Hae Gang masuk ke kamar Jin
Eon untuk menemui Jin Eon. Jin Eon berkata, bahwa ia tidak ingin membagi
bebannya dengan Hae Gang. Karena ia mencintai Hae Gang, ia tidak bisa
melakukannya.
“Menikah itu bukan
main-main.” Ucap Jin Eon.
“Aku sudah berubah.” Jawab
Hae Gang.
“Ara/aku tahu. Tapi aku
juga sudah berubah.” Jawab Jin Eon.
“Jika Ibuku yang mengidap
demensia, apakah kau juga akan berkata demikian? Karena pernikahan merupakan
realita, akankah kau meninggalkanku, berkata kita tak bisa melakukannya
bersama? Akankah kau mengatakannya kalau begitu?” tanya Hae Gang.
Dan Jin Eon pun terdiam.
“Lihat? Bukan aku,
melainkan dirimu yang tidak berpikir dengan semestinya. Sekarang aku tidak
hanya mencintai orangnya, Choi Jin Eon. Rasa sakit pria itu, penderitaan,
kesedihan dan hidupnya, aku cinta semuanya. Saat umurku 20 tahun, melihat
cintamu, aku memilihmu. Tapi kini, aku melihat segalanya dan aku memilihmu, jadi
cobalah percaya padaku. Aku akan menunggu lamaranmu.” Ucap Hae Gang.
Hae Gang lantas mendekati
Jin Eon, ia memegang wajah Jin Eon dengan kedua tangannya.
“Tidur yang nyenyak,
Kekasihku.” Ucap Hae Gang.
Hae Gang lalu beranjak
pergi, keluar dari kamar Jin Eon. Dan Jin Eon, ia speechlees. Tidak tahu harus
berkata apa.
Hae Gang tidur di kamar
Nyonya Hong. Nyonya Hong sudah mulai tertidur. Sedangkan Hae Gang masih
terjaga. Tiba2 saja, Nyonya Hong gelisah dalam tidurnya. Hae Gang pun menepuk2
lengan Nyonya Hong untuk menenangkan Nyonya Hong. Seketika itu juga, Nyonya
Hong pun tenang dan kembali tidur pulas.
Keesokan harinya… Jin Eon
sedang bersiap2 di kamarnya. Tak lama kemudian, Hae Gang datang membawakan
segelas juice untuk Jin Eon. Jin Eon pun tersenyum. Jin Eon lalu bertanya apa
Hae Gang tidur dengan nyenyak.
“Aku tidur sangat nyenyak
dari yang sudah-sudah selama ini.” jawab Hae Gang.
“Bagaimana dengan Ibu?”
tanya Jin Eon.
“Ibu Mertua juga tidur
nyenyak. Perawat Sohn baru saja datang, jadi dia memperlihatkan padanya kamar
yang akan ditempatinya. Cepat minum ini. Ibu Mertua menyuruhku agar berdiri
mengawasi dan memastikan agar membawa gelas kosong.” Jawab Hae Gang.
Jin Eon mendesis pelan,
lalu meminum juice nya. Hae Gang terus menatap Jin Eon, sambil tersenyum. Jin
Eon yang menyadari Hae Gang terus menatapnya sedari tadi ingin tahu kenapa Hae
Gang terus menatapnya.
“Bukan apa-apa.” Jawab Hae
Gang.
“Apanya yang bukan apa-apa?
Kau bahagia atau sedih?” tanya Jin Eon.
“Dua-duanya.” Jawab Hae
Gang.
Hae Gang lalu melirik dasi
Jin Eon yang tergeletak di kasur.
“Kau akan memakai ini? Akan
kupasangkan untukmu.” Ucap Hae Gang.
Jin Eon terpana melihat Hae
Gang yang sibuk memasangkan dasi untuknya. Usai memasang dasi Jin Eon, Hae Gang
menatap Jin Eon. Ia pun bingung mendapati Jin Eon tengah menatapnya. Jin Eon
kemudian mengelus rambut Hae Gang, lalu menarik Hae Gang ke dalam pelukannya.
“Kau bahagia atau sedih, dangsin?”
tanya Hae Gang.
“Dua-duanya. Akankah kita
dapat berbahagia lagi? Akankah aku dapat membuatmu bahagia? Meskipun
kebahagiaan ini akan hancur pada akhirnya. Aku akan membuatmu sedih lagi. Hae
Gang, untukmu, aku ingin melindungi cinta kita yang begitu sulit. Aku takkan menghancurkannya lagi.” Jawab Jin
Eon.
