kau tidak bicara dalam waktu lama.”
Jawab Hae Gang.
“Aku
menghabiskan waktu 20 tahun bersamamu. Kita bisa bersama-sama selama 40 tahun
lagi. Meskipun badai datang dan perahu kita tersapu, aku tidak akan karam. Sebaiknya
aku tidak meninggalkan perahu dan kabur. Aku harus melindungimu sampai akhir
waktu. Aku berjanji pada diri sendiri.” Ucap Jin Eon.
“Jadi
kita masih memiliki waktu 40 tahun lagi. Itu membuatku merasa sangat bersyukur
dan menangis, yeobo. Orang-orang yang baik, bergandengan tangan erat di
tengah-tengah orang, mari menua bersama-sama, hanya memandang pada yang kita
perlukan sampai mati.” Jawab Hae Gang.
Lalu
kita mendengar narasi Hae Gang…
“Jam 3 pagi, waktu cinta
kami.”
Keesokan
harinya, Hae Gang yang terbangun duluan terkejut mendapati hari sudah pagi. Ia
langsung melihat ke arah jam. Sementara Jin Eon masih terlelap dalam tidurnya.
Hae Gang pun menatap wajah Jin Eon dari dekat. Ingatannya seketika melayang
saat Jin Eon meyakinkan Seok kalau ia adalah Do Hae Gang, bukan Dokgo Yong Gi.
“Hal yang kutahu dialah
istriku. Wanita di sampingmu bukan Dokgo Yong Gi, dia istriku. Meskipun semua
orang bilang bukan, meskipun dia berkata bukan, aku tahu, pokoknya tahu. Aku
tahu. Karena dia istriku.”
Hae
Gang pun tersenyum. Hae Gang kemudian ingat saat Jin Eon mengatakan tentang
dirinya yang memiliki tahi lalat kecil di pergelangan tangan kirinya, di
belakang lehernya dan di sebelah kanan bokongnya.
Ingatan
Hae Gang juga melayang saat Jin Eon melarangnya makan lobster.
Flashback…
“Makan saja bola-bola
nasinya.” Suruh Jin Eon.
Jin Eon kemudian bangkit,
menjauhkan piring lobsternya dari Hae Gang. Hae Gang pun sewot.
“Berikan kemari. Berikan
lobsternya padaku, cepat. Mengapa kau menyingkirkannya lantaran kau ingin? Apakah
sia-sia bagiku memakannya? Aku akan membayarnya.”
“Kalau kubilang jangan makan,
maka tolong jangan makan.” Pinta Jin Eon.
Flashback end…
Hae
Gang tertawa geli teringat hal itu… Ingatan Hae Gang lalu melayang ke saat Jin
Eon memintanya memandang mata Jin Eon selama 30 detik saja saat mereka berada
di perpustakaan.
Flashback…
“Kau mengenalku?” tanya Hae
Gang.
“Bagaimana denganmu? Apa kau
mengenalku?” Jin Eon bertanya balik.
Flashback end…
Hae
Gang tersenyum, ia lalu mencium bibir Jin Eon. Jin Eon yang masih terlelap itu
pun tersenyum usai dicium Hae Gang.
Kata2
Jin Eon pun kembali terngiang di telinganya. Saat itu, Hae Gang yang sedang
menunggu Jin Eon di depan Cheon Nyeon Farmasi baru saja menerima kiriman foto2
perselingkuhan Jin Eon dan Seol Ri. Hae Gang syok. Tak lama kemudian, Jin Eon
datang. Hae Gang terduduk lemas. Jin Eon pun mencoba meyakinkan Hae Gang.
“Aku
bahagia sekarang, karena kau ada di depan mataku, karena aku berada di sisimu. Aku
cinta padamu. Dan kau mencintaiku. Karena
kita saling mencintai. Aku cinta padamu.” Ucap Jin Eon.
Flashback
end…
Suara
narasi Hae Gang pun terdengar kembali. Jam
7 pagi, waktunya cinta kita.
Seol
Ri yang baru saja bangun keluar dari kamarnya sambil menguap lebar. Ia pun
terperanjat saat tiba di ruang tengah, ia melihat sang kakak yang tidur bersama
seorang gadis. Seol Ri lantas membangunkan kakaknya. Seok terbangun dan
terkejut melihat Ha Joon yang tidur disampingnya.
