Hae
Gang tergesa2 keluar dari ruangannya. Setibanya diluar, ia melihat Jin Eon yang
sedang terburu2 pula ke arahnya. Melihat Jin Eon, Hae Gang langsung
menyembunyikan ponselnya yang berisi rekaman pengakuan Tae Seok yang
didapatkannya dari Seol Ri. Hae Gang terdiam
saat Jin Eon menyerahkan daftar nama2 jaksa padanya.
“Lindungi
dirimu sendiri dari ayahku. Kebencianmu dan rasa maluku, sepertinya tidak bisa
bersama. Kau sangat bagus di persidangan tadi. Kau luar biasa. Sayang sekali
kalau kau berhenti menjadi pengacara. Aku ingin kau terus melakukannya, bersama
dengan Si Cahaya.” Ucap Jin Eon.
Setelah
mengatakan itu, Jin Eon pun pergi. Hae Gang membeku….
Tae
Seok berlutut, memohon agar Presdir Choi menyelamatkannya. Ia berkata bahwa
dirinya bodoh karena sudah mengkhianati Presdir Choi. Tae Seok terus memohon.
Tapi Presdir Choi enggan menyelamatkannya. Ia berkata bahwa dirinya sudah punya
masalah sendiri.
“Ada
file rekaman, kau sudah mendengar bahwa persidangan Pudoxin adalah jebakan. Itu
adalah jebakan yang direncanakan Do Hae Gang sejak awal. Dia kembali untuk
balas dendam. Do Hae Gang membalaskan dendam adik dan ayahnya padamu dan aku
sekarang ini. Kau pikir Wakil Presdir Do hanya akan memasukkan aku saja ke penjara? Dia berusaha memenjarakan
kita berdua dan mengambil farmasi Cheon Nyeon untuk dirinya sendiri,
pikirkanlah. Tidak seperti kita, Do Hae Gang akan segera di bebaskan. Kau tidak
punya saham perusahaan setelah kau memberikannya kepada Adik Ipar dan Do Hae
Gang. Bagaimana kau akan menghentikannya tanpa aku? Cara apa yang akan kau
gunakan untuk mencegahnya? Adik Ipar berada di pihak Do Hae Gang. Apa kau akan
membiarkan Farmasi Cheon Nyeon jatuh ke tangan Do Hae Gang? Kau harus membuat
Adik Ipar berada di pihak kita. Begitulah kita bisa mempertahankan kekuatan
manajemen kita.” ucap Tae Seok.
Hae
Gang mengancam Jaksa Kim dengan daftar para jaksa yang menerima suap. Ia
meminta penyelidikan dilakukan secara terbuka.
“Kau
akan menyakiti dirimu sendiri Wakil Presdir Do. Apa kau tahu orang seperti apa
yang ada dalam daftar itu? Orang-orang seperti kita akan dihancurkan
berkeping-keping.” Jawab Jaksa Kim.
“Presdir
Choi tidak bisa mengungkapkannya kepada public. Kalau dia mengungkapkannya,
hukumannya akan bertambah berat dan orang yang menerima hadiah akan berpaling
darinya. Kalau pajaknya di audit, dia akan berada dalam masalah besar. Apa yang
harus kita lakukan? Aku kenal banyak orang. Haruskah aku meminta penggantian
jaksa yang berwenang pada kasus ini setelah aku bertemu dengan dua atau tiga
jaksa? Lalu, ayah jaksa Kim juga akan menjadi tersangka, apakah itu tidak
apa-apa bagimu?” ancam Hae Gang.
“Apa
yang kau inginkan dariku? Apakah Presdir Choi? Apakah aku harus mengusut Choi
Man Ho?” tanya Jaksa Kim.
“Daripada
itu, aku berharap kau menyelidiki ini dengan benar pada kasus ini. Jangan
mempermudah aku ataupun Presdir. Biarkan kami secara adil menerima hukuman
sesuai hukum.” Jawab Hae Gang.
Presdir
Choi setuju, ia mau melindungi Tae Seok kali ini. Ia berkata bahwa ia bisa
memanipulasi rekaman suara Tae Seok yang didapat Hae Gang dari Seol Ri. Hanya
itu yang bisa ia lakukan. Ia meminta Tae Seok berusaha sendiri.
“Yang
lain hanya bukti situasi, jadi kalau aku mengendalikan mulut Lee Jong Man dan
Kim Hak Soo dengan baik, aku bisa lolos. Kejadian terburuknya, kalau aku muncul
di pengadilan aku bisa diputuskan tidak bersalah.” Jawab Tae Seok.
Sebagai
balasannya, pada rapat pemegang saham selanjutnya, pecat Do Hae Gang, dan
jadikan Jin Eon penggantinya.” Ucap Presdir Choi.
“Apa?
Lalu bagian R&D?” tanya Tae Seok.
“Buat
dia memegang dua jabatan.” Jawab Presdir Choi.
“Untuk
memeriksa aku, kau menaruhnya di jabatan Wakil Presdir?” tanya Tae Seok.
“Bajingan
yang membeli saham kita, cepat buat dia berada di pihak kita.” jawab Presdir
Choi.