Hae Gang kemudian
melepaskan dirinya dari pelukan Jin Eon, lalu menatap Jin Eon.
“Tidak akan mudah hancur. Uri
sarang eun. Karena kita menemukannya lagi dengan begitu sulit, aku takkan
membiarkannya terjadi. Aku akan membuatmu bahagia. Kau bisa beristirahat
sekarang, oke?” ucap Hae Gang.
Hae Gang kemudian pergi,
tapi tak lama kemudian ia datang membawa kamera dan memotret Jin Eon.
“Kau sudah menua, Choi Jin
Eon. Hei, mengapa kau jadi begitu tua?” ucap Hae Gang saat melihat hasil
jepretannya.
“Kau akan memulainya
pagi-pagi?” tanya Jin Eon.
“Lihatlah fotomu, aku bisa
lihat kau sudah menua.” Jawab Hae Gang kemudian memperlihatkan hasil jepretannya
pada Jin Eon.
“Meskipun aku mencintai
Choi Jin Eon muda, aku lebih mencintai Choi Jin Eon yang lebih tua. Maukah kau
mengambilnya untukku lagi? Penampilanku yang menua. Penampilanku yang cuma kau
tahu, aku saja tidak tahu.” ucap Hae Gang, membuat Jin Eon tertegun.
Jin Ri yang baru pulang
terkejut melihat Hae Gang di rumahnya. Dengan dinginnya, ia bertanya, kau tidur
di sini? Hae Gang membenarkan. Jin Ri bertanya lagi, di kamar Jin Eon?
“Tidak, aku tidur bersama
Ibu Mertua.” Jawab Hae Gang.
“Apa? Tidur dengan siapa?”
tanya Jin Ri tidak percaya.
“Dia sangat khawatir. Ibu
Mertua sangat khawatir. Dia bahkan menghubungi hotel tempatmu menginap. Dan dia
gelisah sepanjang waktu sampai dia menghubungi mereka tadi pagi.” Jawab Hae
Gang.
“Ibu Mertua? Ibu Mertua
siapa? Kau sudah menutupi wajahmu dengan beton. Berani sekali kau berkata Ibu
Mertua? Di mana ini sampai-sampai kau punya nyali jalan berkeliaran? Keluar.
Pergi selagi aku mengatakannya. Sebelum kusiramkan air selokan padamu, enyah
dari sini. Aku bahkan tidak kuat berkelahi denganmu. Aku sudah melepaskan
pencarian, dan aku sudah melepaskan suamiku. Aku lepaskan semuanya. Jadi jika
kau memiliki nurani setidaknya seukuran mata anak ayam,maka singkirkan muka
tembok itu dari penglihatanku, ya?” ucap Jin Ri.
“Terlalu dini melepaskan
pencarian. Jika mereka tak dapat menemukan jasadnya, dia akan menjadi orang
hilang dan dicari. Bila polisi berhenti mencari, maka setidaknya hubungi
penyelam swasta. Mereka harus menemukannya pada akhirnya.” jawab Hae Gang.
Jin Ri terkejut, Apa? Penyelam
swasta?
Jin Ri kemudian pergi, tapi
hanya sebentar. Ia pergi hanya untuk mengambil garam. Ia melemparkan garam itu
ke Hae Gang.
“Dasar pembawa sial! Kau
sungguh, benar-benar pembawa sial! Pergi! Pergi! Tolong pergi saja! Aku benci
melihatmu jadi pergilah. Kataku keluar!!” teriak Jin Ri.
Tepat saat itu, Nyonya Hong
keluar dari kamar bersama Perawat Sohn
“Kau tak bisa
menghentikannya? Hentikan itu, Choi Jin Ri! Betapa buruknya tampang itu
pagi-pagi! Menurutmu kau bisa memulai ini karena Ayahmu sudah tidak ada? Apakah
aku tampaknya menggelikan bagimu? Memangnya aku bukan orang dewasa?” ucap
Nyonya Hong.
“Jika kau tak ingin
kelihatan menggelikan, maka bertingkahlah dengan semestinya, Ibu Tiri! Buat
keputusan yang tepat, kataku. Meskipun pikiranmu datang dan pergi. Dialah orang
yang menghabisi suamimu. Mengapa Ayah ambruk? Menurutmu gara-gara siapa Ayah
menjadi penjahat yang ditahan dan ditangkap dalam semalam? Apakah kau tak tahu
dia ambruk lantaran tekanan itu? Kau lupa? Suami Ibu Tiri kena serangan jantung
gara-gara dia. Gara-gara orang jahat seperti dia!” jawab Jin Ri.
