.

I Have a Lover Ep 39 Part 1

Sebelumnya...


Hae Gang langsung menemui Seok di parkiran. Setibanya di sana, ia terkejut melihat tanaman beracun itu berada disamping mobilnya. Tiba2 saja, sebuah motor melaju kencang ke arah Hae Gang. Seok yang melihat itu pun langsung berlari ke arah Hae Gang. Bersamaan dengan itu, si pengendara mengeluarkan tongkat besi dari balik jaketnya. Seok pun langsung jatuh terkapar setelah dipukul dua kali oleh si pengendara. Hae Gang pun syok.

“Seok-ah! Seok-ak!” teriaknya.



Jin Eon yang kecewa langsung menghubungi ayahnya. Ia mengajak sang ayah nonton film. Presdir Choi berkata bahwa itu akan menjadi yang pertama kalinya mereka nonton film bersama. Jin Eon menjawab bahwa itu bukan hanya akan menjadi yang pertama bagi mereka menonton film, tapi juga menjadi yang terakhir kalinya mereka menonton film.

“Jangan bertemu di tempat yang gelap setelah hari ini, Jin Eon-ah.  Semakin mendekati kematianku, aku ingin tempat yang lebih terang.” Ucap Presdir Choi.

Hmm… agaknya Presdir Choi udah bisa ngerasain nih kenapa Jin Eon ngajak dia ketemuan.


Sebuah ambulance berpapasan dengan mobil Jin Eon. Suara sirenenya terdengar meraung cukup keras. Di dalamnya, Seok terbaring dengan luka yang cukup parah. Hae Gang lantas memegang tangan Seok. Ia pun terkejut saat menemukan tangan Seok yang menggenggam sebuah kertas. Hae Gang pun mengambil kertas itu dan membaca tulisan di dalamnya.

Aku akan membunuhmu…..


Hae Gang syok membaca pesan ancaman itu. Ia pun langsung berpikiran bahwa ancaman itu ditujukan padanya, tapi Seok mengorbankan diri untuk melindunginya.



Setibanya di rumah sakit, ingatan Hae Gang langsung melayang ke saat2 dimana ia dan Seok pertama kali bertemu. Saat itu, Hae Gang yang duduk di dalam mobilnya memergoki Seok sedang mematut diri di kaca spionnya. Seok tampak menjulurkan lidahnya sambil menggosokkan ice cream ke lidahnya. Hae Gang kemudian mengingat saat ia bermain pistol air bersama Seok dan anak2. Tangis Hae Gang pun akhirnya pecah. 


Jin Eon tampak menunggu ayahnya di depan pintu masuk bioskop. Begitu sang ayah tiba, Jin Eon pun langsung menatapnya dengan dingin. Presdir Choi pun berkata bahwa itu adalah hari yang tidak akan pernah ia lupakan. Presdir Choi mengajak Jin Eon masuk, tapi Jin Eon malah meminta SIM-nya Sopir Kim.


Sontak, Presdir Choi langsung menatap putranya itu. Sementara Sopir Kim terheran2.

“Kenapa kau meminta izin mengemudiku?” tanya Sopir Kim.

“Setelah aku mendengar perkataan ayahku, baru aku akan mendengar ceritamu.” Jawab Jin Eon.



Jin Eon lantas mengajak sang ayah masuk. Presdir Choi terkejut karena Jin Eon mengajaknya menonton film tentang kecelakaan dua pendaki. Presdir Choi juga penasaran kenapa hanya ada mereka saja di gedung bioskop.

 “Tulang paha sebelah kiri mengalami keretakan. Bukan hanya patah tulang, pendarahan dan disekitar pembuluh darah juga rusak. 15 Mei 1981, saat itu cuacanya tidak bersalju dan berangin, kenapa kau menghantam batu gunung? Luka pada betis kiri ayah, karena ditusuk dengan pisau, benarkan? Siapa yang menusuk ayah? Apakah ayahnya Hae Gang menusukmu ayah? Kenapa?” tanya Jin Eon.

