Ji An yang baru kembali ke studio terkejut melihat keberadaan Do Kyung di sana. Do Kyung hanya menyapa Ji An dengan menundukkan kepalanya, lalu kembali bekerja. Tak lama kemudian, Yong Gook datang mau mengajak Do Kyung makan siang, tapi terdiam saat melihat Ji An.
Yong Gook dan Ji An pun bicara diluar.
“Investor itu memutuskan untuk mundur?” kaget Ji An.
“Kakeknya Do Kyung dalangnya.” Jawab Yong Gook.
“Dia sangat senang mendapatkan investasi itu.” Ucap Ji An.
“Kamu marah?” tanya Yong Gook.
“Sejujurnya, ini mengesalkan. Aku berharap terjadi sesuatu. ” jawab Ji
An.
“Tapi yang lebih gila lagi adalah itu membuat Do Kyung makin bertekad. Dia
tidak akan pulang dalam keadaan seperti ini.” Ucap Do Kyung.
“Dia tidak akan pulang?” tanya Ji An.
“Dia sangat bertekad. Kau tahu kita membutuhkan pegawai. Jadi, aku
memintanya bekerja di sini selama beberapa hari. Tolong bertahanlah meski
situasinya sangat canggung.” Pinta Yong Gook.
Usai bicara dengan Yong Gook, Ji An pun menasehati Do Kyung. Ji An bilang, Do Kyung tidak akan mampu melawan CEO No. Ji An menyuruh Do Kyung menerima takdir sebagai putra Haesung, serta menyuruh Do Kyung pulang. Do Kyung pun marah.
“Kau pikir aku bodoh? Kau sudah tahu di mana kau akan merasa bahagia. Itu
sebabnya kau tidak membutuhkanku. Lantas kenapa kau mengabaikan perasaanku dan
memintaku mundur? Apa hakmu bilang begitu?”
“Ini keputusan gegabah. Itu saja. Keangkuhanmu tidak membiarkanmu
mencapai apa pun.” Jawab Do Kyung.
“Itu keputusanku. Benar. Aku akan kembali suatu hari. Aku tahu itu
jalanku. Aku tidak akan menyerah dengan Perusahaan Haesung. Tapi aku tidak mau
hidup sebagai boneka kakek. Pertama, kubilang itu hanya butuh sebulan. Kukira
aku bisa melakukannya. Sekarang, aku khawatir setahun tidak akan cukup. Aku
takut. Jadi, jangan memperlakukanku seperti seseorang yang selalu mendapatkan
yang kuinginkan.” Ucap Do Kyung.
Ji An pun minta maaf karena sudah ikut campur, tapi Do Kyung masih
terlihat kesal.
Ji Ho dan Seohyun melihat kafe franchise yang akan diambil alih Ji Ho. Seohyun
protes, menurutnya Ji Ho hanya membuang-buang untuk mengambil alih kafe kecil
seperti itu.
“Kau sebaiknya pergi. Skala kita terlalu berbeda. Omong-omong, saat
kuambil alih bisnisnya, aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu.” Jawab Ji
Ho.
“Hei, apa maksudmu? Kau harus mempekerjakan seseorang dan bermain
denganku.” Ucap Seohyun.
“Untuk apa aku mempekerjakan seseorang demi dirimu?” tanya Ji Ho.
“Aku bisa membayar pegawainya. Bermainlah denganku hanya sampai aku ke
luar negeri.” Jawab Seohyun.
“Jika pemiliknya tidak ada, kedainya pasti bangkrut. Aku tidak bisa
melakukan itu.” Ucap Ji Ho.
Pemilik kafe lalu keluar dan bertanya kenapa Ji Ho terus mengintip ke dalam kafenya. Ji Ho bilang, bahwa dia akan mengambil alih kafe itu besok. Si pemilik kafe terkejut dan mengaku kalau ia sudah menjual kafenya. Ji Ho dan Seohyun terkejut.
Ji Ho dan Seohyun langsung datang ke tempat konsultan usaha yang waktu
itu tapi yang mereka temukan hanya lah sekumpulan orang-orang yang berteriak
minta uang mereka dikembalikan. Seohyun pun sadar Ji Ho sudah ditipu.
Dua orang polisi pun datang dan mengajukan pertanyaan pada mereka. Orang2 langsung berkumpul dan melaporkan kejadian yang mereka alami. Seohyun menyuruh Ji Ho pergi ke polisi itu juga.