Nyonya Hong yang kesal
dengan tuduhan Jin Ri, menyuruh Perawat Sohn mengambil ponsel Presdir Choi. Jin
Ri pun bingung kenapa ibu tirinya menyuruh Perawat Sohn mengambil ponsel
ayahnya.
“Orang yang membuat suamiku
ambruk bukan Hae Gang. Suamimu. Menantu Min. Suamimu mengirimkan SMS sebelum dia
tewas. Kurasa jantung ayahmu kumat setelah melihat SMS itu. Tampaknya seperti
itulah kejadiannya.” Ucap Nyonya Hong.
Hae Gang kaget
mendengarnya. Perawat Sohn datang membawa ponsel Presdir Choi. Nyonya Hong pun
langsung menunjukkan sms ancaman yang dikirimkan Tae Seok pada Presdir Choi.
Jin Ri langsung diam setelah membaca sms itu. Nyonya Hong lantas mengajak
Perawat Sohn sarapan.
Hae Gang mendekati Nyonya
Hong yang sedang sarapan. Nyonya Hong menanyakan Jin Eon. Hae Gang bilang kalau
Jin Eon sedang menerima telepon dari seseorang, dia akan turun setelah itu.
“Beri dia sarapan sebelum
pergi. Dia akan makan jika kau menyuruhnya.” Ucap Nyonya Hong.
“Katanya dia ada rapat. Kupikir
aku hanya akan mengantarkannya tanpa sarapan hari ini.” jawab Hae Gang.
“Dan Jin Ri, bawakan dia
bubur abalone. Dia akan memakannya jika kau bawakan.” Ucap Nyonya Hong.
Jin Ri kembali ke kamarnya dengan
keadaan terguncang. Ia tak menyangka bahwa suaminya lah pencetus kumatnya
jantung ayahnya. Tak lama kemudian, Jin Ri meraih ponselnya dan menghubungi Tae
Seok. Tae Seok terkejut saat mendengar Jin Ri membacakan ulang isi sms yang
dikirimnya untuk Presdir Choi.
“Kau yang menghabisinya.
Kau tahu? Kau membunuh Ayahku, Min Tae Seok. Ayahku terlambat ditemukan, jadi
dia tewas padahal dia bisa diselamatkan. Kau bahkan tak bisa mati. Kau bahkan
tidak berniat mati. Gara-gara pertunjukan bunuh dirimu, aku dan Jin Eon berada
di kantor polisi saat itu.” ucap Jin Ri.
“Mianata. Mianata, Jin Ri-ya. Aku juga tak tahu akan menjadi
seperti itu. Aku tak menyangka dia jadi terkejut karena SMS itu... Kalau
begitu, sungguh? Apakah dia benar-benar pingsan gara-gara melihat SMS itu?
Benarkah?” jawab Tae Seok.
“Kau merasa lega? Kau
merasa lega setelah membalaskan dendam ayahmu? Bagaimana bisa kau hidup 30
tahun hanya untuk balas dendam itu? Apakah itu manusia? Kau manusia?” ucap Jin
Ri.
Jin Ri lalu mengakhiri
pembicaraan mereka. Ia benar2 kecewa mengetahui fakta suaminya lah pembunuh
ayahnya. Jin Ri kemudian melepaskan jaketnya, lalu beranjak ke kamar mandi.
Saat itulah, Hae Gang masuk ke kamar Jin Ri membawakan bubur abalone. Tepat
saat itu, ponsel Jin Ri berbunyi. Satu SMS masuk, Hae Gang pun terhenyak
membaca SMS yang dikirimkan oleh Tae Seok itu.
“Itu bukan pertunjukan, maaf. Aku tulus. Aku tak
bisa menceraikanmu sekarang meskipun ingin. Aku hanya bisa memohon ampun
darimu. Maafkan aku. Kumohon.”
Jin Eon keluar dari
kamarnya dan melihat Hae Gang di ruang tengah. Begitu mendengar suara Jin Eon,
Hae Gang yang tengah melamun memikirkan Tae Seok sembari memegang ponselnya pun
terkejut dan langsung menatap Jin Eon.
“Kau sudah melihat Ibumu?”
tanya Hae Gang.
“Ya, sekarang dia sedang
belajar (permainan) Go-Stop dari Perawat Sohn.” Jawab Jin Eon.
“Apa, Go-Stop? Itu akan
membantu menghabiskan waktu. Dan akan membantu menyibukkan pikirannya.” Ucap
Hae Gang.
Jin Eon mengangguk.
