Tuan Seo mulai menjalani pemeriksaan.
Diluar, Nyonya Yang dan Ji An menunggu hasilnya
dengan cemas.
“Ini salah ibu. Ini semua salah ibu. Dia memutuskan
menjadi pelaut karena ibu, bahkan dalam kondisi seperti itu.” Ucap Nyonya Yang.
Tak lama kemudian, Ji Ho datang dan langsung
menanyakan kondisi sang ayah.
“Sedang dites. Hampir selesai.” Jawab Ji An.
“Sesakit apa dia sampai kolaps di jalan?” tanya Ji
Ho.
“Dia kolaps di depan rumah kita. Tetangga kita
menelepon 119. Tapi dia sudah membawa koper, bahkan gitarnya.” Jawab Ji An.
“Koper? Dia sudah mau pergi bergabung dengan para
kru?” tanya Ji Ho.
“Dia bahkan muntah darah di ambulans. Aku tidak
mengerti. Bukankah dia bilang dia hanya radang lambung?” ucap Ji An.
“Tapi kenapa gejalanya seperti yang dialami Nenek
dan Paman Seok Doo?” tanya Ji Ho.
“Mungkinkah dia menyembunyikan sesuatu dari kita?”
ucap Ji An.
“Dia tidak bisa begitu. Ibu harap tidak.” Jawab
Nyonya Yang.
“Dia pasti sudah amat ingin meninggalkan rumah. Omong-omong,
dia tidak punya asuransi, bukan?” tanya Ji Ho.
“Tidak. Kami membatalkan semuanya setelah bangkrut. Dia
hanya menyisakan satu untuk ibu.” Jawab Nyonya Yang.
“Mungkin dia menyembunyikannya dari kira karena
biaya pengobatannya? Dia bilang kepadaku saat itu bahwa dia tidak mau membebani
kita dengan biaya pengobatannya.” Ucap Ji Ho.
Nyonya Yang dan Ji An pun makin cemas. Ji Ho takut
ayahnya benar2 mengidap kanker.
Tak lama kemudian, Tuan Seo selesai menjalani
pemeriksaan. Mereka pun langsung mendekati Tuan Seo yang duduk di kursi roda.
Ji Ho merapikan kasur ayahnya. Tapi Tuan Seo mau
pulan. Nyonya Yang, Ji An dan Ji Ho gagal membujuk Tuan Seo untuk tinggal di
rumah sakit.
Sesampainya di rumah, Tuan Seo menyuruh istri dan
anak-anaknya pergi. Ji Ho pun berkata, mereka tidak bisa pergi begitu saja
disaat kondisi sang ayah tidak sehat. Ji An lalu menanyakan koper ayahnya. Tuan
Seo bilang, latihannya dimajukan jadi ia harus pergi lebih awal.
“Ayah kurang asupan. Ayah tidak bisa memancing di laut dengan kondisi begitu. Ayah bahkan kolaps di jalan.” Ucap Ji An.
“Kudengar kau bahkan muntah darah.” Ucap Nyonya
Yang.
Ji Tae pulang dan langsung ikut bicara. Ia
memberitahu mereka kalau sang ayah tidak akan pergi melaut. Ia mengaku, sudah
menghubungi semua kapal ikan di Busan dan nama Tuan Seo tidak ada di daftar
mereka.
“Jika ayah tidak melaut, ayah berencana pergi ke mana?” tanya Ji An.
“Ayah hanya ingin sendiri untuk sementara waktu.”
Jawab Tuan Seo.
“Sendiri? Di mana?” tanya Nyonya Yang.
“Tidak penting. Aku mau bepergian.” Jawab Tuan Seo.
“Kenapa bilang kepada kami ayah akan pergi
memancing?” tanya Ji Ho.
“Agar kalian tidak bertanya ayah akan pergi ke mana.”
Jawab Tuan Seo.
“Lantas, bagaimana dengan pemeriksaan medis? Ayah
bahkan tidak menjalaninya, bukan? Kenapa bilang kepada kami ayah menjalaninya?”
tanya Ji Tae.
“Apakah karena Ayah tahu kondisi kesehatan ayah?”
tebak Ji An.
“Yeobo, jawab kami. Kenapa kau berbohong kepada
kami?” tanya Nyonya Yang.
“Karena aku tidak mau dirawat. Apa pun hasilnya, aku
tidak mau dirawat. Aku tidak peduli itu stadium satu, dua, atau tiga.” Jawab
Tuan Seo.