“Kau
ingin memberikannya pada Adik Ipar? Adik Ipar tidak berada di pihakmu. Adik Ipar
sekarang sedang membantu Do Hae Gang. Dia berusaha melindungi Do Hae Gang
darimu dan membantunya secara diam-diam. Itu seperti menyuruh rubah menjaga
kandang ayam.” Ucap Tae Seok.
Jin
Eon berkata pada Hyun Woo bahwa ia akan menarik
Pudoxin dari pasaran. Ia juga sudah meminta Seok menyerahkan jurnal dan
catatan milik Kim Sun Yong, dan selanjutnya ia akan membandingkannya dengan
data milik mereka.
“Aku
dengar kita harus membayar biaya asuransi lebih dari ₩100 milyar. Kalau kita
mengakuinya, perusahaan akan terbelah dua.” Jawab Hyun Woo.
“Mari
kita lakukan.” ucap Jin Eon.
“Sebelum
itu terjadi, kau yang akan dipotong-potong oleh direktur.” Jawab Hyun Woo.
“Itu
sebabnya aku ingin menjadi Presdir dari grup perusahaan untuk pekerjaan ini. Pada
rapat pemegang saham, ajukan pemberhentian Presdir dari jabatannya. Karena aku
tidak bisa, kau yang melakukannya untukku. Dengan hasil pemalsuan tes klinis
Pudoxin.” Ucap Jin Eon.
“Kalau
mereka bertarung, kau pikir kau bisa menang?” tanya Hyun Woo.
“Bisa,
singkirkan akar yang busuk, daging yang terkontaminasi, semuanya. Mari kita
mulai ulang, Hyun Woo. Meski aku harus menggunakan uang pribadiku, aku akan
memberikan kompensasi kepada semua korban, jadi tidak perlu takut mengeluarkan
uang.” Jawab Jin Eon.
Tak
lama kemudian, Jin Eon menerima telepon dari rumahnya. Usai menerima telepon
itu, ia panic dan buru2 pergi. Namun sebelum pergi, ia meminta Hyun Woo
menggantikannya memimpin rapat. Ia memberitahu Hyun Woo bahwa ibunya sudah
menghilang 4 jam.
“Jadwal
ulang pertemuan pagi ini untuk tim klinikal untuk besok pada jam yang sama.”
Ucap Jin Eon.
Setibanya
di rumah, Jin Eon langsung disamperin Jin Ri. Jin Ri mengaku bahwa ia sudah
menelpon polisi. Jin Eon pun bergegas pergi untuk mencari ibunya, namun Jin Ri
menahan langkahnya dan menanyakan kabar Tae Seok, tapi Jin Eon tidak menjawab
dan bergegas pergi untuk mencari ibunya.
Jin
Eon menyusuri sepanjang jalanan. Ia berlari kesana kemari tapi tak jua
menemukan ibunya. Ia memeriksa toilet umum, juga masuk ke sebuah toko tapi tak
menemukan ibunya di sana. Setelah berlari kesana kemari selama beberapa menit,
ia akhirnya menemukan ibunya yang duduk dibalik stand makanan sambil mengunyah
makanan.
Nyonya
Hong menatap Jin Eon, tapi Nyonya Hong bersikap seolah2 Jin Eon adalah orang
asing. Jin Eon berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya. Nyonya Hong memesan
sebungkus makanan lagi. Jin Eon bergegas melepas jaketnya dan memakaikan
jaketnya ke tubuh sang ibu.
“Apa
ibu menungguku? Dulu, aku tidak suka kalau ibu menungguku di dekat gerbang
sekolah. Aku berpura-pura tidak melihat ibu, tapi aku berterima kasih. Bahwa
ibu sudah menungguku. Ibu masih menungguku. Mulai sekarang, aku akan terus
bersama ibu, jadi ibu tidak perlu menunggu di udara dingin lagi. Aku tidak akan
pergi meninggalkan ibu. Aku tidak akan pergi kemanapun, jadi aku tidak akan
membuat ibu menunggu.” Ucap Jin Eon sambil merapatkan jaket sang ibu.
Nyonya
Hong hanya menatap Jin Eon dengan bingung. Jin Eon lantas melirik kaki ibunya.
Karena sang ibu hanya mengenakan sandal dan sebelah kaus kaki, Jin Eon pun
memutuskan menggendong ibunya sampai mereka mendapatkan taksi agar sang ibu
tidak keinginan.
“Ibu
tidak boleh sakit. Ibu tidak boleh sakit, mengerti?” ucap Jin Eon.
“Aku
lelah.” Jawab Nyonya Hong.
“Benarkah?
Tidurlah.” Ucap Jin Eon.
“Terima
kasih, Hyeon Soo-ya.” jawab Nyonya Hong.
Mendengar
sang ibu memanggilnya dengan nama Hyeon Soo, tangis Jin Eon nyaris pecah, tapi
lagi2 ia berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak pecah.
Jin Eon
menatap ibunya yang sudah tertidur dengan tatapan lirih. Tak lama kemudian, Jin
Ri datang dan menyuruh Jin Eon mencari rumah sakit karena kesehatan sang ibu
akan semakin memburuk.