Hae Gang lantas ingin
memberitahu Jin Eon bahwa Tae Seok masih hidup. Namun ia tampak ragu. Dan pada
akhirnya, ia tidak jadi memberitahu Jin Eon dan malah berkata bahwa ia
mencintai Jin Eon.
“Apa?” tanya Jin Eon.
“Berhentilah pura-pura
tidak dengar. Aku hanya akan mengatakannya sekali dalam sehari.” Jawab Hae
Gang.
Hae Gang lantas merangkul
lengan Jin Eon dan ingin mengantar Jin Eon sampai pintu depan. Tapi Jin Eon
meminta Hae Gang mengantarnya hanya sampai serambi pintu saja. Begitu sampai di
serambi pintu, Hae Gang merapikan dasi
Jin Eon. Tepat saat itu, Nyonya Hong keluar dari kamarnya dan termenung melihat
kemesraan keduanya.
Di tempat persembunyiannya,
Tae Seok menerima panggilan dari seseorang. Ia terkejut karena orang itu tak
mengatakan sepatah kata pun, dan menutup teleponnya begitu saja.
Hae Gang yang menghubungi
Tae Seok menggunakan telepon milik kantor developer. Si pemilik kantor
developer merasa seseorang yang dihubungi Hae Gang tadi tidak akan
menghubunginya kembali, namun Hae Gang sepertinya yakin kalau Tae Seok akan
segera menghubungi kantor developer itu
Dan, dugaan Hae Gang itu
benar! Telepon di kantor developer itu seketika berdering setelah mereka
menunggu selama beberapa menit. Tae Seok menghubungi mereka dari telepon umum.
Tae Seok terkejut mengetahui yang menghubunginya tadi adalah seorang developer.
Hae Gang pun mulai menyalakan alat perekamnya.
“Siapa ini? Anak sekolah
dasar, ya? Bagaimanapun, aku tidak ada bisnis jadi rasanya sebal.Jika aku menangkapmu,
tamat riwayatmu.” Pancing si developer.
Dan, berhasil! Tae Seok
akhirnya bicara. Hae Gang pun terkejut.
“Maaf, tapi satu jam yang
lalu, Anda menghubungi nomor 010-186-2455?” tanya Tae Seok.
“Saya tidak menghubungi.”
Ucap si developer.
“Adakah orang lain di
kantor pengembang perumahan itu?” tanya Tae Seok.
“Saya sendirian di sini. Karena
perekonomian sangat buruk. Apakah pelanggan yang menghubungi?” ucap si
developer.
“Pelanggan? Pelanggan seperti
apa? Wanita atau pria?” tanya Tae Seok panik.
“Cuma pasangan pengantin
baru biasa.” Ucap si developer.
Hae Gang lantas memberi si
developer kode untuk menyudahi pembicaraan. Si developer pun langsung mematikan
teleponnya dan Hae Gang menyudahi rekamannya. Hae Gang kemudian berterima kasih
atas bantuan si developer.
Hae Gang pun bergegas ke
kantor polisi, namun setibanya di sana, ia malah urung melaporkan temuannya
pada polisi lantaran teringat kata2 Jin Ri.
“Apa kau bisa memaafkanku jika aku melakukan hal
yang sama pada Jin Eon?” tanya Jin Ri.
Kini, Hae Gang duduk
melamun di kamar sambil memikirkan Tae Seok dan Jin Ri. Tiba2, ponselnya
berdering. Telepon dari Jaksa Kim. Jaksa Kim memberitahu Hae Gang bahwa sidang
pertama akan segera dimulai, tapi dirinya terusik karena tidak bisa mengunjungi
pemakaman Presdir Choi.
“Karena banyak orang yang
mengawasi, aku yakin Ayah Mertua akan mengerti.” Jawab Hae Gang.
“Pada akhirnya, kau
sendirian di ruang sidang sekarang.” ucap Jaksa Kim.
Hae Gang hanya berkata, Ya.
“Sebelum menerima
hukumanmu, aku ingin memastikan pikiranmu. Daftar suap sudah selesai untuk
selama-lamanya sekarang, oke?” tanya Jaksa Kim.
“Ya. Kau tak perlu
khawatir.” Jawab Hae Gang.
“Kau bilang agar dilakukan
secara adil hanya dengan memandang kasusnya. Aku berpikir hukumannya sekitar 1
tahun 8 bulan. Siapapun yang mengambilnya, hukumannya akan 1 tahun 6 bulan
sampai 2 tahun.” Ucap Jaksa Kim.
“Aku menyadarinya. Tuntutlah
hukuman seperti caramu sendiri.” Jawab Hae Gang.