“5.000 dolarku!” teriak Ji Ho.
Ji Ho lalu melihat kembali surat kontraknya. Ponselnya tiba-tiba
berbunyi tapi Ji Ho tidak mengangkatnya.
Pekerjaan Ji An sudah selesai. Sun Tae pun heran kenapa Ji An bisa bekerja dengan sangat cepat. Tuan Sun lantas mengizinkan Ji An pulang. Do Kyung menatap Ji An dengan heran. Kemudian, ponsel Do Kyung berbunyi dan Do Kyung terkejut karena itu telepon dari ayahnya.
Usai menerima telepon dari sang ayah, Do Kyung langsung berlari keluar dan mendapati ayahnya berdiri di depan studio.
“Kau bahkan bekerja dengan Ji An di sini?” ucap Tuan Choi. Do Kyung
terkejut.
Mereka lalu pergi ke kafe. Ia penasaran bagaimana sang ayah bisa
menemukan lokasinya. Ia juga bertanya, apa ibunya yang mengeceknya.
“Ibumu belum tahu soal ini.” Jawab Tuan Choi.
Tuan Choi lalu mengeluarkan kartu memori yang sebelumnya ia ambil dari
mobil Do Kyung.
“Pada hari kau pergi, ayah mengambil ini dari mobilmu.” Ucap Tuan Choi.
Do Kyung kaget, black box?
“Ada banyak hal menarik di dalamnya. Ada So Ra juga. Ayah mengembalikan ini kepadamu setelah menyaksikannya sendiri.” Ucap Tuan Choi.
“Lantas, apa hanya ayah yang tahu soal ini?” tanya Do Kyung.
“Itulah alasan ayah bilang begini kepadamu. Do Kyung-ah, tinggalkan Ji
An dan pulanglah. Kau tidak akan pernah bisa membahagiakannya.” Jawab Tuan
Choi.
“Apa maksud ayah?” tanya Do Kyung.
“Ayah dahulu orang biasa seperti Ji An. Ini kesimpulan ayah setelah
menikahi ibumu selama 34 tahun. Dia akan hidup sepertiku juga. Ayah juga dahulu percaya cinta bisa mengatasi
apa pun. Ayah polos dan naif. Ayah kira semuanya akan aman jika ayah berusaha
keras. Demi Perusahaan Haesung... demi kakek dan ibumu, ayah kira ayah harus
bisa berusaha sebaik mungkin. Ayah bodoh dan polos.” Ucap Tuan Choi.
“Ini mengejutkan. Aku tidak pernah melihat ayah kesulitan.” Jawab Do
Kyung.
Tuan Choi tertawa, kau kira Ji An akan membiarkanmu melihat itu? Karena kau kabur dari rumah sekarang, ayah menunggu dan menyaksikan kau berbuat sesukamu. Tapi kau kalah dari kakekmu sesuai perkiraan ayah.
“Aku belum kalah darinya.” Jawab Do Kyung.
“Dia membangun perusahaannya menjadi sebesar itu. Itu bukan sesuatu
yang bisa dilakukan sembarang orang. Kau tidak akan bisa mengalahkan kakekmu.”
Ucap Tuan Choi.
Tuan Seo terkejut melihat kedatangan kedua anaknya.
“Ayah kira kami tidak bisa menemukan ayah di sini?” tanya Ji An.
“Astaga, udaranya amat segar.” Ucap Ji Ho.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Tuan Seo.
“Aku harus memeriksa apa kediaman ayah yang baru bagus.” Jawab Ji An.
Ji An lalu menyuruh Ji Ho mengecek apakah kamar ayah cukup hangat.
Dengan kesal, Tuan Seo bertanya bagaimana mereka bisa kemari. Ji Ho bilang,
dulu kakeknya tinggal disana.
Tuan Seo lantas teringat soal hasil pemeriksaannya. Ia penasaran, tapi
enggan bertanya.
Mereka lalu terdiam melihat pesan yang ditempelkan sang ayah di
dinding.
Ji An lantas menyuruh Ji Ho menutup pintunya agar hawa dingin masuk ke
dalam.
Tuan Seo hanya bisa diam melihat kedua anaknya membereskan dapurnya.
“Tampaknya ayah baik-baik saja. Kalau begitu, kami pamit.” Ucap Ji An,
lalu ia dan Ji Ho beranjak pergi.