“Kalau
kau ragu dengan fasilitasnya, maka kirim dia keluar negeri. Karena tidak bisa
kalau jauh, kirim dia ke rumah sakit di Jepang, kau bisa sering-sering
menemuinya.” Ucap Jin Ri.
“Aku
akan mengeluarkan perabotannya, hanya tinggalkan tempat tidur dan keluarkan
semuanya.” jawab Jin Eon.
“Mungkin
lebih baik dia menderita alzheimer, dia tidak perlu menyaksikan kekacauan ini. Meski
Do Hae Gang mengasah pisaunya, ayah tidak akan ditahan kan? Berapa banyak yang
sudah diberikannya kepada jaksa selama ini? Semuanya berantakan, keluarga kita,
perusahaan, semua karena Do Hae Gang. Apa aku bilang? Aku bilang dia kembali
untuk balas dendam.” Ucap Jin Ri.
“Jaga
ucapanmu, itu bukan karena Hae Gang, tapi karena ayah dan kakak ipar.” Jawab
Jin Eon.
“Dia
seharusnya tidak melakukannya saat kau ada di sini. Dia seharusnya tidak
berbuat sejauh ini. Dia mengungkapkan kesalahan perusahaan, ayah dan kakak
iparmu. Dia sedang berusaha menelan perusahaan sendirian sekarang. Kau
seharusnya tida berada di pihaknya, bukankah kau bagian dari keluarga kita? Yang
perlu kau lindungi sekarang bukanlah Do Hae Gang yang baik-baik saja, tapi rumah
kita yang akan hancur, kau harus melindungi perusahaan kita!” ucap Jin Ri.
Jin
Eon pun menatap noona-nya itu dengan tatapan nanar.
“Diamlah,
Noona. Apa kau tidak melihat ibu sedang tidur? Apa kau tidak melihat ibu sedang
sakit? Kenapa kau seperti itu? Kenapa semua orang menjadi seperti itu?” ucap
Jin Eon.
Jin Ri
pun mengalah dan memilih pergi.
Yong
Gi lagi minum soju sama eonni nya. Hae Gang berkata, kalau ia ingin
menghabiskan waktu bersama Woo Joo besok. Yong Gi setuju, ia mengizinkan Hae
Gang membawa Woo Joo jalan2, karena besok ia akan mengunjungi kuil tempat nenek
mereka dimakamkan.
“Tapi,
kau memesan tiket untuk kelas bisnis. Hei, berapa itu harganya? Apakah kelas
bisnis cocok untukku? Seseorang harus hidup sesuai kemampuannya. Kalau aku
duduk di sana, aku akan mual selama 4 jam, jadi aku akan menggantinya dengan
kelas ekonomi.” Ucap Yong Gi.
“Ambil
sajalah, kalau kau duduk di kelas ekonomi, itu akan berbeda. Aku memesan tiket itu dengan poin.” Jawab Hae
Gang.
“Kalau
begitu itu gratis?” tanya Yong Gi.
Hae
Gang membenarkan. Yong Gi pun langsung berseru senang. Ia bahkan bernyanyi
kecil, membuat eonni nya tertawa geli.
“Apakah
tidak apa-apa memberi barang-barangmu padaku seperti itu?” tanya Yong Gi.
“Karena
kita bersaudara.” Jawab Hae Gang.
“Karena
kita bersaudara. Benarkan? Kita ini saudara kan? Nona saudaraku, mari kita
minum dalam sekali tegukan. One shot! One shot! Kakakku, cepat, cepat!” ucap
Yong Gi.
Hae
Gang pun menegak sojunya dalam sekali teguk.
Aku
mencintaimu, Eonni.” Ucap Yong Gi, membuat senyum Hae Gang semakin merekah
lebar.
“Maaf,
karena menukar mobilmu dengan mobilku 4 tahun yang lalu. Karena kau hampir mati
gara-gara aku.” ucap Yong Gi lagi.
“Tidak
perlu. Malahan aku berterima kasih padamu, karena mengeluarkan diriku,
menyadarkan aku.” jawab Hae Gang.
“Woo
Joo, kaulah yang membuat dia terlahir kedunia ini. Benar, itu semua karena kau.”
ucap Yong Gi.
“Ada
dua tubuh di jagat raya yang saling tertarik dengan kekuatan. Aku untukmu, dan
kau untukku. Mari kita berpikir untuk saling berbagi, aku untukmu dan kau
untukku. Kita tidak tahu akan pergi kemana, tapi selama kita bersama, kita
tidak akan pernah berhenti.” Jawab Hae Gang.
“Saat
aku pergi ke Amerika, aku akan mengirimkan pesan telepati, jadi jangan merasa
kesepian.” Ucap Yong Gi.
“Kau
juga.” jawab Hae Gang.
Woo
Joo tidur bersama Nyonya Kim. Sambil memegangi tangan Woo Joo, Nyonya Kim
berkata bahwa Woo Joo pasti senang sekali karena besok akan berkencan dengan
Hae Gang. Tapi Woo Joo sama sekali tidak antusias. Ia justru terlihat cemas.