“Bagaimanapun, kau tidak
akan dipenjara melainkan dibebaskan dengan masa percobaan, jadi aku tidak
merasa terbeban. Jika kau benar-benar tidak beruntung dan memperoleh hakim yang
buruk, kau harus siap-siap menghadapi hukuman penjara 3 bulan. Tapi itu hukuman
mutlak terburuk.” Ucap Jaksa Kim.
“Jika kau sudah
menyampaikan semua yang harus kau sampaikan, maka aku akan sudahi teleponnya
sekarang. Kalau begitu, sampai bertemu di sidang kedua.” Jawab Hae Gang.
“Daftar suap, apakah memang
hanya diketahui dirimu dan mendiang Presdir ?” tanya Jaksa Kim.
“Tidak.” Jawab Hae Gang.
Jaksa Kim pun panic, apa maksudmu, tidak? Lalu siapa lagi yang
tahu? Kau bercanda sekarang? Ini sebabnya aku menghubungi padahal tidak perlu! Siapa
dia? Siapa lagi yang tahu?
“Daftar itu. Aku
menerimanya dari Presiden Min Tae Seok.” Jawab Hae Gang.
“Kau bicara soal Presiden
Min Tae Seok yang melakukan bunuh diri?” tanya Jaksa Kim.
“Ya.” jawab Hae Gang.
“Sampai bertemu di ruang
sidang.” Ucap Jaksa Kim, lalu menutup teleponnya.
Selesai berbicara dengan
Jaksa Kim, Hae Gang pun kembali melihat rekaman suara Tae Seok di ponselnya.
Seok yang lagi makan siang
bareng Ha Joon, tampak kesulitan memotong lauk dagingnya. Tanpa berkata apapun,
Ha Joon pun meletakkan potongan daging miliknya ke sendok Seok. Seok tersenyum,
lalu mengucapkan terima kasih. Tak lama kemudian, ponselnya berdering dan Seok
lagi2 kesulitan mengambil ponselnya. Ha Joon dengan sigapnya membantu Seok
mengambil ponsel.
“Ada apa? Kau duluan yang
menghubungi. Bagaimana perasaanmu? Kalau begitu suasana hatimu? Kau sudah makan
siang? Makanlah bersamaku. Aku juga belum makan. Kau ingin makan apa? Apa yang
harus kuberikan padamu agar seleramu kembali? Baiklah. Kalau begitu datanglah
sekitar jam 4. Aku ada sidang.” Ucap Seok.
Ha Joon pun tampak sebal
mendengar Seok berbicara di telepon dengan seseorang.
Jin Eon berdiri menyender
ke mejanya sambil memejamkan mata. Hyun Woo hanya bisa diam menatap Jin Eon.
Mereka tak hanya berdua di ruangan Jin Eon, tapi juga bersama para dewan
direksi. Dewan direksi terlihat kesal. Ya, jelas saja! Karena mereka tidak
setuju dengan ide Jin Eon yang mau menggelar konferensi pers untuk mengakui
efek samping Pudoxin. Mereka juga tidak setuju Pudoxin ditarik dari pasaran.
Mereka lantas mengancam akan menggulingkan Jin Eon jika Jin Eon tak mau
mengundurkan diri secara sukarela. Jin Eon pun balik mengancam, kalau ia
disingkirkan, ia akan berbuat sesuka hati sampai ia disingkirkan. Dewan direksi
murka, bahkan seorang diantara mereka mau menghajar Jin Eon tapi untunglah Hyun
Woo mencegahnya.
Hae Gang ke kantor Seok.
Tapi Seok tidak ada. Ha Joon mengira Hae Gang datang untuk konsultasi masalah
perceraian. Hae Gang pun berkata kalau dia datang untuk menemui Seok. Ha Joon
pun langsung tahu kalau Hae Gang adalah seseorang yang menelpon Seok tadi saat
mereka makan siang.
“Dia pergi ke pengadilan.
Dia akan segera datang. Mengapa tidak duduk dan menunggu?” ucap Ha Joon.
Ha Joon lantas menyajikan
teh hijau untuk Hae Gang, sesuai yang diminta Hae Gang.
“Apa kau pacarnya?” tanya
Ha Joon.
“Seperti yang kau lihat,
aku bukan laki2.” Jawab Hae Gang.
“Rupanya dia menyukai tipe
seperti ini.” gumam Ha Joon.
Ha Joon lalu kembali ke
mejanya. Hae Gang menoleh, menatap ke meja Ha Joon. Dan ia ingatannya seketika
melayang ke masa lalu saat melihat Ha Joon menulis di papan kaca. Tak lama
kemudian, Seok datang dan langsung menemui Hae Gang.