Seol
Ri lantas membuatkan sup untuk mereka berdua…
Hae
Gang sendiri tengah sibuk memasak di dapur. Dan Jin Eon, dia baru saja selesai
mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendengar Hae Gang sedang berbicara dengan
seseorang di telepon.
“Aku
ingin bak mandi biasa. Tolong buatkan pintu kabinet biasa yang serasi dengan
bak mandinya. Aku tidak suka pola mencolok. Hanya gunakan 3 warna, putih, kayu
alami, abu-abu pucat. Jangan terus berusaha mengisinya, hanya yang diperlukan
saja. Biarkan sederhana. Jangan isi tetapi biarkan kosong.” Ucap Hae Gang.
Jin
Eon tersenyum. Kemudian bergumam, sangat kaku.
Jin
Eon melihat2 sekeliling ruang bacanya. Ia masih speechless, tak percaya kalau dirinya dan Hae Gang sudah kembali
bersama. Lalu terdengar suara Hae Gang yang memberitahu sarapan sudah siap.
Jin
Eon bergegas keluar dan mendapati Hae Gang masih sibuk di dapur. Saat Hae Gang
hendak mengangkat supnya, tiba2 saja Jin Eon memeluk dia dari belakang. Hae
Gang pun berusaha menghentikan Jin Eon dengan berkata bahwa hari sudah pergi.
Tapi Jin Eon tidak peduli dan malah berkata bahwa ia mencintai Hae Gang.
“Aku
juga.” jawab Hae Gang.
“Juga
apa?” tanya Jin Eon.
“Aku
cinta padamu, dangsin.” Jawab Hae Gang.
“Aku
tahu.” ucap Jin Eon.
“Berhentilah,
sup nya akan dingin.” Pinta Hae Gang.
“Daripada
ke meja, tak bisakah kita pergi ke tempat tidur?” tanya Jin Eon.
“Tidak
bisa. Kau harus bergegas menyantap sarapanmu dan pergi bekerja, yeobo.” Jawab
Hae Gang sambil membawa sup nya ke meja makan.
Jin
Eon pun menyusul Hae Gang ke meja makan dan memandangi masakan Hae Gang.
“Pagi
seperti ini akan datang besok, dan keesokan harinya, dan setiap hari, kan?”
tanya Jin Eon.
“Mungkin.
Tidak, tanpa keraguan, tentunya setiap hari.” Jawab Hae Gang.
Keduanya
pun mulai menyantap sarapan pagi mereka. Sambil makan, Hae Gang berkata kalau
ia ingin bekerja lagi sebagai manajer di kantor Seok, itu pun kalau Jin Eon
mengizinkannya.
“Apa?
Di mana? Manajer Kantor?” tanya Jin Eon.
“Jika
kau mengizinkan.” Jawab Hae Gang.
“Mengapa
di sana?” tanya Jin Eon.
“Banyak
pekerjaan, namun tidak cukup tangan. Mereka mengambil banyak kasus yang tidak
mau diambil tempat lain. Seok tidak bisa menolak orang-orang tidak mampu, dan
aku ingin membantu yang tidak mampu.” Jawab Hae Gang.
“Bagus.
Arti dan niatmu semuanya bagus, tapi seorang istri dengan pacar, aku sangat
tidak menyukainya.” Ucap Jin Eon.
“Kami
hanya berteman. Teman baik seperti Hyun Woo bagimu.” Jawab Hae Gang.
“Apakah
Hyun Woo seorang wanita? Pernahkah dia mencintaiku?” tanya Jin Eon.
“Sekarang
kau juga tahu Seok. Seperti apa orangnya.” Jawab Hae Gang.
“Aku
tahu. Dia 10 kali lebih baik dariku. Dan dia memiliki hati yang besar dan
dalam, aku tahu. Aku tahu sangat baik seperti apa matanya ketika dia memandangmu
di kantor. Dia juga memahamimu jauh lebih baik dariku. Kau tersenyum di depanku
namun menangis di depannya.” Ucap Jin Eon.
“Kami
tidak akan melakukannya lagi. Seok tidak dan aku juga tidak.” Jawab Hae Gang.
Jin
Eon pun makin sewot, apa? Kami? Kau bilang kami? Kami apa? Dengan siapa kau
berkami2?”