Woo
Joo : Tapi bibi tidak menyukaiku, nenek. Bagaimana kalau bibi lagi-lagi bilang,
"apa kau tidak akan pergi?”…
“Berikan
bibimu pelukan. Dan pegang tangan bibi dengan erat, dan berikan dia ciuman dan
berkediplah pada bibi dan kapanpun kau melihat bibi, banyak-banyaklah tersenyum
padanya, maka bibi tidak bisa berbuat apa-apa, selain menyayangi Woo Joo. Bagaimana?
Kau mau mencobanya?” jawab Nyonya Kim.
“Aku
benar-benar ingin membuat bibi menyayangiku, nenek.” Ucap Woo Joo.
“Baik,
pastikan kau melakukannya. Janji.” Jawab Nyonya Kim.
Sementara
Yong Gi tidur dengan Hae Gang. Hae Gang tidur di atas dan menatap langit2
kamarnya. Tak lama kemudian, Yong Gi datang membawa minuman. Melihat ekspresi
Hae Gang, Yong Gi pun penasaran dan bertanya kenapa Hae Gang memasang ekspresi
seperti itu. Menurutnya, Hae Gang seperti orang yang kehilangan lotre saja. Hae
Gang pun bangkit dari tidurnya dan duduk di kasur.
“Aku?”
tanya Hae Gang sambil menatap Yong Gi yang mulai berbaring di kasur bawah.
“Benar,
kau. Aku dengar ini adalah ruang belajar Choi Jin Eon, orang yang hampir
menjadi Kakak Iparku.” Ucap Yong Gi.
“Apa-apaan
itu, Choi Jin Eon? Hanya karena aku
memanggilnya Choi Jin Eon, apa artinya kau juga boleh memanggilnya begitu?”
protes Hae Gang.
“Lalu
aku harus memanggilnya apa? Hyeongbu? Choi Jin Eon-ssi? Choi Jin Eon-nim?
Sebenarnya usia dia sama denganku, kau tahu.” jawab Yong Gi.
“Apa,
dia?" protes Hae Gang lagi.
“Kapan
ulang tahunmu? Kau lebih tua daripada dia, benarkan?” tanya Yong Gi.
“Aku
rasa begitu.” jawab Hae Gang.
“Sejujurnya,
dia terlihat lebih tua daripada aku. Dia terlihat lebih tua daripada Seok dan
dia terlihat lebih tua daripada kita berempat, wajah tua, itulah dia.” ucap
Yong Gi.
Hae
Gang pun hanya menghela napas pelan.
“Apakah
lamaran yang kau dapatkan sudah berlalu?” tanya Yong Gi.
Hae
Gang mengangguk, mengiyakan.
“Kenapa?”
tanya Yong Gi.
“Kau
bilang untuk tidak hidup bersama pria yang sama dua kali, sepertinya kau benar.”
jawab Hae Gang.
“Jadi
maksudmu itu gara-gara aku? Aigoo, sejak kapan kau mendengarkan aku? Lalu kalau
aku menyuruhmu untuk hidup bersama dengannya lagi, kau akan melakukannya?”
tanya Yong Gi.
Hae
Gang lagi2 mengangguk.
“Apa-apaan
itu? Sebenarnya bagaimana perasaanmu?” tanya Yong Gi sebal sambil duduk di
kasurnya.
“Tidak
masalah apa yang aku pikirkan sekarang. Ada kenyataan yang membuat kami tidak
bisa bersama.” Jawab Hae Gang.
“Apa
kau merindukannya?” tanya Yong Gi.
Hae
Gang mengangguk.
“Dan
kau masih mencintainya?” tanya Yong Gi.
Hae
Gang kembali mengangguk.
“Tapi
kau tidak bisa bersamanya?” tanya Yong Gi. Hae Gang lagi2 mengangguk.
“Dia
belum mati dan tidak menghilang, jadi kenapa? Kau bisa menemuinya dalam
waktu 20 menit dengan mobil, jadi kenapa tidak? Dengan telpon kau bisa
mendengar suaranya, jadi kenapa? Kenapa menahannya? Untuk apa dan untuk siapa
kau menahannya? Kalau demi kebaikanmu, maka tahanlah. Kalau demi kebaikannya,
baik, maka tahanlah. Tapi kalau bukan karena itu, jangan menahannya. Kenapa?
Karena kalau kau mati, kau tidak akan bisa melakukannya. Kalau satu orang
menghilang, maka kau tidak bisa berbuat apapun.” Ucap Yong Gi.
Wajah
keduanya pun langsung berubah serius…
“Maaf.”
Ucap Hae Gang.
“Tidak
perlu. Bersatu sajalah. Saat kau bisa
bersama dengannya, lakukan saja.Bersatu saja dengannya dan cobalah menyelesaikannya.”
Jawab Yong Gi.
Yong
Gi lantas bercerita saat Kim Sun Yong meninggal, ia tidak tahu apapun.