“Tidak ada yang seperti itu. Dimana atau bagaimana aku ditusuk, aku tidak tahu apa-apa tentang itu. Aku tidak ingat telah ditusuk.” Jawab Presdir Choi.


“Ya, aku ingat ayah. Aku bilang, aku ingat, ayah.” ucap Jin Eon.

“Apa yang kau bicarakan?” tanya Presdir Choi.

“Itu adalah musim gugur saat aku kelas empat. Halaman depan membeku dan aku menggunakan besi alas sepatu es ayah dan bermain dengan kapak es dan menghancurkan es. Segera setelah kau melihatku, kau mengambil kapak esnya dan mulai memukuli aku. Setelah memukuliku, yang kau ambil bukan aku yang berdarah dan pingsan disana, tapi besi alas sepatu esmu dan kau cepat-cepat pergi. Ayah merusak tali ayahnya Hae Gang dengan besi alas sepatu es dan kapak es. Dan juga sebelum pergi ke gunung, kau memberi temanmu alkohol, benarkan? Sejak dari pagi.” Jawab Jin Eon.


Presdir Choi pun emosi. Ia meminta Jin Eon berhenti bicara omong kosong.

“Hak paten Ssanghwasan didaftarkan pada 10 mei, kecelakaan terjadi pada 15 Mei, pemindahan hak paten pada 16 Mei. Kematiannya dilaporkan tanggal 17 Mei, kau mencuri hak paten temanmu. Kau membunuh temanmu, dan anak temanmu, anaknya...”

“Tidak ada yang seperti itu! Kau salah, semuanya salah! Dia memintaku dan aku melaksanakan permintaannya. Itulah kenyataannya, itulah kebenaran yang aku tahu. Apa kau ada di gunung? Aku ada di sana, aku disana. Hanya aku satu-satunya yang mengetahui kebenarannya. Aku tahu kebenarannya! Aku tahu!” jawab Presdir Choi.

“AYAH!!” teriak Jin Eon.


“Aku membesarkan yang tadinya bukan apa-apa. Aku mengembangkannya menjadi trilyunan dan mengembalikannya kepada anaknya, aku mengembalikannya kepada Hae Gang. Meskipun Ji Hoon masih hidup, dia tidak bisa melakukan itu. Meskipun dia mengembangkan obat, dia tidak bisa menjadikannya sebuah produk. Aku yang melakukannya. Menggantikan tempatnya, aku melindungi Ssanghwasan, mengembangkannya, dan menjadikannya uang! Dengan secarik kertas yang ditinggalkannya, aku memberi makan orang-orang dan merubah perekonomian negara. Dia mati, dia telah mati menggantikan aku. Akhirnya, itu adalah yang terbaik untuk semua orang.” Ucap Presdir Choi.

“Ayah pikir mendiang akan setuju dengan pendapat ayah?” tanya Jin Eon.


“Apakah penting apa yang dipikirkan orang yang sudah mati? Apa pentingnya kebenaran yang dipegang oleh orang yang sudah mati? Yang terpenting dari hidup adalah hidup! Mereka yang selamat harus melanjutkan hidupnya! Kita harus hidup. Daripada kebenaran satu orang, kebenaran yang menguntungkan semua orang adalah keputusanku.Dan itu adalah benteng bagiku.” jawab Presdir Choi.

Jin Eon pun menatap sang ayah dengan penuh kebencian.

“Datanglah setelah kau selesai menonton, aku tidak bisa lagi menonton karena itu mengingatkan aku padanya.” Ucap Presdir Choi.


“Meskipun kasusnya telah kadaluwarsa, serahkan diri ayah pada yang berwenang. Ungkapkan kebenaran dengan mulut ayah sendiri. Aku tidak bisa memaafkan ayah, aku tidak mau memaafkan ayah.” jawab Jin Eon.

“Aku tidak bisa melakukannya?” tanya Presdir Choi.

“Karena aku tidak bisa membunuh ayahku, aku rasa aku yang harus mati. Sekarang, taliku tergantung di tangan ayah juga. Apa ayah akan memotongnya lagi? Demi kebaikan semua orang?” jawab Jin Eon.