Ji Tae dan Soo A bertemu di depan rumah sakit. Tapi Ji Tae bilang, dia datang bukan untuk mendampingi Soo A yang akan dioperasi. Ji Tae ingin cerai. Soo A pun kaget.
“Kau menang. Aku akan menurutimu. Tapi kumohon lahirkan bayi itu. Lalu
aku akan menceraikanmu. Aku tidak memintamu membesarkan bayi kita. Aku akan
membesarkannya sendiri.” Ucap Ji Tae.
Tapi Soo A tetap ingin aborsi. Ji Tae pun mengancam akan melaporkan Soo
A pada polisi.
“Kau kira apa yang kau lakukan?” marah Soo A.
“Aku sudah mempertimbangkannya. Kau hamil sebelum menikah. Kau tahu
itu, bukan?” ucap Ji Tae.
“Apa pentingnya itu?” jawab Soo A.
“Aku mau kita bertanggung jawab atas perbuatan kita. Jadi, kau akan
melahirkan bayinya dan aku akan membesarkannya.” Ucap Ji Tae.
“Aku tidak mau menghancurkan hidupmu. Kau tidak harus menjalani hidup
yang menyedihkan. Ada tempat pengasuhan di dekat cabang Cheongju. Aku akan
mengajukan diri untuk cabang itu. Kau bisa mengambil cuti melahirkan dua bulan.
Lantas, kau akan bisa tetap bekerja.” Jawab Ji Tae.
Soo A pun protes, tapi Ji Tae tak mempedulikan protesan Soo A dan
menarik Soo A ke dalam taksi.
Mereka pun tiba di rumah temannya Soo A. Soo A marah karena Ji Tae lebih memilih bayi mereka ketimbang dirinya. Tapi Ji Tae tak peduli dengan kemarahan Soo A. Ia memberikan hadiah yang diberikan ayah pada Soo A dan menyuruh Soo A masuk.
Dalam perjalanan pulang, Ji Ho dan Ji An membahas tulisan yang
ditempelkan ayah di dinding. Ji An pun menangis.
“Dia bahkan menemukan sanatorium. Artinya dia memutuskan mati sendiri.”
Ucap Ji Ho.
“Kakak sebaiknya membelikannya meja rias untuk kamarnya.” Jawab Ji An.
“Tapi aku lega ayah mendengarkan kakak. Ayah tidak bisa melakukan apa
pun.” Ucap Ji Ho.
Flashback....
“Bagaimana jika tidak memberitahunya soal kanker imajinasinya?” ucap Ji
An.
“Apa maksudmu?” tanya Ji Tae.
“Tidak penting bagi ayah kankernya asli atau tidak. Ayah mau mati. Dia
sudah amat terluka.” Jawab Ji An.
“Kau benar. Dokter bilang dia butuh psikoterapi.” Ucap Ji Tae.
“Dari semua pernyataan yang kita dengar dari ayah, dia yakin kita semua
tidak membutuhkannya. Ibu sudah menunjukkannya dari perbuatannya. Kita juga. Aku
yang terburuk.” Jawab Ji An.
“Tapi aku tetap khawatir. Jika kita memberi tahu ayah itu bukan kanker dan
hanya radang gastrik stres, dia akan amat malu. Dia tidak akan bisa pulang.”
Ucap Ji Ho.
“Lantas, kita sebaiknya membiarkannya percaya bahwa itu kanker perut?”
tanya Ji Tae.
“Ingatkah kakak bagaimana kita memperlakukan ayah sebelum bisnisnya bangkrut? Ayah selalu seperti pahlawan super bagiku. Ini bukan hanya soal uang.” Ucap Ji An.
“Kakak dahulu pergi ke pemandian dan mendaki dengannya setiap akhir
pekan. Kakak juga cerita soal pacar kakak kepadanya. Terkadang kakak bercerita
soal senior kakak yang jahat. Ayah bilang kepada kakak suatu hari. Setelah
bisnisnya bangkrut, kakak bahkan tidak menatapnya. Benar. "Ayah tidak
apa-apa?" Kakak tidak pernah bilang begitu. Kakak menanyakan itu setiap
malam saat bisnisnya berjalan lancar.” Sesal Ji Tae.
“Kukira ayah tidak tahu apa-apa. Dia selalu tersenyum.” Ucap Ji Ho.