“Lantas, kau sudah tahu soal ini?” tanya Nyonya
Yang.
“Ayah, apa artinya ini? Kenapa Ayah tidak mau dirawat? Ayah mau meninggal seperti ini?” tanya Ji Ho.
“Apa salahnya?” jawab Tuan Seo.
Ji Tae dan Ji Ho pun marah, Appa/Abeoji!
“Ini kali pertama ayah. Ini kali pertama ayah hidup sesuai keinginan ayah. Selama 63 tahun, ayah tidak pernah hidup sesuai keinginan ayah. Tidak sehari pun. Jadi, ayah akan mati sesuai keinginan ayah.” Jawab Tuan Seo.
“Itu konyol. Bagaimana bisa ayah berkata begitu? Bagaimana
dengan kami? Ayah tidak peduli dengan kami?” tanya Ji An dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
“Ya, ayah tidak peduli. Ayah senang sekarat. Untuk
apa ayah dirawat jika hidup sekarat? Ayah tidak bisa memilih cara menjalani
hidup ayah, tapi ayah akan memilih cara mati.” Jawab Tuan Seo.
“Kau akan mati sendiri? Itukah alasanmu pergi
sendiri seperti itu?” tanya Nyonya Yang yang juga sudah mulai menangis.
“Sudah kubilang. Aku akan menjalani hidupku sendiri
mulai sekarang.” Jawab Tuan Seo.
“Ayah, bagaimana bisa berkata begitu? Kenapa ayah
hanya memikirkan diri sendiri?” tanya Ji Tae.
“Dia benar. Kau tidak memikirkan anak-anakmu?” tanya
Nyonya Yang.
“Apa salahnya tidak memikirkan mereka? Kenapa aku tidak boleh hanya memikirkan diriku sendiri? Aku sudah menjalani seluruh hidupku untuk keluargaku. Entah bagus atau tidak, aku hidup untuk keluargaku. Sekarang aku mau menjalani hidupku sesuai keinginanku. Kenapa kalian menyalahkanku? Apa aku merugikan kalian? Apa aku merepotkan kalian?” tanya Tuan Seo.
“Ayah mau kami hanya menyaksikan ayah meninggal
seperti itu?” tanya Ji An.
“Itu hanya akan menyakiti hati anak-anak.” Ucap
Nyonya Yang.
“Ayah terlalu egois.” Ucap Ji Ho.
“Ayah tidak peduli. Walaupun kalian menyesalinya dan
merasa bersalah setelah ayah meninggal, ayah tidak peduli. Itu bukan urusan
ayah.” Jawab Tuan Seo.
“Yeobo.” Ucap Nyonya Yang.
“Itu karena ayah mau menghentikan semuanya sekarang.
Ayah mau berhenti. Kematian itu bukanlah masalah jika ayah tidak punya alasan
untuk hidup. Ayah bukan bunuh diri. Tuhan yang memanggil ayah. Sesederhana itu
saja bagi ayah. Ayah mau istirahat. Ayah mau istirahat sekarang. Kalian akan
menjalani hidup masing-masing. Itu yang dilakukan anak-anak.” Jawab Tuan Seo.
“Kini ayah mau berhenti dari segalanya.” Ucap Tuan
Seo, lalu masuk ke kamar.
Nyonya Yang, Ji Tae, Ji An dan Ji Ho terdiam. Mereka
sedih dan tidak tahu harus melakukan apa.
Nyonya Yang dibawa anak-anaknya ke kamar Ji An.
Nyonya Yang nampak terpukul dengan semua itu. Ji Tae ingin tahu hasil
pemeriksaan ayah. Ji An bilang, ayah kemungkinan mengidap kanker perut karena
ada riwayat kanker di keluarga ayah.
“Dia tidak seperti itu dahulu. Dia hanya memedulikan
keluarganya. Tapi sekarang dia mau mati sendiri?” ucap Nyonya Yang.
“Ayah tahu, tapi membohongi kita semua, bukan? Dia
bahkan menyerahkan wasiat kepadaku saat itu. Itu wasiatnya.” Jawab Ji Ho.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Ji An.
“Kita sudah melihatnya sejauh ini. Dia pasti amat
menderita sendirian.” Ucap Ji Ho.
“Nenek dioperasi saat stadium tiga, bukan?” tanya Ji
Tae.
“Kenapa kalian semua mengira dia mengidap kanker
perut? Kita belum tahu.” Ucap Ji Ho.