“Bahwa
dia dalam kesulitan, bahwa hidupnya dalam bahaya. Meski dia mungkin
melakukannya demi aku, tetap saja itu terasa berat bagiku. Kalau saja dulu aku
tahu, kalau saja aku menyadarinya, mungkin aku bisa menyelamatkannya. Jangan
sampai kehilangan kebahagiaan yang ada di depan matamu. Karena tidak ada
kebodohan yang lebih besar daripada itu.” ucap Yong Gi.
Tangis
Yong Gi pun pecah. Ia memeluk lututnya, kemudian menyembunyikan wajahnya di
sela kedua lututnya. Hae Gang menatap iba Yong Gi, sebelum akhinya ia mendekati
Yong Gi dan memeluk Yong Gi dengan erat. Tangis Yong Gi semakin kencang dalam
dekapan sang kakak.
Keesokan
harinya, Jin Eon membawa sang ibu ke kantor polisi. Sang ibu jelas heran karena
dibawa ke sana oleh sang anak. Jin Eon pun berkata, bahwa mereka harus
mendaftarkan demensia sang ibu. Nyonya Hong terdiam. Jin Eon pun mengaku bahwa
ia sudah tahu penyakit yang diidap
ibunya.
“Ibu
sudah tahu kalau kau sudah mengetahuinya.” Jawab Nyonya Hong.
“Begitukah?
Siapa yang memikirkan siapa?” gumam Jin Eon.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Nyonya Hong.
“Aku
sudah mengetahuinya.” Jawab Jin Eon.
“Ibu
minta maaf.” Ucap Nyonya Hong.
“Sudahlah,
mari kita masuk dan mendaftar dulu. Kalau ibu melakukannya, aku bisa menemukan
ibu saat ibu tersesat dan berada di jalanan.” Jawab Jin Eon.
Yong
Gi yang duduk berdua di kamar dengan Woo Joo, menyuruh Woo Joo untuk memanggil
Jin Eon dengan sebutan Imobu, bukan Ahjussi. Woo Joo pun mengangguk.
“Kalau
begitu, ibu akan menelponnya dan kau lakukan sesuai perintah ibu.” Ucap Yong Gi
lagi.
Begitu
teleponnya tersambung, Yong Gi pun langsung menyuruh Woo Joo bicara dengan Jin
Eon.
“Imobu,
ini Woo Joo. Imobu sedang apa hari ini?
Sekarang hari sabtu, apa imobu pergi bekerja?” tanya Woo Joo.
“Hari
ini dan besok, ahjussi tidak akan bekerja, kenapa?” jawab Jin Eon.
“Kalau
begitu, bisakah kau berkencan denganku nanti?” tanya Woo Joo.
“Kencan?
Kau ingin berkencan dengan ahjussi?” tanya Jin Eon.
“Ya, aku
ingin berkencan dengan ahjus… imobu. Setelah tidur empat malam lagi, ibu dan
aku akan pergi ke Amerika. Aku hanya punya waktu hari ini saja. Meskipun imobu
sibuk, bisakah imobu berkencan denganku?” rengek Woo Joo.
“Kalau
begitu, ahjussi akan menjemputmu nanti jam 1.” Jawab Jin Eon.
Woo
Joo dan Yong Gi pun girang mendengarnya.
Nyonya
Hong akhirnya mendapatkan kartu identitas untuk pasien Alzheimer. Petugas
mengatakan, jika Jin Eon pergi ke pusat Alzheimer di Jongno-gu, maka Jin Eon
akan mendapatkan gelang untuk pasien Alzheimer yang dilengkapi dengan GPS. Jin
Eon mengangguk. Nyonya Hong kemudian mengajak Jin Eon sarapan. Jin Eon mengajak
sang ibu makan sup ikan segar.
Woo
Joo tampak menunggu Hae Gang di dalam kamar. Ia duduk dengan wajah tertunduk
lesu di kasur. Tak lama kemudian, Hae Gang datang membawakannya jaket.
“Apa
ibu dan nenek pergi keluar?” tanya Woo Joo.
Hae
Gang mengiyakan. Woo Joo pun semakin tak bersemangat.
“Woo
Joo, apa kau merasa tidak nyaman hanya berdua saja dengan bibi?” tanya Hae
Gang.
Woo
Joo mengangguk. Hae Gang kemudian duduk disamping Woo dan bertanya apa yang
harus mereka lakukan kalau mereka merasa canggung seperti itu. Woo Joo lantas
tersenyum pada Hae Gang. Hae Gang pun mengedipkan matanya pada Woo Joo. Woo Joo
tertawa lebar.
Hae
Gang lalu membantu Woo Joo memakai jaket. Dan Woo Joo pun tiba2 mendaratkan
ciumannya di pipi Hae Gang. Tangis Hae Gang seketika pecah. Dan Hae Gang pun
balas mencium pipi Woo Joo.
“Kenapa
bibi menangis?” tanya Woo Joo.
“Karena
Woo Joo cantik. Woo Joo sangat, sangat cantik.” Jawab Hae Gang dengan suara
bergetar.
Dan Woo Joo pun memeluk erat Hae Gang.