“Dia mengungkapkan semua kekesalan terpendamnya karena aku. Aku tidak bisa
membiarkannya seperti ini saja. Jika kanker imajinasinya disebabkan perasaan
terkhianati keluarganya, kita harus menyingkirkan perasaan terkhianati itu agar
gejalanya menghilang.” Jawab Ji An.
“Kau mau dia tahu sendiri?” tanya Ji Tae.
Flashback end...
Saat di bis, Ji Ho pun cerita soal penipuan yang baru saja dialaminya.
Ji Ho menyesal karena tidak mendengarkan kata-kata ayah sebelumnya. Ji An pun penasaran,
apa yang akan dilakukan Ji Ho sekarang.
“Aku mau memulai bisnis. Setelah ada rencana bisnis, aku akan bekerja
di lapangan selama setahun seperti usul ayah. Tapi aku belum tahu mau berbuat
apa sekarang.” Jawab Ji Ho.
“Kau harus memikirkan apa kau bisa mengelola bisnis atau tidak terlebih
dahulu.” Ucap Ji An.
“Aku harus mencobanya kalau begitu.” Jawab Ji Ho.
“Kau bisa mencobanya di pasar loak atau semacamnya.” Ucap Ji An.
“Pasar loak?” tanya Ji Ho.
Ji Ho pun tertarik. Ia bilang akan mencari lokasi pasar loaknya malam
itu juga. Ji An bilang, dia akan membuatkan antingnya. Ji Ho pun meminta
kakaknya membuat anting2 itu dalam beberapa hari ini. Ji An bilang, dia bisa
membuatnya 10 pasang malam itu juga.
“Jangan khawatir. Aku tahu di mana bisa mendapatkan sponsor.” Ucap Ji
Ho.
Nyonya No menyuruh Ji Soo berhenti bekerja di toko roti. Nyonya No
bilang, mereka akan mengirimkan Ji Soo sekolah keluar negeri. Nyonya No juga
cerita, soal bodyguard yang akan menjaga Ji Soo 24 jam.
“Kau sebaiknya mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Jika kau belajar
membuat kue sebagai koki di Perancis, ibu akan mendirikan toko kue untukmu di
FNB.” Ucap Nyonya No.
“Ibu belum pernah bilang itu. Ibu juga tidak pernah bertanya kepadaku.”
Jawab Ji Soo.
“Kami menentukan jalan Do Kyung dan Seo Hyun juga.” Ucap Nyonya No.
“Aku tidak mau ke luar negeri. Aku bilang sekarang. Aku tidak mau ke
luar negeri. Ini amat tidak adil. Bagaimana bisa ibu baru memberitahuku tanpa
membahasnya denganku?” protes Ji Soo.
“Itu aturan keluarga ini. Kau menyukai membuat kue. Apa masalahnya?” jawab Nyonya No.
“Ibu tidak mengirimku ke luar negeri karena itu. Ibu berusaha membuatku
belajar agar tidak mempermalukan keluarga ini. Ibu sama sekali tidak peduli dengan
opini, niat, atau impianku.” Ucap Ji Soo.
“Tapi pendidikanmu belum cukup untuk kami dan memang pantas menutupi
kekuranganmu. Ibu akan memesan tiket pekan depan, jadi, renungkanlah.” Jawab
Nyonya No.
“Aku tidak mau pergi. Ibu tidak berhak memaksaku belajar di luar negeri.
Aku berhak memilih jalan hidupku sendiri. Aku tidak paham sampai sekarang.
Kenapa menurut ibu para konglomerat itu spesial? Apa spesialnya mereka? Kalian
hanya punya uang lebih banyak dari orang lain. Kalian tetap makan tiga kali
sehari. Kalian selalu memerintahku. Tata krama dan harga diri. Aku tidak pernah
menyukainya. Aku tidak bisa tidur nyenyak sejak pindah kemari. Ini lebih mirip
akademi militer daripada rumah.” Ucap Ji Soo.
“Seo Ji Soo.” Tegur Nyonya No.
“Ya. Aku Seo Ji Soo. Aku hidup sebagai Seo Ji Soo dan aku mau tetap seperti itu. Aku mau menjadi Seo Ji Soo, yang selalu dicintai.” Jawab Ji Soo, mengejutkan Nyonya No.