“Kau
mengajak berkelahi karena ucapanku?” tanya Hae Gang.
“Aku
tidak mengajak berkelahi karena ucapanmu, aku menangkap pikiranmu.” Jawab Jin
Eon.
“Kalau
begitu daripada berkata kami. haruskah aku berkata, kau?” tanya Hae Gang.
“Tidak
usah. Kalau begitu aku akan berpacaran juga. Seorang pacar seperti si Cahaya.”
Jawab Jin Eon.
“Apa?
Membuat apa? Pacar?” tanya Hae Gang.
“Mengapa?
Kau boleh tapi aku tak boleh? Aku akan tinggal di rumah pacar selama 4 tahun
dan menempel padanya selama 24 jam dalam sehari.” Jawab Jin Eon.
“Siapa
yang pergi ke luar negeri selama 4 tahun bersama wanita lain? Siapa yang
membopong wanita lain di punggung, bersiul untuknya?” sewot Jin Eon.
“Mengapa
membawa-bawa itu?” tanya Jin Eon.
“Kau
yang mulai!” jawab Hae Gang.
“Karena
aku memulai, kau harus mengikuti?” ucap Jin Eon.
“Kalau
begitu tidak boleh, padahal aku mendapatkan kecurigaan yang kekanak-kanakan
darimu?” jawab Hae Gang.
“Apa?
Kekanak-kanakan? Oke, baiklah. Memang benar aku kekanak-kanakan. Baik, lakukan
sesukamu. Jadilah manajer kantor Baek Seok.” Ucap Jin Eon.
Hae
Gang makin kesal, tapi ia memilih pergi ketimbang meladeni Jin Eon. Saat Jin
Eon memanggilnya, menyuruhnya makan, ia mengomeli Jin Eon yang meneteskan air
kemana2. Hae Gang lalu masuk ke kamarnya. Jin Eon menghela napas kesal.
Suara
narasi Hae Gang kembali terdengar, Jam 8
di pagi hari, waktunya cinta kita.
Jin
Ri dan Nyonya Hong tampa kaku di meja makan. Nyonya Hong membuka pembicaraan
dengan menanyakan apa kata pengacara.
“Ini
intimidasi kriminal. Jika mereka ingin, mereka bisa menuntutku karena
menghambat polisi menjalankan tugasnya.” Jawab Jin Ri.
Nyonya
Hong kaget, Apa? Kalau begitu kau juga? Kau akan dipenjara juga?
“Katanya
dia akan menangani sidangnya dengan baik dan membebaskanku dengan hukuman
percobaan. Katanya dia percaya diri. Firma hukumnya bukan perusahaan swasta
kecil. Firma itu merupakan perusahaan hukum tempat banyak pengacara datang dari
kantor-kantor pengadilan.” jawab Jin Ri.
“Kau
belum memberitahu Hae Gang kau bersalah, kan?” tanya Nyonya Hong.
“Sama
saja kami berdua.” Jawab Jin Ri.
“Apanya
yang sama? Kok bisa sama? Kau kejam pada orang lain namun terlalu bermurah hati
pada dirimu? Bagaimana bisa kau begitu tidak menyesal seumur hidupmu? Meskipun
kau menderita karena tsunami seperti itu, kau masih saja keras kepala dan kaku.
Bertekuk, merunduk sedikit, dan berpaling melihat ke sekitarnya.” Ucap Nyonya
Hong.
“Beginilah
caraku bertahan, cara melindungi diriku agar aku tidak hancur.” Jawab Jin Ri.
“Seharusnya
kau yang mengidap demensia bukan diriku. Seharusnya kau yang menderita amnesia
bukan Hae Gang.” ucap Nyonya Hong.
“Apakah
kau benar-benar akan tinggal di Buamdong? Kalau begitu, aku akan tinggal di
sini sendirian?” tanya Jin Ri.
“Apa?
Kau juga tidak menyukaiku. Kau tak tahan hidup serumah denganku.” Jawab Nyonya
Hong.
“Bagaimana
kau akan tinggal di rumah mungil itu bersama-sama? Mengapa kau ingin
berjingkat-jingkat di sekitar menantumu di usiamu?” tanya Jin Ri.
“Mereka
akan menambahkan kamar untuk Perawat Sohn dan aku.” jawab Nyonya Hong.