Hae
Gang dan Woo Joo lalu keluar kamar. Tiba2 terdengar suara bel. Hae Gang
terkejut melihat wajah Jin Eon di layar intercom nya. Sementara Woo Joo
tersenyum senang. Jin Eon pun sama kagetnya begitu ia tiba di dalam dan melihat
Hae Gang.
“Kenapa
kau ada di sini? Apa kau menginap di sini?” tanya Jin Eon.
“Bagaimana
dengan kau, sayang… maksudku kenapa Choi Jin Eon-ssi ada di sini?” tanya Hae
Gang.
“Aku
memanggil paman untuk berkencan bersama-sama. Tidak bisakah kita bertiga pergi
berkencan, bibi?” ucap Woo Joo.
Woo
Joo lalu memberikan senyum manisnya pada Jin Eon. Jin Eon yang tadinya terpaku
menatap Hae Gang, kini mengalihkan pandangannya pada Woo Joo. Hae Gang pun
bertanya, haruskah mereka pergi dengan mobilnya. Dan Jin Eon berkata, mereka
akan pergi dengan mobilnya.
Woo
Joo tak hentinya mencomblangi paman dan bibinya.
“Bibi
cantik yang sangat mirip dengan ibuku sangat mencintai paman sebanyak bibi
mencintai Woo Joo.” Ucap Woo Joo.
Hae
Gang pun kaget mendengarnya.
“Paman
tahu itu.” jawab Jin Eon sambil menatap Hae Gang.
“Kalau
begitu tinggalah bersama bibi dengan bahagia, dan penuh kasih sayang.” Ucap Woo
Joo.
“Apa?”
tanya Jin Eon sambil tersenyum.
“Kalau
paman terus hidup sendiri, paman akan menjadi... orang tua... atau kelihatan
lebih tua.” Jawab Woo Joo.
Hae
Gang pun tertawa geli.
“Aigoo,
anak-anak tahu tentang penuaan.” Gumam Hae Gang.
“Orang
tua dan terlihat lebih tua?” tanya Jin Eon.
Tawa
Hae Gang pun pecah. Jin Eon juga ikut tertawa. Keduanya lantas saling melirik,
dan juga tertawa.
Woo
Joo lalu melihat pertunjukan animasi ikan bersama paman dan bibinya.
“Itu
lumba-lumba Woo Joo-ya. Disebelah sana, di sana, cumi-cuminya paman.” Seru Hae
Gang.
“Oh. Itu
ikan punya bibi, itu sangat, sangat cantik. Seperti bibi, ikannya sangat,
sangat cantik.” Jawab Woo Joo.
Woo
Joo lalu meminta pendapat Jin Eon. Jin Eon pun membenarkan kalau ikan itu
cantik seperti Hae Gang.
Hae
Gang dan Jin Eon lalu mengajak Woo Joo melukis di atas pasir. Potret keluarga
bahagia, seperti itulah ketiganya terlihat. Usai melukis di atas pasir, mereka
pergi menonton pertunjukan topeng monyet. Setelah itu, mereka mengunjungi taman
bermain. Jin Eon dan Hae Gang tak lupa mengabadikan momen saat Woo Joo bermain
perosotan. Selang beberapa detik, Jin Eon dan Hae Gang pun kembali curi2
pandang.
Nyonya
Kim dan Yong Gi ada di sebuah boutique. Nyonya Kim tampak sibuk memilih2
beberapa mantel. Sementara Yong Gi menunggu dengan wajah bosan. Tak lama
kemudian, Nyonya Kim memanggil Yong Gi dan menyuruh Yong Gi mencoba mantel
pilihannya.
“Aku
sudah bilang aku tidak memerlukannya, kenapa kau terus menyuruhku...itu bukan
baju tapi beban. Tasku sudah penuh, jadi tidak ada tempat untuk barang lagi,
dan kau menghabiskan uangmu untukku... Kembalikan dan cepatlah keluar.” Ucap
Yong Gi.
“Kalau
begitu, biarkan ibu pergi bersamamu. Aku tidak bisa hanya mengirim kalian
berdua saja. Hanya sampai kau siap, lalu ibu akan kembali.” Jawab Nyonya Kim.
“Apa
yang akan kau lakukan dengan Eonni?” tanya Yong Gi.
“Ibu
akan pergi dan kembali lagi.” Jawab Nyonya Kim.
“Kau
tetaplah di sini, aku punya Woo Joo, tapi eonni... maksudku Dokgo Ong Gi dia
orang yang canggung. Dari luar dia terlihat sangat kuat tapi di dalamnya dia
selembut tahu. Mengatakan ingin pergi bersamaku sudah cukup bagiku. Terima
kasih sudah mengatakan itu.” ucap Yong Gi.
Gyu
Seok yang baru tiba di rumah, langsung menuju kamar Yong Gi. Karena tak ada
jawaban saat ia memanggil, ia pun akhirnya membuka pintu kamar Yong Gi dan
tertegun saat melihat koper dan tiket Yong Gi.
Yong
Gi keluar dari kamar pas. Ia terlihat sangat cantik dengan blazer pilihan sang
ibu. Tak lama kemudian, keduanya pun tersenyum haru satu sama lain.