“Sekarang, sebaiknya kita menunggu hasilnya keluar
besok. Kita juga harus membujuknya agar mau dirawat.” Ucap Ji An.
“Apa dia melakukan ini karena uang? Karena biaya
pengobatan?” tanya Ji Ho.
Ji Ho pun kesal, lalu pergi duluan.
“Soo A belum tahu soal ini, bukan? Jangan beritahu sampai dia kembali. Dia nanti hanya akan depresi.” Ucap Ji An.
“Apa yang harus kita lakukan dengan Ji Soo?” tanya
Ji Tae.
“Jangan memberitahunya sampai hasilnya keluar.”
Jawab Ji An.
Ji Soo sendiri lagi berbunga-bunga. Ia bersama Hyuk
serta Hee dan Boss Kang berkumpul di kafe.
“Kini kalian berkencan?” tanya Hee.
“Ya, ini hari pertama mereka.” Ucap Boss Kang.
“Hyuk-ah, apa yang terjadi?” tanya Hee.
“Aku yang mengajaknya berkencan.” Jawab Hyuk.
“Apa? Aku yang lebih dahulu.” Ucap Ji Soo.
“Kau mau melakukannya, tapi aku menghentikanmu. Artinya
aku yang mengajak dahulu.” Jawab Hyuk.
“Kau tidak tahu dia amat romantis dan tangguh,
bukan?” ucap Boss Kang pada Hee.
“Kuharap kita juga akrab.” Ucap Ji Soo pada Hee.
“Aku mau mengatakan hal yang sama.” Balas Hee.
“Aku sudah berusaha dengan tekun untuk menjadikan
mereka pasangan. Ya. Aku mengirim kalian berdua ke Incheon, bukan? Aku bahkan
menyuruh Hyuk membelikannya makan siang. Yang terpenting, aku memberitahunya
semua mantan Hyuk.” Ucap Boss Kang.
“Kak, dia banyak bicara juga. Dia menyebarkan rumor
tidak berdasar dan spekulatif.” Jawab Boss Kang.
“Hei, itu tidak benar. Dia tidak akan bilang apa pun
yang tidak berdasar. Itu Nam Goo-ku.” Ucap Hee, lalu memeluk Boss Kang.
“Astaga, itu istriku.” Jawab Boss Kang, lalu
membalas pelukan Hee.
“Dia benar.” Ucap Ji Soo.
“Astaga, itu pacarku.” Jawab Hyuk, lalu merangkul Ji
Soo.
Dalam perjalanan menuju rumah, Ji Soo senyum2
sendiri saking bahagia.
Dan tiba2, cekrek! Seseorang memfoto Ji Soo diam2.
Di lantai atas, Seohyun sedang menikmati musik
klasik. Tapi kemudian, ia mendesah dan mematikan musiknya.
“Aku butuh sesuatu yang bertempo cepat.” Ucap
Seohyun.
Seohyun lalu mengecek ponselnya dan bertanya-tanya
apa Ji Ho sibuk. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Telepon dari Ji Ho yang
menyuruhnya datang.Mendengar suara berisik, Seohyun pun sadar Ji Ho lagi di
klub.
Seohyun menyusul Ji Ho ke klub dan terkejut
mendapati Ji Ho yang sudah mabuk dan menari di atas meja.
“Hei, apa yang kau lakukan? Kau kemari untuk minum,
bukannya bekerja?” tanya Seohyun.
Tapi Ji Ho tidak mendengarnya. Seohyun kesal dan memukul kaki Ji Ho. Ji Ho pun menoleh. Ia berputar sambil berpegangan pada tiang di meja, lalu menyapa Seohyun.
“Hai, Cinderella. Kenapa kau kemari?” tanya Ji Ho.
“Kau meneleponku.” Jawab Seohyun.
“Sungguh? Cinderella harus pulang di tengah malam. Aku
tidak mungkin meneleponmu.” Ucap Ji Ho.
“Kau minum sebanyak apa? Kau tidak apa-apa?” tanya
Seohyun.
“Lihat aku. Lihat? No pro... blem.” Jawab Ji Ho
sambil berusaha berdiri tegak.
Ji Ho lalu minum lagi, tapi tiba-tiba tubuhnya
terhuyung dan dia mau muntah. Seohyun pun langsung membekap mulut Ji Ho.
“Jangan di sini. Telan.” Ucap Seohyun, lalu membawa
Ji Ho keluar.