Presdir Choi pun tampak terluka dengan kata2 Jin Eon. Tapi benarkah Presdir Choi yang membunuh ayah Hae Gang?? Aku masih gak yakin… aku malah berpikir bahwa ayah si kembar lah yang mau membunuh Presdir Choi.



Tae Seok merayakan kemenangannya dengan minum2 bersama Produser Kim. Ia yakin, Seok tidak akan mampu hadir di persidangan setelah insiden itu dan dengan begitu permainan akan berakhir. Produser Kim yakin tuduhan akan mengarah pada Shin Kyung Woo.

“Ancaman dan pembunuhan karena dendam, poin utama di sini adalah pengacara lawan, Baek Seok terluka karena berusaha menyelamatkan Do Hae Gang.” ucap Tae Seok.

“Apa yang harus kulakukan dengan manajer kantor Park, haruskah aku tetap menempatkannya di kantor itu?” tanya Produser Kim.

“Kalau kau segera mengeluarkannya, itu akan terlihat mencurigakan, jadi biarkan saja dia disana untuk sekarang.” jawab Tae Seok.

Produser Kim menurut…



“Mari kita lihat saja untuk sekarang, dan jaksa akan segera memulai penyelidikan kasus pemerasan pasien farmasi Mi Do karena itu menaikkan harga saham dipasaran. Cobalah cari pemain yang bisa mengikuti rencana. Supaya aku tidak terlibat, carilah seseorang yang tidak ada hubungannya denganku, seseorang yang tidak asing. Siapa yang melindungi perusahaan sampai segila ini? Siapa yang berani menyingkirkan bawahanku? Aku tidak bisa dirampok dari farmasi Cheon Nyeon tanpa berbuat apapun. Setelah aku memasak dengan tanganku yang sakit, tidak seharusnya kuberikan kepada anjing.” Ucap Tae Seok.

“Apa kau berencana membiarkan Wakil Presdir Do Hae Gang? Aku mengatakannya bukan karena dia memecatku, dengan persidangan ini, kita berusaha untuk memborgolnya. Untuk membunuh dua burung dengan satu batu. Seperti yang kau katakan, dia adalah wanita yang mengerikan, kau harus berhati-hati.” Jawab Produser Kim.

“Mari kita lihat siapa yang akan diborgol. Kau ingin menangkap Min Tae Seok? Kau? Maka kau seharusnya hidup dengan baik, dengan baik. Kau menanam dosa, sekarang siapa menghukum siapa? Mari kita lihat siapa yang akhirnya masuk penjara.” Ucap Tae Seok.



Seol Ri masih saja melakukan aksi protesnya terkait efek samping Pudoxin. Tak lama kemudian, Jin Ri datang dan langsung membawa Seol Ri pergi. Mereka pun berdebat. Seol Ri mengaku bahwa dirinya adalah korban efek samping Pudoxin.

“Kalau begitu aku akan mengucapkan selamat, karena menjadi korban setelah menjadi penyerang. Kau seharusnya menggantinya menjadi korban efek samping Do Hae Gang dari farmasi Cheon Nyeon. Apa kau dipaksa melakukannya? Kau yang memilih untuk melakukannya. Kau menginginkannya, kau menyukai Jin Eon maka kau bermain mata dengannya, jadi apanya yang korban?. Kau yang membuat pilihan, tubuhmu, hidupmu, kau adalah penyerang, Kang Seol Ri.” Ucap Jin Ri.

“Tes klinisnya dipalsukan, itu tidak boleh terjadi.” Jawab Seol Ri.


“Kalau semua berjalan sesuai keinginanmu, kau menjadi menantu di keluarga kami, apa kau akan tetap melakukan ini? Sejak kapan kau jadi orang baik? Kau juga tahu itu. Mendiang Moon Tae Joon dan Do Hae Gang, saat mereka berdemo Pudoxin, apa kau perduli pada saat itu? Kau hanya merasa terganggu karena Do Hae Gang berdemo di depan Jin Eon, benarkan? Bukan obatnya, tapi Do Hae Gang yang membuatmu marah, benarkan?” ucap Jin Ri.

“Karena pekerjaanku menjadi masalahku sekarang.” jawab Seol Ri.