Gyu
Seok sedang melihat tiket pesawat Yong Gi. Ia tampak berat melepaskan kepergian
Yong Gi dan Woo Joo ke Amerika.
Mobil
Jin Eon tampak melaju menuju rumah Hae Gang. Dari dalam, terdengar suara Hae
Gang dan Woo Joo yang tengah bernyanyi. Begitu mobil berhenti, mereka berhenti
bernyanyi dan Hae Gang pun memakaikan jaket merah itu ke Woo Joo. Jin Eon
kembali menatap Hae Gang. Hae Gang pun menatap Jin Eon, lalu keduanya saling
tersenyum satu sama lain.
“Bibi
tidak akan turun? Cepatlah, aku mau memperlihatkan hadiah paman dan bibi pada
ibu dan nenek.” Ucap Woo Joo.
“Baiklah,
bibi akan turun.” Jawab Hae Gang.
Ketiganya
pun turun dari mobil. Hae Gang dan Jin Eon pun kembali bersikap canggung.
Dengan mata berkaca2, Woo Joo mengucapkan salam perpisahan pada Jin Eon. Jin
Eon juga ikut berkaca2 mengucapkan selamat tinggal pada Woo Joo.
“Paman
sangat senang bertemu denganmu, Woo Joo. Karena Woo Joo, paman bahagia. Paman
akan bekerja keras untuk membuat obat supaya Woo Joo tidak sakit.Tunggulah
dengan berani seperti sekarang.” ucap Jin Eon.
Tangis
Woo Joo pecah. Woo Joo lalu memeluk erat Jin Eon. Hae Gang terharu menatap
mereka. Jin Eon lalu menyuruh Woo Joo masuk ke rumah karena cuaca yang semakin
dingin. Woo Joo pun mencium pipi Jin Eon, sebelum ia akhirnya masuk ke rumah.
Saat tiba di depan pintu, Woo Joo melambaikan tangannya ke Jin Eon. Hae Gang
menatap Jin Eon sejenak, sebelum akhirnya ia menutup pintu rumahnya.
Seol
Ri sedang mengikat dasi kakaknya agar sang kakak lebih mudah memakainya. Seok
lantas menatap penyangga lengannya dan berbicara sendiri.
“Kembalilah,
sadarlah, biarkan aku makan, biarkan aku memakai kaos kaki sendiri. Karena kau,
aku tidak bisa mengikat tali sepatuku.” Ucap Seok.
“Kau
merasa sangat frustasi, benarkan?” tanya Seol Ri.
“Itu
adalah serangan tangan kanan, siapa yang membayangkan bajingan ini mengendalikan
hidupku seperti ini.” jawab Seok.
Seok
lalu mengumpat penyangga tangannya.
“Kau
bajingan hebat, sekarang tolong kembalilah, toilet kita bukan perlengkapan
seperti yang kau tahu. Karena kau, aku tidak bisa makan sebanyak yang aku mau.”
ucap Seok.
“Ah, jinja!”
rutuk Seol Ri sambil menatap aneh sang kakak.
“Kenapa?
Kau merasa kotor? Bagimu itu kebersihan, bagiku itu bertahan.” Ucap Seok.
“Lagipula
kau memiliki hati yang kuat, kau terlahir dengan mental yang kuat.” Jawab Seol
Ri.
“Terima
kasih sudah mengikatkan dasiku.” Ucap Seok.
“Kalau
aku mengenalkan seorang wanita padamu, apa kau akan menemuinya?” tanya Seol Ri.
Seok
terdiam.
“Mungkinkah
kau masih menunggunya? Kalian berdua sudah terpisah.” Ucap Seol Ri.
“Kenalkan
padaku.” Jawab Seok.
“Jinja?”
tanya Seol Ri. Seok pun mengangguk.
“Jangan
berubah pikiran, Oppa.” Jawab Seol Ri.
Setelah
mengatakan itu, Seol Ri pun beranjak pergi. Setelah Seol Ri pergi, Seok
langsung menatap ke arah fotonya bersama Hae Gang ketika mereka main pistol air
saat Hae Gang masih menjadi Yong Gi. Seok kemudian mengambil foto itu dan
menyimpannya di laci.
Tuan
Baek marah2 saat membaca artikel tentang tuntutan Pudoxin. Seol Ri yang melihat
ayahnya itu marah2 pun penasaran dan bergegas mendekati sang ayah. Rupanya yang
membuat Tuan Baek kesal karena di dalam artikel itu tidak diceritakan tentang
Kim Sun Yong ataupun Moon Tae Joon sedikit pun. Tuan Baek juga kesal karena
artikel itu memuji2 keampuhan Pudoxin dalam mengobati asam lambung.
“Ini
memang sudah bisa kami duga. Itu sebabnya Oppa dan Do Hae Gang mengungkapkan
catatan Kim Sun Yong di pengadilan dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Untuk
mengungkapkan kebenaran dengan penyelidikan kejaksaan.” Jawab Seol Ri.
“Ayah
sangat marah membaca ini, jadi ayah akan mengukus mandu saja.” Ucap Tuan Baek,
kemudian bangkit dari duduknya.