“Cinderella memberiku racun.” Ucap Ji Ho.
“Berhentilah bicara omong kosong dan minumlah.” Suruh
Seohyun.
Seohyun lalu menyuruh Ji Ho menceritakan masalahnya.
“Ini soal franchise mu?” tanya Seohyun.
“Ya, ini soal franchise ku. Aku harus segera menuntaskannya. Aku harus punya bisnis dan menghasilkan banyak uang. Aku akan mencari uang sekarang. Tapi bagaimana jika ayahku meninggal sebelum itu?” ucap Ji Ho.
“Dia sakit?” tanya Seohyun. Ji Ho pun menangis.
“Tunggu dan lihat saja. Aku akan menjadi amat kaya. Orang
tuaku tidak akan perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan.” Ucap Ji Ho lagi.
Ji Ho lalu berdiri dengan terhuyung.
“Tunggu saja! CEO Seo Ji Ho datang!” teriak Ji Ho.
Ji Ho lantas beranjak pergi, tapi kemudian terjatuh.
Seohyun kaget.
Seohyun mengantarkan Ji Ho ke kos2an. Ji Ho masih
saja meracau. Seohyun lantas melihat sekeliling kamar Ji Ho dan merasa
tempatnya menarik. Seohyun lalu iseng, dia mengetuk dindingnya. Penghuni kamar
sebelah pun langsung teriak kalau mereka tidak sendirian di tempat itu. Seohyun
ketakutan dan langsung kabur.
Tuan Choi pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Nyonya No terkejut. Supir Park lalu memapah Tuan Choi ke kamar.
“Mandilah.” Suruh Nyonya No.
“Aku tidak mau.” Jawab Tuan Choi.
“Kau tidak bisa melakukan ini di sekitar pembantu.”
Ucap Nyonya No.
“Hei, No Myung Hee. Kenapa kita menikah?” tanya Tuan
Choi.
“Mandi sajalah.” Suruh Nyonya No.
“Kenapa kau menikahiku? Apa aku menikah untuk
menjadi wakil pimpinan? Bukan itu. Aku menikah untuk menjadi pimpinan. Benar,
bukan? Tapi dia sudah terlalu lama mengujiku. Pimpinan No Yang Ho. Ayahmu. Dia
sudah mengujiku selama bertahun-tahun. Seumur hidupku. Aku muak.” Ucap Tuan
Choi.
Nyonya No pun kehabisan kata-kata untuk membalas
Tuan Choi.
Hyuk yang baru pulang melihat Do Kyung yang sedang bekerja di ruang tamu. Hyuk lantas teringat pesan Ji An dan memberitahu Do Kyung.
“Ji An di rumahnya malam ini.” Ucap Hyuk.
“Aku tidak bertanya.” Jawab Do Kyung.
Hyuk lalu ke kamar mandi dan Nona Yang turun dari
lantai dua.
“Apa maksudmu?” tanya Do Kyung bingung.
“Kau berpura-pura tidak paham di hadapan seorang
saksi? Kau tidak boleh melakukan itu di sini. Itu kartu kuning. Sekali lagi
kartu merah. Jika melakukannya lagi, kau mendapat kartu merah.” Jawab Nona Yang
lalu pergi.
Do Kyung jelas bingung, tapi kemudian ia ingat saat Ji An merawatnya malam itu. Barulah Do Kyung sadar, itu bukan mimpi.
Di kamarnya, Ji An mengingat semua perkataan
buruknya pada sang ayah. Ji An pun menyesal, abeoji...
Ji Tae pun juga tak kalah sedihnya. Ia juga
menyesali perkataan buruknya terhadap sang ayah.
Ji Tae lalu membuka hadiah yang diberikan ayahnya untuk Soo A. Ada dua kotak disana. Kotak pertama, isinya sebuah kalung. Kotak kedua isinya gelang bayi.
Ji Tae terhenyak, bagaimana ayah tahu?
“Soo A-ya, pikiran ayah terganggu karena tidak membelikanmu perhiasan
apa pun saat kalian menikah. Maaf memberikan ini seiring kepergian ayah. Lalu
ada kalanya dalam hidup saat kau akan terjatuh. Hal yang menghentikanmu terjatuh
sepenuhnya mungkin anak-anakmu. Jika kau diberkati dengan anak seperti itu, berikan
dia ini.”
Pecahlah tangis Ji Tae.