“Tidak ada obat yang tanpa efek samping. Apakah ada obat tanpa efek samping? Kenapa kami yang harus bertanggung jawab? Tanggung jawab untuk apa? Pergi dan proteslah di depan rumah Do Hae Gang, aku akan mendukungmu sepenuhnya.” Ucap Jin Ri.

Namun Seol Ri masih aja tetap keras kepala mau melanjutkan aksi protesnya.


“Tidak bisa, aku sudah memutuskan untuk menghalangimu. Besok, tidak akan ada sebarispun laporan di surat kabar.” Ucap Jin Ri.

“Surat kabar bukan satu-satunya cara, ada cara lain untuk membuat orang lain tahu. Aku akan menuntutmu atas pembunuhan karakter (fitnah). Silahkan, lakukan sesukamu. Sekarang, persidangannya akan berjalan jadi akan ketahuan siapa sebenarnya yang memfitnah.” Jawab Seol Ri.

Jin Ri pun memberitahu Seol Ri bahwa persidangannya dipukul karena sang pengacara yang dipukul dengan tongkat baseball.  Seol Ri terkejut. Jin Ri memberitahu Seol Ri bahwa Seok dipukul dengan tongkat baseball dan dilarikan ke rumah sakit dua jam lalu. Seol Ri terpukul. Ia pun langsung berlari ke rumah sakit.



Di rumah sakit, Hae Gang dan Tuan Baek masih menunggui Seok. Tuan Baek tampak cemas. Hae Gang pun jadi semakin merasa bersalah karenanya. 



Tak lama kemudian, dua orang polisi menghampiri Hae Gang.

“Aku diberitahu bahwa alarm mobilku berbunyi, jadi aku pergi ke tempat parkir. Ada tanaman oleander di samping mobilku.  Aku terkejut, jadi aku berhenti. Lalu, ada sepeda motor menuju ke arahku, dan dia menyelamatkanku. Dia berusaha menyelamatkan aku, bukan aku tapi tongkat baseballnya... Kepalanya dipukul dengan tongkat baseball, belakang kepalanya dan orang itu kembali lagi dan memukul bagian kanan tubuhnya.


Tak lama kemudian, Seol Ri datang dan menatap tajam ke arah Hae Gang yang sedang dimintai keterangan oleh polisi.


“Kau bahkan tidak mencintai Oppaku, kenapa kau tidak segera meninggalkannya? Kau membuatnya menunggu selama 4 tahun, dan berpikir kau akan menerimanya kalau dia menunggu. Kau tidak membiarkan dia mendekatimu ataupun meninggalkanmu. Hal terburuk yang kau lakukan pada Oppaku bukan hanya hari ini saja. Kalau saja kau lebih cepat meninggalkannya, maka ini tidak akan pernah terjadi. Pergi, aku memintamu untuk segera pergi. Kalau kau tetap ada di sini, aku akan…  Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Oppaku… Aku mungkin... benar-benar akan membunuhmu. Aku mungkin akan mencekik lehermu.” Ucap Seol Ri.

Hae Gang diam saja dan hanya bisa menangis.

“Do Hae Gang-ssi! Apa kau tidak mendengar aku menyuruhmu pergi? Pergilah! Pergi! Pergilah! Menyingkirlah dari pandanganku!” teriak Seol Ri.

“Hubungi aku kalau oppamu sadar, aku mohon padamu.” Pinta Hae Gang.



Jin Eon masih di bioskop, ia sudah terlihat lebih tenang. Tak lama kemudian, Jin Eon mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

Hae Gang sendiri masih di depan rumah sakit. Ia sangat terpukul dengan insiden Seok. Tak lama, ponselnya berbunyi. Ia pun menjawab panggilan dari Jin Eon.

“Akan kuberitahu padamu, cerita tentang ayah kita.” ucap Jin Eon.

“Hari ini mungkin akan sulit.” Jawab Hae Gang dengan suara serak.

“Ada apa dengan suaramu? Apakah karena telponku? Atau memang sudah seperti itu sebelumnya? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jin Eon.