“Ayah
mau pergi ke toko? Ada berita di internet yang memberitahu secara detil tentang
persidangan, periksalah Y-Media. Meskipun memakan waktu lama, semuanya pasti
akan terungkap ayah. Dia akan segera
tertangkap, dia pasti akan tertangkap!” jawab Seol Ri.
Di
kamarnya, Tae Seok sedang berbicara dengan seseorang.
“Selesaikan
masalahmu dan cepatlah pergi keluar negeri. Kalau dia tahu Presdir Choi dan aku
menjadi satu tim, dia akan segera menyerahkan rekaman suara itu kepada jaksa. Kalau
kau tertangkap, maka aku tamat, maka jangan sampai tertangkap, mengerti? Kalau
kau percaya diri bisa tidak menyebutkan namaku, baru kau boleh tertangkap,
mengerti?” ucap Tae Seok.
Jin Ri
kemudian masuk, dan Tae Seok memberitahu Jin Ri kalau Presdir Choi lah yang
akan mengurus rekaman suaranya soal hasil tes klinis palsu Pudoxin juga
pembunuhan berencana Moon Tae Joon dan si kembar. Namun Jin Ri hanya menatap
sebal Tae Seok saja.
“Itu
bukan kebohongan, itu benar-benar terjadi. Jaksa Korea tahu bagaimana caranya
bekerja. Saat aku terlahir kembali, aku akan lahir di Korea.” Ucap Tae Seok.
Jin Ri
pun menyuruh Tae Seok turun ke bawah. Jin Ri berkata bahwa Presdir Choi dapat
panggilan dari kejaksaan. Tae Seok terkejut.
“Aku pikir masalah ayah sudah selesai.” Ucap
Tae Seok.
“Kalau
begitu, pasti masalahnya belum selesai. Dan dia tidak memberikan kita
pendahuluan terlebih dulu, tiba-tiba saja ada telpon tadi pada jam 10. Ini
tidak bisa dinegosiasikan terlebih dulu, tapi bersifat perintah, situasinya mungkin
kebalikannya. Apa ada sesuatu yang kau ketahui?” tanya Jin Ri.
“Daftar
suap.” Jawab Tae Seok.
“Aku
melihat kau memberikan sesuatu pada Jin Eon saat Jin Eon berbicara kasar waktu
kita sarapan. Itu tidak mungkin menusuk matamu sendiri, benarkan?” ucap Jin Ri.
Jin Ri
lalu menirukan kata2 Jin Eon saat di meja makan kemarin."Aku akan
melupakan permohonan pemberhentian, jadi pakaikan pelampung padanya."
“Jin
Eon mengatakan itu, jadi apa perjanjianmu dengannya?” tanya Jin Ri.
“Daftar
suap, daftar pengaturan jaksa.” Jawab Tae Seok.
“Kalau
ayah tahu, apa dia akan berusaha menyelamatkanmu?” sindir Jin Ri.
“Tutup
mulutmu, mengerti? Aku berada di es yang kecil. Dimana-mana ada ranjau, kalau
aku salah melangkah, aku akan segera mati.” Ucap Tae Seok.
“Bukannya
kau memang sudah salah langkah?” tanya Jin Ri.
“Ayah
masih belum mengetahuinya. Dan jaksa tidak akan mengakui dengan mulutnya
sendiri. Adik Ipar dan Do Hae Gang tidak akan menunjukkan rencana mereka pada
ayah. Ayah memerluka kita. Jadi jaga ekspresi wajahmu dan mari kita mencoba
melewati ini dengan tenang.” Jawab Tae Seok.
Nyonya
Hong yang sedang membantu Presdir Choi berpakaian tampak cemas karena suaminya
itu lagi2 dipanggil orang kejaksaan. Namun Presdir Choi meyakinkan istrinya
kalau tidak akan terjadi apa2.
Presdir
Choi dan Nyonya Hong pun keluar dari kamar. Setibanya diluar, Tae Seok yang
sudah menunggu sedari tadi meyakinkan Presdir Choi tidak akan terjadi apa2.
“Melihat
pemanggilan tiba-tiba ini untuk menghindari media, mereka tidak punya keinginan
untuk menyelidiki. Jangan khawatir dan kembalilah dengan nyaman.” Ucap Tae
Seok.
Tiba2,
Jin Eon datang dan mengajak sang ayah pergi bersama. Presdir Choi ingin
tahu alasannya kenapa ia harus pergi
dengan Jin Eon. Jin Eon menjawab dengan tenang karena dirinya adalah anak
Presdir Choi. Presdir Choi tertegun.
“Sampai
penyelidikannya selesai, aku tidak akan beranjak dari kursiku dan akan
menunggumu. Ayah aku masih belum menyerah pada ayah. Jadi, supaya aku bisa
hidup sebagai anakmu sampai akhir, tolong jangan menyerah padaku.” Ucap Jin
Eon.
Jin
Eon lalu mengajak sang ayah pergi. Jin Ri terlihat kesal mendengar kata2 Jin
Eon. Sementara Tae Seok? Dia hanya berdiri mematung.
0 Comments:
Post a Comment