“Kau mempekerjakan pengacara
wanita. Kukira kau akan mempekerjakan seorang laki-laki?” tanya Hae Gang.
“Dia bukan wanita. Dia ini
lelaki, lelaki sejati.” Jawab Seok.
Seok lalu berteriak pada Ha
Joon.
“Hei, Ha Joon Seo, silakan
pergi untuk hari ini.”
“Mengapa? Pergi untuk hari
ini? Aku baru saja sampai di sini. Dan juga, aku Ha Seo Joon.” Protes Ha Joon.
“Ha Seo Joon, pergilah
untuk hari ini dan mulai bekerja besok.” Ucap Seok.
“Tidak mau.” jawab Ha Joon.
Seok pun sewot, apa?
“Aku akan ke luar. Panggil
aku saat kau menggunakan kamar kecil.” Ucap Ha Joon, lalu beranjak pergi.
Hae Gang terkejut
mendengarnya, kemudian tertawa geli. Sementara Seok sewot setengah mati karena
Ha Joon nyebut2 kamar kecil di depan Hae Gang.
Hyun Woo yang baru tiba di
kantornya Seok, langsung mendengus kesal melihat Ha Joon yang duduk di tangga
sambil menyeruput kopi. Hyun Woo pun berniat menegur Ha Joon, tapi saat ia mau
menghampiri Ha Joon, Ha Joon malah bangkit dari duduknya dan lari2 di tangga.
Di dalam, Seok dan Hae Gang
sedang membahas tuntutan yang akan dihadapi Hae Gang. Seok berkata, asalkan
jaksa tidak menuntut Hae Gang lebih dari 2 tahun maka Hae Gang akan menjalani
hukuman percobaan.
“Tak peduli hukuman apapun
yang kuterima, aku tidak akan banding jadi sebaiknya kau mengerti.” Jawab Hae
Gang.
“Kalau begitu, aku harus
membela mati-matian agar memastikan kau tidak mendapatkannya.” Ucap Seok.
Hae Gang lalu memberitahu
Seok bahwa Tae Seok masih hidup. Seok pun terkejut.
"Aku merekam suara Min
Tae Seok yang masih hidup, tadi pagi. Aku melalui pintu kantor polisi tapi
keluar kembali.” Ucap Hae Gang.
“Mengapa?” tanya Seok.
“Karena terus memikirkan kakak
Jin Eon. Karena terus memikirkan Jin Eon dan Ibu Mertua. Aku akan menjadi
bagian dari keluarga itu lagi. Saat sidang kedua selesai, aku akan hidup
bersamanya. Kami akan hidup bersama Ibu Mertua di rumah Buamdong dan memulai
hidup baru. Ibunya mengidap demensia. Ibu Mertua sangat menyedihkan. Dan dia
sangat menyedihkan. Dia tak bisa menangani ibunya sendirian. Dia juga harus bekerja.
Ketika aku bicara denganmu di telepon, aku menemukan cincin kawin yang dia
berikan padaku. Meskipun ditutupi debu, berkilau. Karena aku memiliki cincinku, aku tinggal
membelikan cincinnya, dan aku akan melamarnya kali ini. Di hari hukuman
dijatuhkan, jika aku dibebaskan dengan masa percobaan, tidak dipenjara, aku
akan melamarnya. Aku akan coba memulai lagi hidupku dengan begitu.” jawab Hae
Gang.
Seok hanya bisa menghela
napas dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa ia mendukung apapun keputusan Hae Gang,
meskipun kesedihan terlihat jelas di wajahnya.
Sementara itu diluar, Ha
Joon sedang kayang. Hyun Woo pun berniat menirunya, tapi saat ia mencoba
memulai gerakan awal kayang, ia malah jatuh terjerembab.
“Bukankah itu sulit?” tanya
Hyun Woo.
Bukannya menjawab, tapi Ha
Joon malah menanyakan berapa kali Hyun Woo sanggup menikam seseorang dalam
waktu semenit. Hyun Woo merasa bingung dengan pertanyaan Ha Joon. Ha Joon
bertanya lagi, 8 kali? Mungkinkah?
“Bangun. Mari berpegangan
tangan dan menjalani tes obat.” Ucap Hyun Woo.
Ha Joon pun langsung
berdiri, dengan gampangnya. Hyun Woo terkagum2 melihat Ha Joon yang bisa dengan
mudah melakukan gerakan itu. Ha Joon kemudian memutar2 lehernya, kemudian
merapikan kemejanya lalu duduk di tangga dan menyeruput kopinya. Hyun Woo pun
langsung mengomeli Ha Joon.