“Ya,
kau memiliki anak menantu baik.” Ucap Jin Ri.
“Haruskah
kujual rumah ini?” tanya Nyonya Hong.
Jin
Ri ingin tahu alasannya.
“Rumah
ini mengingatkanku pada ayahmu dan mengingatkanmu pada suamimu. Saat sidangnya
selesai, hiduplah di Amerika dan dukung anak-anakmu.” Jawab Nyonya Hong.
“Aku
tak bisa pergi meninggalkan suamiku sendiri.” Ucap Jin Ri.
“Hukumannya
seumur hidup. Dia tak bisa dibebaskan. Kedengarannya ucapan kejam yang diarahkan
pada Menantu Min, tapi katanya bila dia tidak terkait langsung denganku,
jaraknya sejauh 240 mil dariku. Kupikir kau harus bertemu lelaki baik dan
memulainya kembali. Meskipun kadang-kadang pikiranku tidak waras dan lebih
sering pikiranku kosong daripada jernih, asalkan pikiranku jernih, aku akan
membiarkanmu hidup mengurusnya di penjara. Urusan Jin Eon sudah beres. Aku
harus melihatmu hidup dengan baik. Dengan begitu aku bisa…”
“… Akhir-akhir
ini, kau terus terpikirkan. Aku terus melihat dan memikirkanmu. Sebelum
terlelap, bukan Jin Eon yang kupikirkan, dirimu. Apakah tidurmu lelap atau
apakah kau tidak bisa tidur? Kau tak bisa tinggal sendirian di rumah ini. Saat
cuaca lebih hangat, mari mencari rumah untuk kau tinggali. Mari cari vila di
Cheongdam-dong dan kau bisa tinggal di sana. Bukan di kota namun tenang.” Ucap
Nyonya Hong.
“Mari
cari rumah baru dan hidup bersama.” Ajak Jin Ri, dengan suara bergetar.
Nyonya
Hong kaget, apa?
“Aku
tak mau hidup sendiri! Teruslah hidup bersamaku, Ibu Ti...”
“Aku
mengidap demensia.”
“Kita
memiliki Perawat Sohn. Perawatan Ibu Ti..., aku akan minta Perawat Sohn dan
menantumu agar menanganinya. Aku hanya mengawasinya untuk melihat apakah mereka
mengerjakan tugas dengan baik merawat ibu atau tidak. Asal tahu saja, dan
jangan bawa-bawa Buamdong mulai sekarang. Ibu…”
Jin
Eon~Hae Gang duduk saling membelakangi. Mereka masih belum saling bicara. Tak
lama kemudian, Hae Gang mengajak Jin Eon bicara. Hae Gang berkata bahwa ia
tidak akan bekerja di kantor Seok.
“Pergilah
kerja di kantoran. Aku kelewatan.” Jawab Jin Eon.
“Aku
bilang tidak.” Ucap Hae Gang.
“Aku
menyuruhmu pergi.” Jawab Jin Eon.
“Aku
tidak mau.” ucap Hae Gang.
“Kau
akan keras kepala lagi?” tanya Jin Eon.
“Lalu
mengapa kau bicara dengan memunggungiku?” jawab Hae Gang.
“Kau
juga memunggungiku.” Ucap Jin Eon.
“Haruskah
aku pergi ke sana?” tanya Hae Gang.
“Tidak,
jangan kemari. Aku akan pergi ke sana.” Jawab Jin Eon.
Jin
Eon pun bangkit dari duduknya, dan ia kemudian beranjak mendekati Hae Gang. Hae
Gang menatap Jin Eon. Jin Eon pun memeluk Hae Gang.
“Sudah
jam 10. Kau terlambat, dangsin.” Ucap Hae Gang.
“Kau
tidak marah lagi?” tanya Jin Eon.
“Tidak,
bagaimana denganmu?” sahut Hae Gang.
“Aku
sudah mengatasinya.” Jawab Jin Eon.
“Aku
akan mengantarkanmu pergi. Ayo keluar.” Ucap Hae Gang.
“Haruskah
aku main hooky sepulang kerja?” tanya Jin Eon.
“Aku
berencana menonton film bersama Ibu Mertua. Setelah mengantarkanmu pergi, aku
pergi ke Pyeongchang-dong.” Jawab Hae Gang.
“Aku
mau ikut.” Ucap Jin Eon.
