I Have a Lover Ep 45 Part 1

Sebelumnya...


Para dokter ahli baru saja meninggalkan ruang rawat Presdir Choi. Presdir Choi sudah kembali stabil. Jin Eon~Hae Gang menatap Presdir Choi dengan tatapan lirih. Hae Gang berkata, bahwa ia percaya dengan apa yang dikatakan Presdir Choi tadi. Bahwa bukan Presdir Choi lah pembunuh ayahnya. Hae Gang kemudian meraih tangan Presdir Choi dan menggenggamnya.


Keesokan harinya, Nyonya Hong yang kembali menjenguk Presdir Choi terkejut melihat Jin Eon~Hae Gang tidur berdua di sofa. Nyonya Hong meletakkan barang bawaannya di meja dan itu membuat Hae Gang terbangun. Hae Gang melonjak kaget. Nyonya Hong diam saja dan hanya menatap Hae Gang.


“Apa ibu bisa tidur? Aku tahu aku tidak punya hak, tapi tolong izinkan aku berada di sisi ayah. Aku juga ingin menemaninya.” Ucap Hae Gang.

“Bangunkan dia dan makanlah. Dia belum makan sejak kemarin.” Jawab Nyonya Hong.

Hae Gang sedikit terkejut, Apa? Tapi kemudian ia mengangguk…


Hyun Woo datang menemui Seok di kantor Seok.  Hyun Woo mengaku bahwa ia diutus Jin Eon untuk mengajak Seok bergabung dengan mereka menyelesaikan urusan efek samping Pudoxin. Hyun Woo bilang, Jin Eon sedang dalam proses mempersiapkan konferensi pers untuk meminta maaf pada korban Pudoxin.

Seok cemas, ia takut Jin Eon akan dipecat. Hyun Woo pun berkata kalau Jin Eon mungkin akan dipukuli.



Perhatian Hyun Woo lalu teralih pada tulisan Jin Eon di penyangga tangan Seok. Hyun Woo protes, ia sebal lantaran Jin Eon yang berjanji akan membelikan Seok drone.

“Persahabatan selama 20 tahun ini aneh sekali. Bajingan itu, aku harus…. dia bahkan tidak pernah membelikan aku melon, tapi untukmu apa? Drone?” gerutu Hyun Woo.


“Jangan begitu, coba patahkan tulangmu. Atau pinggulmu.” Jawab Seok.

“Kau sudah mendengar kabarnya Min Tae Seok?” tanya Hyun Woo.

“Aku dengar.” Jawab Seok.

“Bagaimana bisa dia bunuh diri? Dia benar2 jahat. Dia bahkan tidak memikirkan anaknya dan tanpa penyesalan dia melimpahkan kesalahannya pada orang lain.” Ucap Hyun Woo.

“Dia bunuh diri untuk bertahan hidup.” jawab Seok.


“Dia sudah mati, bagaimana bisa hidup? Memangnya dia phoenix? Kenapa dia melompat ke Sungai Han dan membuat tim penyelamat kesulitan dalam cuaca seperti ini? Dia seharusnya pergi dengan baik2. Membuat keributan dan kerusuhan saja.” Ucap Hyun Woo.


Hae Gang menghampiri Jin Eon yang duduk di koridor rumah sakit. Ia membawakan makanan untuk Jin Eon, tapi Jin Eon malah berkata akan memakannya nanti.

“Ibu khawatir. Kau harus mengurus ibumu mulai sekarang. Makanlah supaya kau bertenaga.” Jawab Hae Gang.


Hae Gang lantas menyodorkan sebungkus roti pada Jin Eon. Jin Eon mengambil roti yang disodorkan Hae Gang, tapi ia tak langsung memakannya dan hanya memandangi rotinya.

“Kau tidak mau makan? Aku tidak akan kemana pun sampai kau makan.” Ucap Hae Gang.

Jin Eon pun langsung menatap Hae Gang.


“Saat kau meminta untuk menikah lagi, seharusnya aku melakukannya. Kalau kau minta lagi padaku sekarang, aku akan mengatakan iya.Tidak memikirkan hal lain, hanya melihatmu yang ada di hadapanku. Aku rasa aku akan melakukannya.” Ucap Hae Gang.

Jin Eon tidak menjawab, ia hanya menatap lirih Hae Gang, kemudian bangkit dari duduknya. Namun langkahnya seketika terhenti saat melihat sang ibu yang tengah mengurus sang ayah.  


“Tidak apa-apa, hari ini kau diinfus bukannya minum jus. Tidurlah dengan nyenyak hari ini, dan bangunlah besok pagi. Aku harus menyemprot kakimu, benarkan? Tunggu sebentar…” ucap Nyonya Hong.

Jin Eon terharu melihat pemandangan itu. Nyonya Hong lantas menggulung kaki celana Presdir Choi, namun spray nya habis. Nyonya Hong pun berjanji akan membelikan yang baru nanti. Nyonya Hong kemudian sadar bahwa ia lupa membawa tongkat Presdir Choi.

“Kemana pikiranku, aku lupa membawa tongkatmu. Besok aku akan membawanya, jadi mari kita jalan-jalan yeobo, ya?” ucap Nyonya Hong.


“Ibu pasti masih sangat mencintai ayah.” ucap Jin Eon.

“Ya, aku khawatir pada ibu. Dia harus melalui ini dengan baik. Aku tidak bisa membayangkan, perasaan ibu yang sebenarnya tentang semua ini.” jawab Hae Gang.