“Minggir. Mengapa kau
menghalangi jalan sambil minum alkohol?” omel Hyun Woo.
“Ini kopi, kok.” Jawab Ha
Joon.
“Kau, sudah terungkap di
seluruh dunia bahwa kau seorang alkoholik. Kau masih berdusta soal itu? Hei.
Kalau itu kopi, maka aku akan ganti jenis kelamin. Jenis kelamin-ku. Dari
laki-laki menjadi perempuan.” Ucap Hyun Woo.
Ha Joon pun tersenyum
senang. Saat Hyun Woo mau masuk ke dalam, ia merangkul kaki Hyun Woo dan
memanggil Hyun Woo dengan panggilan eonni. Hyun Woo bingung. Ha Joon dengan
bangganya membuka tutup cangkirnya, dan menunjukkan kalau yang diminumnya itu
beneran kopi, bukan alcohol.
"Eonni, ajummaa, atau salmonim??
Kalau tidak, Miss Go? Yang mana?” tanya Ha Joon.
Hyun Woo pun langsung menggerutu…
Hae Gang sudah mau pergi.
Bersamaan dengan itu, Hyun Woo masuk ke dalam sambil ngomel2. Hyun Woo pun
terkejut melihat Hae Gang. Hae Gang ingin tahu apa yang membuat Hyun Woo
mengunjungi Seok. Seok pun berkata kalau Hyun Woo datang untuk membicarakan
masalah ganti rugi korban Pudoxin.
“Para eksekutif sedang
berada di kantor Jin Eon saat ini, berusaha menyingkirkannya.” Ucap Hyun Woo.
Hae Gang terkejut, apa?
“Mereka mengerubung seperti
lebah dan menembakkan sengat lebah (berbicara) bertubi-tubi. Siapa yang
membersihkan kotoran yang mereka buang? Mereka tidak tahu malu, ataupun
berterimakasih. Mereka hanya dipenuhi keserakahan. Dalam pikiranku, tanpa
memikirkan permohonan maaf atau kompensasi, aku ingin menyuruh dia agar
mendirikan perusahaan farmasi baru dengan membawa divisi Penelitian dan
Pengembangan saja.” Cerocos Hyun Woo.
“Apa yang dia lakukan?”
tanya Hae Gang.
“Dia hanya bekerja saja.
Para lebah duduk di tempat mereka dapat melihat dirinya. Kupikir akan makan
waktu beberapa hari. Meskipun mereka mengambil beberapa milyar won sebagai
bonus, mereka memboikot dana, berkata mereka tidak bisa menghabiskan satu
sen-pun untuk kompensasi. Saat ini, Jin Eon memberikan kompensasi pada korban
dengan uang pribadinya sendiri.” Jawab Hyun Woo.
“Aku punya uang. Akan
kuberikan padamu, jadi gunakanlah untuk memberi kompensasi korban.” Ucap Hae
Gang.
“Apa? Mengapa dirimu?”
tanya Hyun Woo.
“Ini bukan uangku. Ini uang
dari penjualan saham yang diberikan ayahnya padaku.” Jawab Hae Gang.
“Kau akan memberikan
seluruh uang itu?” tanya Hyun Woo.
“Apakah mereka menerima
pengunduran diriku?” tanya Hae Gang.
“Tapi apa yang akan kau
lakukan? Kau akan kembali ke sini?” tanya Hyun Woo.
“Aku akan beristirahat dan
tidak tergesa-gesa memikirkan tentang apa yang akan kulakukan selanjutnya dan
bagaimana aku akan hidup.” jawab Hae Gang.
Malam pun tiba, tapi Jin
Eon masih berada di ruangannya, sibuk berkutat dengan dokumennya. Tiba2 saja,
ingatan Jin Eon melayang pada kata2 Hae Gang yang ingin menjadi istrinya
kembali. Jin Eon pun bimbang. Di satu sisi, ia ingin rujuk kembali dengan Hae
Gang tapi di sisi lain ia tak bisa melakukannya atas apa yang sudah terjadi
pada mereka.
Tak lama kemudian, Hyun Woo
datang dan menunjukkan buku rekeningnya pada Jin Eon. Hyun Woo memberitahu
bahwa uang itu adalah uang hasil penjualan sahamnya dan mereka bisa menggunakan
uang itu untuk membayar kompensasi pada korban Pudoxin. Jin Eon pun terkejut.