“Lalu
pekerjaanmu?” tanya Hae Gang.
“Aku
akan cepat-cepat pergi ke kantor, memeriksa makalah, lalu pergi ke
Pyeongchang-dong.” Jawab Jin Eon.
Hae
Gang pun mengantar Jin Eon keluar. Tapi setibanya di luar pagar, bukannya
langsung masuk mobil, si Jin Eon malah memandangi Hae Gang.
“Aku
bersalah.” Ucap Jin Eon.
“Aku
sudah menyuruhmu melupakan. Aku memintamu agar menghapusnya.” Jawab Hae Gang.
“Aku
yang salah, yeobo.” Ucap Jin Eon.
Dan
Hae Gang pun langsung mengecup bibir Jin Eon.
Suara
narasi Hae Gang kembali terdengar, Jam 10 pagi, waktunya cinta kita.
Jin
Ri menjenguk Tae Seok di penjara. Tae Seok langsung menanyakan surat cerai
begitu bertemu Jin Ri. Jin Ri pun berkata bahwa ia tidak membawanya.
“Kumohon,
Jin Ri-ya. Aku mohon. Itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan untukmu dari
dalam sini. Hal terakhir yang bisa kulakukan untukmu sebagai suamimu. Meskipum
bukan hal yang bisa kulakukan, biarkan aku melakukannya. Dengan begitu aku bisa
tahan. Begitulah caraku menyesuaikan diri dengan kehidupan di dalam sini. Aku
harus melepaskan segalanya. Aku harus menyerahkan semua agar aku bisa memulai
hidup baru di sini. Tempat ini sangat aneh. Seorang penjahat dengan hukuman
mati mendaftarkan diri di perguruan tinggi dan belajar online. Seorang penjahat
dengan hukuman seumur hidup menjadi penata rambut hingga ia latihan siang dan
malam. Salah seorang bahkan menjadi teknisi kejuruan. Hal-hal yang dikerjakan
orang-orang di sini. Namun ketika aku melihat mereka, membuatku tenang. Kupikir
aku bisa hidup di sini. Makhluk menyedihkan itu hidup baik.” Ucap Tae Seok.
“Kau
juga harus belajar sesuatu.” Jawab Jin Ri.
“Aku
akan belajar. Mereka mengajari apa saja dan segala hal. Bahkan ada paduan
suara. Selagi kita membicarakannya, haruskah aku mulai dengan paduan suara?
Bukankah itu lucu? Jika kupelajari semuanya satu demi satu, setahun, 2 tahun,
10 tahun, 20 tahun. Waktu akan berlalu, kan? Aku tak mau kau harus memiliki
waktuku yang bergerak pelan.” Ucap Tae Seok.
“Aku
tak bisa melakukannya. Aku tak bisa melakukan hal itu. Aku bahkan tak tahu
alasanku tak bisa. Bukannya aku merindukanmu setengah mati. Aku juga tak pernah
mendapatkan cintamu. Aku juga tidak tahu mengapa seperti ini. Mungkin aku
merasa dicintai olehmu belakangan ini. Karena baru pertama kalinya dalam
pernikahan kita kau tulus padaku. Karena kau peduli padaku, kau memikirkanku
dulu. Pasti aku seperti itu.” jawab Jin Ri.
“Kau
bodoh? Kau tak punya kepercayaan diri? Rasa hormat pada diri sendiri?” tanya
Tae Seok.
“Ketika
sulit bertemu seperti ini, saat datang kemari bukan kebahagiaan, melainkan
neraka... Baiklah. Aku akan membawa surat cerainya nanti. Karena aku masih
ingin bertemu denganmu sampai-sampai aku datang. Sejak hidup denganmu, baru
pertama kali ini aku merindukanmu.” Jawab Jin Ri.
Keduanya
mulai berkaca2… Lalu kemudian, petugas datang hendak membawa Tae Seok kembali
ke sel. Tae Seok pun menghapus air matanya dan segera pergi. Jin Ri pun
berteriak, ia berkata bahwa ia akan datang lagi.
“Aku
akan datang besok! Aku akan datang besok! Kau akan mati di tanganku jika
menolak menemuiku seperti waktu itu.” ucap Jin Ri.