Di kamar, Nyonya No melihat foto2 Ji Soo dan Hyuk yang sedang
berkencan.
“Kenapa kau di sini pukul segini? Kau kemari karena khawatir?” tanya Do
Kyung.
“Aku ada pekerjaan.” Jawab Ji An.
“Yong Gook mengambil laptopku, jadi, aku memakai yang ini.” Ucap Do
Kyung.
Ji An lalu mencari sesuatu diantara sampah-sampah kayu yang akan
dibuang. Do Kyung menawarkan bantuan, tapi Ji An menolak.
“Kudengar aku bisa memanfaatkan potongan kayu dan serbuk gergaji. Apa
disebut pelet?” gumam Ji An.
“Kau mencari sesuatu untuk dimanfaatkan? Katakan. Kayu jenis apa yang kau
cari?” tanya Do Kyung.
“Kau tidak boleh mengaduk serbuk kayu dengan tangan kosong.” Ucap Do
Kyung.
“Tidak apa-apa karena aku suka. Tanganku tidak penting.” Jawab Ji An.
“Kenapa kau seperti ini? Aku tidak paham. Aku mengerti kau punya
pekerjaan. Tapi lihat yang kau lakukan kini. Kenapa kau menolak menjadi istri
Haesung?” marah Do Kyung.
“Inilah alasanku tidak akan bisa memacarimu. Kita tidak ada kesamaan.”
Jawab Ji An.
“Aku tidak menyukaimu lagi. Jangan memikirkannya.” Ucap Do Kyung.
“Kenapa kau tidak kesal? Kau senang melihatku begini? Kau tidak mau
berurusan denganku? Lantas, kenapa kau mengirimiku foto itu? Kenapa kau
mengirimiku fotomu di Incheon? Kenapa kau meninggalkan tas itu? Kau terus
membuatku khawatir. Kau sengaja? Bukankah kau tidak mau berurusan denganku? Jelaskan
satu per satu. Kenapa kau tidak datang untuk mengambil tasmu? Kau mau aku
mengembalikannya kepadamu? Kenapa kau bereaksi berlebihan saat aku
mengunjungimu? Kau tahu itu akan memancingku. Kenapa kau pergi ke Incheon? Lagi
pula, kau sudah menelepon Sunwoo Hyuk. Kau mengirim sinyal ke kami berdua,
bukan? Kau mengirimiku foto. Kau mengiriminya apa? Serta kenapa kau
meneleponnya? Kau menyukainya? Kau menyukaiku. Kenapa kau menelepon seseorang
yang dahulu menyukaimu?” tanya Do Kyung bertubi2.
“Aku berusaha menyalakan ponsel dan membuangnya karena kau
membelikannya untukku, tapi aku menemukan fotomu yang kau suruh aku ambil. Aku
hanya mengirimkan foto itu karena itu milikmu. Serta aku tidak sadar tasku
tertinggal. Kau tidak tahu karena tidak berada di sana.”
jawab Ji An.
jawab Ji An.
“Kenapa kau amat tegar? Kenapa kau bertingkah seakan-akan berniat
bilang begitu? Kenapa kau mengaduk serbuk kayu dengan terlihat bahagia? Tahukah
kau betapa sulitnya menghadapimu? Bagaimana bisa kau mengabaikanku seperti ini?”
ucap Do Kyung.
“Hentikan.” Pinta Ji An pelan.
“Hentikan apa? Berbuatlah sesukamu. Aku mengantarkan ayahmu ke rumah sakit saat dia kolaps di kantor kita. Ayahmu mencari di terminal dengan fotomu. Dia memeriksa jasad wanita di kantor polisi. Jadi, aku bilang kepadanya kau di Yeonnam-dong. Lantas, kau berbuat apa? Kau meneriakiku.” Ucap Do Kyung.
“Kantor polisi?” tanya Ji An kaget.
“Aku kecewa denganmu.” Jawab Do Kyung.
“Dia memeriksa jasad wanita?” tanya Ji An.
Dan, tangis Ji An pun pecah. Melihat Ji An menangis, Do Kyung langsung minta maaf karena sudah memarahi Ji An.
“Tidak apa-apa. Aku sebaiknya bilang sesuatu yang belum kubilang. Terima kasih sudah memberi tahu ayahku. Terima kasih sudah mengurus ayahku.” Ucap Ji An.