Hae Gang yang bersiap
dengan peralatan mengecatnya di rumahnya di Buamdong langsung tersenyum begitu
menerima panggilan Jin Eon. Jin Eon bertanya, Hae Gang ada di mana. Tapi Hae
Gang bukannya menjawab malah nanya dulu apa yang akan dilakukan Jin Eon setelah
mengetahui dirinya ada di mana.
“Aku tidak akan memalingkan
kepalaku dari arah itu, kalau begitu.” jawab Jin Eon.
“Kalau begitu aku tidak mau
beritahu di mana diriku. Coba cari. Di mana diriku. Karena aku akan menunggu
sampai kau datang ke sini. Kau akan datang mencariku?” ucap Hae Gang.
“Asalkan bukan di tempat
sauna.” Jawab Jin Eon.
“Apa? Mengapa tiba-tiba
tempat sauna? Ada orang yang tidak pernah pergi ke tempat sauna?” tanya Hae
Gang.
“Kata siapa aku tak pernah
pergi?” jawab Jin Eon.
“Kau sudah pernah pergi? Kapan?
Dengan siapa?” tanya Hae Gang.
“Dengan kekasihku. Dan
pacar kekasih-ku.” Jawab Jin Eon.
“Apa? Apa sih yang kau
bicarakan?” tanya Hae Gang, lalu tertawa mendesis.
“Minuman beras. Kalian
berbagi. Sedotan pink dan biru. Sebutir telur. Kau duduk di lantai sauna dan
memukulkannya di dahi si Cahaya. Kau begitu bahagia sampai bisa-bisa kau mati.
Tertawa ha ha ha ha.” Jawab Jin Eon.
“Kau di sana? Di sauna
tempat lingkungan kami?” tanya Hae Gang syok.
“Pergilah bersamaku juga.
Dan pecahkan telurnya di dahiku. Ha ha ha ha.” Jawab Jin Eon.
“Mengapa pergi ke sana?
Mengapa membuntutiku?” tanya Hae Gang.
“Karena kau kelihatan
sangat cantik membawa tas mandi-mu.” jawab Jin Eon.
“Mulai sekarang, saat kita
berkencan aku akan membawa tas mandi bukan tas tangan.” Ucap Hae Gang.
Dan Jin Eon pun tertawa.
“Senang mendengarmu tertawa.
Cepat datang. Aku rindu padamu. Aku merindukanmu seperti mau gila rasanya,
sayang.” Ucap Hae Gang.
“Aku akan cepat ke sana
jika tahu tempatmu berada.” Jawab Jin Eon.
“Maaf. Kukira aku tidak
begitu gila. Sudah dulu. Carilah diriku, Kekasih.” Ucap Hae Gang, lalu
memutuskan teleponnya.
Usai bicara dengan Jin Eon,
Hae Gang pun mulai mengecat rumahnya, dimulai dari ruang baca. Ia mengecat,
sambil mendengarkan lagu yang selama ini ia dengarkan saat dirinya amnesia. Tak
lama kemudian, Jin Eon datang. Mendengar lagu yang dinyanyikan Hae Gang, membuat ingatannya langsung melayang ke saat2
ia bertemu dengan Hae Gang untuk pertama kalinya di depan kantor Seok saat Hae
Gang masih amnesia.
Hae Gang terkejut, tapi
kemudian ia tersenyum melihat Jin Eon yang sudah berdiri di belakangnya. Tapi
belum sempat mengatakan apapun, Jin Eon langsung mencium bibirnya. Hae Gang pun
membalas ciuman Jin Eon.
Sementara itu, Jin Ri
tengah mengancam Jaksa Kim akan membeberkan suap yang diterima Jaksa Kim serta
memenjaran ayah Jaksa Kim atas kasus Mi Do Farmasi jika Jaksa Kim tidak bisa
membuat Hae Gang meringkuk di penjara selama 1 atau 2 tahun.
“Akan sulit mendapatkan
lebih dari setahun. Do Hae Gang itu pengacara. Meskipun dipenjara, dia akan keluar
dalam waktu kurang dari setahun kalau dia banding.” Jawab Jaksa Kim.
“Itu tidak masalah, jadi
pastikan saja Do Hae Gang diborgol, tempatkan mobil kesatuan dan lemparkan ke
dalam penjara. Kurung dia selama lebih kurang setahun sehingga tak bisa bebas
berkeliaran.” Ucap Jin Ri.
“Pertama-tama, ayo duduk. Mari
pelan-pelan mendiskusikannya.” Jawab Jaksa Kim.
Dan, Jin Ri pun tersenyum
puas.
0 Comments:
Post a Comment