Nyonya
Hong dan Hae Gang tak berkedip melihat Yoo Ah In di layar bioskop. Melihat
bagaimana cara Hae Gang menatap Yoo Ah In di layar, Jin Eon pun cemburu. Ia
bergumam, mengungkapkan kecemburuannya. Dan Nyonya Hong pun langsung menyuruhnya
diam, membuat ia sebal dan memilih tidur di kursinya.
Keluar
dari gedung bioskop, Nyonya Hong dan Hae Gang sibuk memuji ketampanan Yoo Ah
In. Jin Eon yang mendengarkan pembicaraan ibu dan istrinya di belakang hanya
bisa terdiam. Nyonya Hong lalu mengajak Hae Gang mengambil pamphlet Yoo Ah In.
“Yoo
Ah In. Hebat sekali!” puji Nyonya Hong.
Hae
Gang pun ikut2an memuji ketampanan Yoo Ah In.
Hae
Gang lalu menanyakan pendapat Jin Eon tentang film yang mereka tonton tadi.
Nyonya Hong pun langsung memberitahu Hae Gang bahwa selama filmnya diputar, Jin
Eon tertidur. Nyonya Hong pun mengomel, ia berkata bahwa itu sangat memalukan.
Nyonya
Hong lalu menyuruh Jin Eon membelikannya teh. Hae Gang pun ikut memesan teh
pada Jin Eon. Nyonya Hong dan Hae Gang lalu mencari tempat duduk. Tanpa mereka
sadari, Seol Ri duduk tak jauh dari tempat mereka duduk.
Jin
Eon kemudian pergi ke meja counter. Di sana, Gang San sedang memesankan minuman
untuk siapa lagi kalau bukan untuk Seol Ri. Gang San kemudian berteriak pada
Seol Ri, menanyakan minuman yang diinginkan Seol Ri. Seol Ri pun berteriak,
memberitahukan minuman yang diinginkannya. Jin Eon tertegun mendengar suara
Seol Ri. Usai memesan minuman, Gang San pun langsung menghampiri Seol Ri.
“Aku
akan ke kamar kecil.” Ucap Seol Ri begitu Gang San datang. Tapi Gang San tiba2
saja menahan langkah Seol Ri dengan memegang lengan Seol Ri.
“Apa?”
tanya Seol Ri.
“Kau
tidak akan pergi begitu saja, kan?” tanya Gang San.
“Kalau
aku pergi begitu saja, aku tidak akan datang. Aku akan menghancurkan khayalanmu
akan diriku sepenuhnya, jadi jangan khawatir.” Jawab Seol Ri.
Seol
Ri pun beranjak pergi. Jin Eon tersenyum ke arah keduanya.
Di
toilet, gantian Hae Gang yang bertemu Seol Ri. Tak ada lagi perseteruan
diantara mereka. Kedua wanita ini saling menyapa. Seol Ri tampak segan pada Hae
Gang. Seol Ri lalu mengaku bahwa ia ingin menjenguk Hae Gang di penjara, namun
ia tak memiliki keberanian.
“Tidak
apa-apa.” Jawab Hae Gang.
“Kau
kelihatan tenang.” Ucap Seol Ri.
“Ya,
aku tenang.” Jawab Hae Gang.
“Aku
hidup dengan giat. Jangan khawatir.” Ucap Seol Ri.
“Aku
dengar dari Seok. Kau cukup populer di kalangan mahasiswa.” Jawab Hae Gang.
“Berbahagialah.
Aku bersungguh-sungguh.” Ucap Seol Ri.
“Kau
juga. Aku juga bersungguh-sungguh.” Jawab Hae Gang.
Seol Ri pun beranjak pergi, namun sebelum pergi ia membungkukkan kepalanya,
memberi hormat pada Hae Gang.
Setibanya
diluar, Seol Ri tampak mencari2 seseorang. Gang San pun bingung dan langsung
bertanya siapa yang dicari Seol Ri. Seol Ri pun berkata bahwa ia tidak mencari
siapapun, lalu bertanya jam berapa sekarang karena filmnya akan dimulai jam 6
nanti.
“Jam
5.47.” jawab Gang San.
“Kita
di bioskop 8, kan? Ayo ke sana.” Ucap Seol Ri, lalu pergi duluan.
Gang
San pun tertegun, Uri? Gang San lalu mengejar Seol Ri.
“Uri?