Nyonya Yang yang tak bisa tidur, mengajak suaminya
bicara. Tapi suaminya menolak. Tapi Nyonya Yang tak peduli dan tetap bicara.
Nyonya Yang meminta maaf karena sudah menukar Ji An dan Ji Soo, serta menerima
restoran Haesung sebagai gantinya.
“Aku paham perasaanmu, jadi, bisakah kau membantuku?”
pinta Tuan Seo.
“Apa?” tanya Nyonya Yang.
“Jangan bebani anak-anak.” Jawab Tuan Seo.
“Bisakah kau berhenti berkata seperti itu? Kau
menakutiku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak bisa hidup sendiri.” Ucap
Nyonya Yang.
“Belakangan ini, anak-anak muda nyaris tidak bisa membesarkan
anak tanpa bantuan orang tua mereka. Kau amat mampu bekerja, jadi, bergantung
kepada anak-anakmu tidaklah benar.” Jawab Tuan Seo.
“Semua orang mati pada waktunya. Maaf aku tidak bisa
menepati janji akan menjagamu, tapi pasangan bergantung pada rasa percaya. Bukan
hanya hidup bersama. Aku sudah mengurus segalanya. Aku siap pergi. Aku mau
pergi hidup sendiri. Kau nanti akan dihubungi pada saatnya. Tidak perlu
mengkhawatirkanku.” Ucap Tuan Seo.
Tuan Seo lalu tidur kembali.
Esok harinya, pagi2 sekali Tuan Seo pergi
meninggalkan rumah. Dia meninggalkan pesan di meja.
“Aku pergi untuk hidup sendirian. Kau akan mendapatkan telepon jika
saatnya tiba. Jangan khawatir.”
Paniklah Nyonya Yang, Ji An dan Ji Tae. Ji Tae menyesal karena ia tidak tidur bersama sang ayah tadi malam. Ji An berusaha menghubungi ayah, tapi ponsel sang ayah tidak aktif.
Tuan Seo pergi ke rumah lamanya.
Di bus, dalam perjalanan ke rumah kos, Ji An menangis.
“Seo Ji An. Kau ke kamarku dua hari lalu? Apa kau
merawatku?” tanya Do Kyung.
“Aku membawakanmu obat karena kukira kau
membutuhkannya.” Jawab Ji An.
“Apa kau pergi seperti itu saja? Kau membasuhku
dengan kain basah.” Ucap Do Kyung.
“Demammu tinggi.” Jawab Ji An.
“Apa pedulimu? Kau seharusnya tidak peduli aku demam
atau mati karena demam itu.” Ucap Do Kyung.
“Aku melakukannya sebagai rekan serumah. Jika orang
lain sakit seperti itu, aku sudah melakukan hal yang sama.” Jawab Ji An.
“Kau lupa? Aku
benci jika ada orang yang masuk ruang pribadiku.” Ucap Do Kyung.
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ji An.
“Siapa bilang aku akan pulang jika mengakhiri
hubungan denganmu? Sudah kubilang. Kemandirianku bukan hanya soal dirimu. Aku
tidak akan pulang sampai bisa mandiri. Seo Ji An, sekarang ini bukan tentangmu.”
Jawab Do Kyung, lalu beranjak pergi.
Sampai di luar, Do Kyung heran kenapa Ji An tampak
kacau.
“Tampaknya dia menangis.” Ucap Do Kyung.
Di kantornya, Ji Tae menelpon ibunya. Sang ibu
bilang, ia belum bisa menemukan keberadaan ayah. Ji Tae lalu mengajak ibu
bertemu di rumah sakit.
Di rumah lamanya, Tuan Seo yang sedang makan tiba2
saja merasakan sakit lagi di perutnya. Ia pun bergegas minum obat sakit perut.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Ji Tae.
“Seo Tae Soo tidak mengidap kanker perut.” Jawab
dokter.
“Bukan. Hasil biopsinya negatif.” Jawab dokter.
“Lantas, bagaimana kau menjelaskan muntah-muntah, sakit
perut, dan darahnya?” tanya Ji Tae.
“Ada penyakit yang kami sebut hipokondriasis. Orang-orang
yang terlalu khawatir mereka mengidap kanker terkadang menunjukkan gejala yang
sama persis. Tapi dalam kasusnya, itu berbeda. Itu kanker imajinasi.” Ucap
dokter.
“Kanker imajinasi?” tanya Ji An.
Terkejut lah mereka semua.