Do Kyung pun kebingungan melihat sikap Ji An. Ji An lalu meminta Do
Kyung berhenti mengajaknya bicara karena ia mau fokus bekerja. Ji An bahkan
menepuk bahu Do Kyung.
“Hei, Seo Ji An. Apa aku tampak lucu bagimu?” protes Do Kyung.
Do Kyung lalu beranjak pergi. Tapi kemudian ia balik lagi. Dan Ji An
terkejut. Ia pikir, Do Kyung sudah pulang. Do Kyung mengajak Ji An makan malam.
Ji An terkejut mengetahui Do Kyung belum makan malam.
Do Kyung dan Ji An pun menyantap jajangmyeon di meja terpisah.
Sekarang, Do Kyung sudah berada di kamarnya. Ia sibuk dengan kertas2nya, tapi kemudian ia teringat kata-kata Ji An soal Ji An yang membuang ponsel yang ia belikan. Do Kyung pun penasaran, kenapa Ji An menyalakan ponsel itu, lalu membuangnya.
“Dia berusaha menghilangkan jejak dirinya?” gumam Do Kyung.
Do Kyung lantas ingat kata-kata Seketaris Yoo saat Seketaris Yoo
berhasil melacak jejak Ji An.
“Ini hasil lokasi ponsel Ji An. Itu kehilangan sinyal sepekan lalu. Sinyal
terakhir tertangkap di Incheon.”
“Dia pergi ke Incheon tanpa dompet dan membuang ponselnya setelah
meresetnya.” Gumam Do Kyung lagi.
Do Kyung lalu ingat kata-kata Hyuk.
“Apa kau bermain-main dengan Ji An saat kau tidak bisa bertanggung
jawab?” tanya Hyuk.
“Bagaimana jika aku bertanggung jawab?” ucap Do Kyung.
“Kamu pernah menjadi kakaknya. Bagaimana bisa kau meninggalkannya
seperti itu di akhir? Aku mau minta tolong. Jangan ganggu Ji An. Dia baru saja
kembali menjadi dirinya sendiri. Jangan usik dia. Jika kau sungguh peduli
dengannya.” Pinta Hyuk.
Kemudian, Do Kyung ingat kata2 Ji An.
“Aku sudah menghadapi waktuku antara hidup dan mati. Jadi, aku tahu
sekarang. Sungguh. Aku tahu posisiku, jati diriku, dan tempatku seharusnya
berada agar aku bahagia.” Ucap Ji An.
Keesokan harinya, Do Kyung meminjam mobil Seketaris Yoo dan pergi ke
Incheon.
Singkat cerita, Do Kyung akhirnya bertemu Tuan Bong. Semual Tuan Bong menolak menceritakan soal Ji An, tapi setelah Do Kyung berkata kalau Ji An tidak mau terbuka dengannya, akhirnya Tuan Bong menceritakan semuanya pada Do Kyung.
Do Kyung melihat ke arah gunung tempat Ji An bunuh diri dengan mata berkaca-kaca sambil mengingat cerita Tuan Bong tentang Ji An yang nyaris mati karena bunuh diri.
“Kau lihat gunung itu? Aku menemukannya di dekat puncak gunung itu. Dia
kolaps setelah minum obat. Aku mau melepaskannya, tapi tampaknya dia akan
melakukannya lagi. Itulah alasanku membuatnya bekerja di sini, jadi, dia tidak
memikirkan hal lain. Tanpa ponsel atau pun KTP. Dia tidak punya apa-apa. Jika
temannya tidak kebetulan menemukannya saat kemari membeli rumput laut, dia
pasti sudah mati selagi mengeringkan rumput laut. Dia bahkan menolak pergi saat
temannya di sini. Temannya harus membujuknya selama beberapa hari.” Cerita Tuan
Bong.
Do Kyung lantas mendekati laut. Ia menoleh ke samping dan berusaha
membayangkan kondisi Ji An saat itu.
Do Kyung lalu menyusuri pinggiran pantai. Ia tidak menyangka Ji An akan melakukan tindakan bodoh seperti itu.
Tangis Do Kyung akhirnya pecah. Lalu, Do Kyung jatuh terduduk.
“Ji An-ah.... Ji An-ah...” tangis Do Kyung.
Kak semangat buat sinopnya yach, seru bgt ceritanya, q tiap baca selalu nangis 😢, alur ceritanya g bosen'in