Kau bilang uri?” tanya Gang San pada Seol Ri. Seol Ri hanya tersenyum.
Tepat
saat itu, Hae Gang datang dan ikut bahagia melihat keduanya.
Gang
San yang senang karena Seol Ri mulai menerimanya pun langsung menarik Seol Ri
dengan penuh semangat dan mengajak Seol Ri menuju bioskop.
Hae
Gang pun kembali ke mejanya. Di sana, suami dan ibu mertuanya sudah
menunggunya.
Suara
narasi Hae Gang terdengar lagi.
“Jam 6 malam, waktunya cinta
kami.”
Malam
harinya, Jin Eon dan Hae Gang duduk teras rumah sambil menatap ke arah langit.
“Menurutmu
dia mengawasi?” tanya Jin Eon.
“Mungkin.”
jawab Hae Gang.
“Menurutmu
apa yang dia pikirkan?” tanya Jin Eon.
“Uri
appa, uri eomma. Ibu dan Ayahku sudah
pulang kembali. Ibu tidak membenci Ayah. Ayah tidak membenci Ibu. Mereka tidak
bertengkar gara-gara diriku. Mereka masih sangat mencintaiku. Mereka
benar-benar merindukanku. Mereka sangat merindukanku.” Jawab Hae Gang.
Tangis
keduanya lantas pecah. Dan Jin Eon pun memeluk Hae Gang dengan erat.
“Aku
rindu padanya. Aku benar-benar rindu padanya, yeobo. Eun Sol, aku sangat
merindukannya.” Ucap Hae Gang.
Keesokan
harinya, Hae Gang yang terbangun duluan terkejut mendapati hari yang sudah
pagi. Hae Gang melirik jam, dan ia pun langsung membangunkan Jin Eon begitu
menyadari jarum jam sudah menunjuk ke angka sembilan.
“Aku
terlambat, dan kau juga terlambat. Cepat bangun! Aku akan mandi dan pergi.
Tidak ada sarapan jadi beli saja dalam perjalananmu!” ucap Hae Gang, lalu
bergegas ke kamar mandi.
Jin
Eon yang masih mengantuk itu pun terpaksa bangun. Terdengar suara Hae Gang yang
sedang berbicara dengan Seok di telepon. Dengan mata masih tertutup, Jin Eon
pun mengomentari kata2 Hae Gang pada Seok.
“Aku
akan berpakaian sekarang, Seok-ah.” Ucap Hae Gang.
“Kalau
ada yang dengar, mereka menganggapmu tidak berpakaian.” Jawab Jin Eon.
Dengan
tergesa2, Hae Gang keluar dari rumahnya. Jin Eon pun memanggil Hae Gang,
menyuruhnya untuk sarapan. Jin Eon tidak peduli saat Hae Gang mengaku sudah
terlambat. Ia memaksa Hae Gang sarapan dan membawanya duduk ke bangku taman.
Sambil mengenakan kaus kakinya, Hae Gang menggigit apel yang disodorkan Jin Eon
ke mulutnya.
“Haruskah
aku duduk sebentar sebelum pergi?” tanya Hae Gang.
Dan
Jin Eon pun langsung merentangkan tangannya. Hae Gang menyenderkan kepalanya di
bahu Jin Eon. Sambil memeluk Hae Gang, Jin Eon berkata tidak baik bagi
kesehatan kalau melewatkan sarapan.
“Tubuhmu
bukan milikmu.” Ucap Jin Eon.
“Milikku.”
Seru keduanya.
“Kau
juga tahu.” ucap Jin Eon.
Dan
Hae Gang pun tersenyum. Jin Eon lalu kembali menyodorkan apel ke mulut Hae
Gang.
Suara
narasi Hae Gang kembali terdengar.
“Jam 9.59 pagi, saatnya
cinta kita yang akan kita ingat selama-lamanya. Kami masih memiliki sisa 40 tahun
untuk saling mencintai.”
TAMAT!!!!
Ini salah satu Drama Korea yg nggak bosen ditonton berulang ulang. Ceritanya bagus, Pemainnya keren keren. Hmmm.. kapan ya Indonesia bikin sinetron yang ceritanya kuat seperti ini.. karakter favorit saya dr Seok biar nongol di beberapa episode, tapi dia paling lucu dan keren. Gumawo sinopsisnya, akan saya baca lagi kalo kangen..