Namun Hae Gang diam saja…

“Apakah aku harus lebih keras sebagai bawahan? Katakan padaku, aku akan melakukan keinginanmu. Apapun yang membuat kau merasa nyaman. Aku rasa aku harus memperbaiki panggilanku kepadamu. Aku akan berhati-hati mulai sekarang. Kalau begitu, mari kita bertemu besok setelah pulang kerja.” Ucap Jin Eon.

“Aku ada di rumah sakit. Seok terluka. Bukan aku, tapi dia yang terluka. Dia sedang dioperasi. Ada oleander.” Jawab Hae Gang.

Jin Eon terkejut.


Seok akhirnya dibawa keluar dari ruang operasi. Dokter menjelaskan kalau Seok akan segera sadar. Tulang yang patah akan segera membaik, namun masalahnya tulang yang patah adalah tulang belakangnya. Syaraf di dekat tulang belakangnya tertekan. Meskipun dilakukan operasi untuk melepaskan tekanan dan memasukkan alat ke daerah yang patah, mereka harus tetap memperhatikan bagaimana syaraf yang rusak akan kembali pulih.

Seol Ri pun terkejut, apa? Kerusakan syaraf?


Jin Eon langsung menghampiri Hae Gang yang masih menunggui Seok di luar rumah sakit. Jin Eon mengajak Hae Gang masuk karena udara yang cukup dingin. Hae Gang menolak. Ia masih sangat terpukul. Jin Eon pun menggosok2an tangannya, kemudian meletakkannya di kedua pipi Hae Gang agar Hae Gang merasa hangat.

“Haruskah kita masuk ke mobil? Atau haruskah kita menunggu di kafe di sebelah sana? Kau sedingin es, mari kita hangatkan kau terlebih dulu.” Bujuk Jin Eon.

“Aku akan menunggu di sini.” Jawab Hae Gang.

“Mari kita tunggu di dalam.” Ucap Jin Eon. Namun Hae Gang tetap tidak mau masuk ke dalam.



Nyonya Hong duduk melamun di lantai rumah. Tak lama kemudian, Jin Ri datang dan terheran2 melihat ibu tirinya duduk di lantai. Jin Ri pun mendekati ibu tirinya, ia ingin tahu apa yang sedang dilakukan ibu tirinya. Nyonya Hong berkata bahwa ia sedang menunggu Jin Ri.


“Min Tae Seok, dia hanya berpura-pura, pura-pura. Dia benar-benar berpura-pura padamu. Dia tidak punya apa-apa selain keberanian, itu bukan cinta tapi ambisi. Bukan kau yang diinginkannya, tapi uangmu.” Ucap Nyonya Hong.


Jin Ri cengo, sementara itu Tae Seok yang hendak turun pun berhenti melangkah begitu mendengar namanya disebut2 oleh Nyonya Hong. Nyonya Hong kembali melanjutkan kata2nya.


“Dia sedang bermain film murahan memikirkan latar belakangmu, dasar bajingan itu. Dia berusaha menjadikanmu sebagai pengangkat hidupnya. Ambisi untuk melompat dari bawah ke atas, dengan memanfaatkanmu sebagai pijakannya! Apa kau tidak melihatnya? Beraninya dia seorang pegawai biasa mengangkat kepalanya kepada anak pemilik perusahaan? Apa? Dia tidak menyukaimu karena kau anak pemilik perusahaan? Lucu sekali, kecoa yang lewatpun akan tertawa. Dia melakukannya dengan sengaja. Untuk membuatmu marah dan merasa terganggu. Dia menciummu, benarkan?” ucap Nyonya Hong.


Tae Seok terkejut dengan ucapan Nyonya Hong, begitupula Jin Ri.

“Setelah dia menciummu, dia benar-benar mengabaikanmu. Hari dimana dia menggendongmu pulang ke rumah.” Ucap Nyonya Hong.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Jin Ri.

“Ada lipstik di bajunya. Dia sengaja melakukannya, bajingan itu, untuk menunjukkan pada ayahmu dan aku. Aku bisa menduganya meski tidak melihatnya, begitulah cara yang dilakukannya.” Jawab Nyonya Hong.


“Apalagi sekarang? Apakah ini cara baru mengangguku dengan berdalih alzheimer? Yang berpura-pura bukan Min Tae Seok, tapi kau, ibu tiri.” Ucap Jin Ri.

“Apa kau tahu orang yang ambisius hancur karena ambisi mereka? Kau tidak tahu ini, tapi bajingan itu benar-benar buruk, Jin Ri.” Jawab Nyonya Hong.

“Apa kau sudah selesai bicara? Aku tahu dia buruk, semakin lama aku hidup dengannya, dia tidak bertambah baik, itu benar. Tapi tetap saja dia adalah ayah dari anak-anak kami, jadi tolong hentikan. Dan saat aku tidak tahu apa itu cinta, dia setia padaku. Apakah pasangan hidup dengan cinta? Mereka hidup dengan persaudaraan.” Ucap Jin Ri.


Tae Seok senyum2 mendengar ucapan Jin Ri. Tapi tak lama, ia kembali memelototi Nyonya Hong saat Nyonya Hong kembali bicara.

(Ekspresi Tae Seok di sini membuatku ketawa ngakak….)

“Dia menelantarkan wanita. Wanita yang hidup bersamanya selama 8 tahun. Dia membuangnya seperti sepatu lama karena dirimu.” Ucap Nyonya Hong.


“Tinggal bersama? Dia tidak hanya berkencan, tapi hidup bersama dengan wanita itu? Selama 8 tahun?” kaget Jin Ri.

“Wanita itu bahkan membesarkan adiknya. Mereka tidak mengadakan resepsi, mereka sudah menikah. Bagaimana dia bisa menelantarkan wanita itu demi dirimu? Tidak dengan dia, selamanya tidak pernah!” ucap Nyonya Hong.


Nyonya Hong kemudian bangkit dari duduknya. Ia pun makin sewot saat melihat Tae Seok yang berdiri di tangga.

“Lihatlah bajingan itu! Kapan dia merangkak masuk ke rumah orang lain?” ucap Nyonya Hong.


“Apa? Tinggal bersama? Kau tinggal bersamanya? Selama 8 tahun? Hei, Min Tae Seok!” teriak Jin Ri.

“Itu alzheimer, gejala Alzheimer. Dia tidak hidup dalam kenyataan, kenapa kau juga kembali ke masa lalu?” jawab Tae Seok.

“Tapi  kenapa kau tua sekali? Saat tadi aku melihatmu, aku kira kau adalah ayahmu.” ucap Nyonya Hong.


Tae Seok langsung kesal. Sedangkan Jin Ri terheran2 mendengarnya. Nyonya Hong kemudian menatap Jin Ri.

“Apa kau benar-benar menyukainya? Waktu kau melihat wajah ini, apakah hatimu berdebar-debar?” tanya Nyonya Hong.


Tae Seok pun menatap Jin Ri. Sedangkan Jin Ri menatap Tae Seok dengan tatapan sewot. LOL LOL



Yong Gi datang membawakan bulgogi ke meja makan. Ia mengucapkan bahwa itu bulgogi dalam Bahasa Inggris. Nyonya Kim terheran2, ia penasaran kenapa Yong Gi mempelajari Bahasa Inggris.

“Kalau pusat penyakit tidak bisa disembuhkan sudah didirikan, kakak tiga menit menyuruhku untuk pergi ke Amerika, belajar, lalu kembali lagi.” Jawab Yong Gi.

“Apa? Jadi kau akan pergi ke Amerika?” tanya Nyonya Kim.

“Aku belum tahu, pergi atau tidak. Kakak tiga menitku, tanpa seijinku telah mencarikan sekolah dan rumah. Aku tidak tahu kenapa dia selalu melakukan apapun yang diinginkannya.” Jawab Yong Gi.

“Sudah berapa lama kalian bertemu?” tanya Nyonya Kim.


“Tidak, aku belum memutuskan untuk pergi. Dia bilang aku harus pergi, dan aku percaya padanya dan pergi. Dia terus mengangguku dengan masalah itu. Tapi itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, di tempat asing dimana tidak ada yang bisa dimengerti.” Jawab Yong Gi.

“Ibu tidak akan mengirim mu kemanapun. Aku akan memberitahu kakakmu, jadi belajar saja di sini dan biarkan Woo Joo tetap dirawat Profesor Min.” ucap Nyonya Kim.

“Aku bilang itu tidak masuk akal sama sekali bagiku. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba semua orang seperti ini padaku. Seseorang ingin membangun pusat kesehatan untukku, yang lain ingin aku belajar ke luar negeri. Dan ada seseorang yang tidak ingin aku pergi. Semuanya memperlakukan aku dengan baik kecuali satu orang!” jawab Yong Gi sambil melirik Gyu Seok.



Hae Gang masih menunggu di rumah sakit. Ia menunggu dengan wajah cemas. Tak lama kemudian, Jin Eon datang dan mengatakan bahwa ia baru saja menemui dokter. Hae Gang ingin tahu apa yang dikatakan dokter.

“Dia sudah dipindahkan ke kamar, tapi dia masih belum sadar. Syaraf tulang belakangnya rusak. Aku rasa bisa saja tangan kanannya lumpuh.” Jawab Jin Eon.

Hae Gang pun semakin merasa bersalah.

“Mungkin juga tidak, dan dia akan membaik setelah menjalani terapi fisik.” Ucap Jin Eon, untuk menenangkan Hae Gang.


Hae Gang lantas menjenguk Seok. Tepat saat itu, Seok terbangun. Hae Gang menatap Seok dengan cemas. Seok mencoba tersenyum. Tangis Hae Gang pun pecah.

“Sekarang aku bahkan membuatmu menangis. Kau membuat aku sedih. Jadi menangislah selama satu menit, 60 detik saja, mengerti?” ucap Seok.

“Maafkan aku. Karena aku, maafkan aku, Seok-ah!” jawab Hae Gang

“Kau menangis di sini untukku, karena aku. Aku suka menjadi diriku sendiri. Meski aku terlihat seperti ini, aku suka aku, diriku sendiri, Ong Gi-ya.” ucap Seok.



Hae Gang terus menangis. Seok pun berkata bahwa satu menit Hae Gang sudah lewat, jadi kalau Hae Gang masih menangis maka Hae Gang harus membayar denda sebanyak 10 ribu won padanya.

“Airmata apa yang mahal sekali?” tanya Hae Gang.

“Kenapa kau tidak menangis?” Seok bertanya balik.


“Apa kau tidak tahu? Saat aku melihatmu, aku berpikir, aku harus menjadi seseorang seperti itu, aku harus memperlakukan orang seperti itu. Orang yang lebih baik, aku harus menjadi orang yang lebih baik. Karena aku tidak segera meninggalkanmu, mungkin itu sebabnya kau menjadi seperti ini.” ucap Hae Gang.

“Apa yang harus kulakukan meskipun begitu? Kau menyukai pria jahat. Pria baik-baik tidak pernah bisa memiliki semuanya.” jawab Seok.

“Bagaimana lengan kananmu?” tanya Hae Gang.

“Karena aku tidak bisa merasakan apa-apa, baguslah karena tidak terasa sakit. Jangan khawatir, itu akan membaik setelah menjalani terapi fisik. Aku mengantuk sekarang, kau harus pergi.” Jawab Seok.

“Aku akan pergi sebentar lagi, aku akan pergi setelah kau tidur.” Ucap Hae Gang.


“Kau akan membuat bajingan itu menunggu dengan cemas. Pergi sajalah, kau akan menangis lagi, pergi.” Jawab Seok.

“Aku akan datang besok.” Ucap Hae Gang.

“Kau tidak perlu datang setiap hari. Datanglah seminggu sekali, hmm?” jawab Seok.


Begitu Hae Gang pergi, Seok yang tadinya bersikap ceria di depan Hae Gang tiba2 saja menangis.


Hae Gang dihubungi seseorang. Hae Gang terkejut saat orang itu mengaku sudah menangkap seseorang. Setelah menerima telepon itu, Hae Gang pun bergegas pergi.

Post a Comment

0 Comments