“Kami akan terus menangis jika ayah meninggal. Bahkan dengan mengetahui itu, kami tidak mempersiapkan diri kami.” ucap Jin Eon.



“Seperti kita akan hidup selamanya, hanya melihat apa yang kita perlukan untuk hidup sekarang. Kita tidak memerlukan apapun saat kita mati. Uang, reputasi, atau pun pengakuan. Satu-satunya yang kita perlukan adalah orang yang kita cintai.” Jawab Hae Gang.

Jin Eon pun kembali menatap Hae Gang.

“Mulai dari sekarang, aku hanya akan hidup dengan melihat apa yang kuperlukan. Apa kau tidak mendengarku? Mulai dari sekarang, aku bilang aku akan hidup dengan melihat apa yang kuperlukan.” Ucap Hae Gang lagi.

Jin Eon diam saja dan hanya menatap lirih Hae Gang.


Lalu, kita melihat Nyonya Hong yang sedang membacakan puisi untuk Presdir Choi.

“Aku tidak pernah mencintaimu lebih dari hidupku sendiri. Tapi aku juga tidak pernah mencintai hidupku sendiri lebih dari aku mencintaimu. Di saat-saat seperti ini, kau tahu bagaimana terus menerus menabur, setelah mengguncang hidupku, kau seperti tali lonceng, kau...”



Diluar, Jin Eon~Hae Gang saling berbagi sebungkus roti.


Seorang gadis berperawakan tomboy tampak berhenti di depan kantor Seok. Ia lalu mengeluarkan heels nya dari dalam tasnya dan menukar sepatu kets nya dengan heels nya itu. Setelah itu, ia menyeruput kopinya, lalu kemudian masuk ke kantor Seok.

Seok yang saat itu tengah asyik membahas sesuatu dengan Hyun Woo, terkejut dengan kehadiran gadis itu.


“Berdasarkan rekomendasi alumni seniorku, Park, aku kesini untuk wawancara, namaku Ha Seo Joon.” Ucap gadis bernama Seo Joon itu.

“Aku meminta seorang pria.” Jawab Seok.

“Kalau aku terpilih, aku akan menjadi seperti seorang pria. Seperti yang kau lihat, aku tidak berbeda jauh dari pria selain dari ukuran dada. Dan bahkan itu, kau bisa menganggapnya setengah lapisan, setengah busa. Anggap saja aku ini seorang pria.” Ucap Seo Joon.


“Karena tubuhku seperti ini, aku tidak hanya sekedar memerlukan pengacara, tapi aku juga memerlukan asisten pribadi. Aku juga perlu bantuan memakai baju.” Jawab Seok.

“Boleh-boleh saja.” Ucap Seo Joon.

“Bukan hanya sekedar baju. Tergantung situasi, aku juga harus memasang dan melepas ikat pinggangku.” Jawab Seok.

“Tidak apa-apa.” Ucap Seo Joon.

“Kau juga harus membantuku ke kamar kecil.” Jawab Seok.

“Aku bilang tidak apa-apa.  Aku merawat kakekku dalam waktu lama, aku mengumpulkan urin ratusan kali. Aku bahkan bisa memeriksa kondisi kesehatanmu berdasarkan baunya. Coba saja aku beberapa hari. Cobalah gunakan aku, dan kalau kau tidak suka, kau bisa mengembalikan aku.” ucap Seo Joon.


Hyun Woo dan Seok pun terpelongok tidak percaya mendengarnya. Seok kemudian mendekati Seo Joon.

“Karena aku tidak akan menganggapmu sebagai seorang wanita, duduklah sebelum kau pergi, Nona Ha Joon Seo.” Ucap Seok.

“Namaku Ha Seo Joon, Pengacara Baek Seok.” Jawab Seo Joon.

“Seo Joon atau Joon Seo, pria atau apapun.” Gumam Hyun Woo, ikut gabung dengan mereka.

“Apa kau mau jus atau teh?” tanya Seok.

“Aku minum ini saja.” Jawab Seo Joon sambil memperlihatkan kopinya.

“Apa kau minum alkohol sebelum datang kemari? Nona, apa kau di wawancara dalam keadaan mabuk sekarang? Aku bisa mencium bau alkohol saat aku duduk.” Ucap Hyun Woo.

“Kau minum-minum waktu makan siang, benarkan?” jawab Seo Joon.


Seo Joon lalu menatap Seok.

“Orang ini bukan dari bidang ini, benarkan? Dia orang luar, benarkan? Apa dia orang asing?” tanya Seo Joon.

“Kalau begitu, kau adalah alien, benarkan?” balas Hyun Woo.


“Sedikit, aku hanya minum sedikit saja. Kalau aku bilang tidak, itu artinya tidak, artinya aku tidak mabuk saat wawancara. Untuk menyombongkan diri sedikit, aku punya hati bayi.Secara praktis itu adalah hati anak-anak.” Jawab Seo Joon.

Seok pun tertawa geli mendengarnya.

“Meski aku sering melihat pertunjukan bakat, seumur hidupku belum pernah aku melihat orang yang menyombongkan organ tubuhnya....” ucap Hyun Woo.

Seo Joon pun kembali menyeruput kopinya, sebelum berkata lagi bahwa dirinya tidak akan mabuk walau minum sebanyak apapun.


Hyun Woo kemudian mengendus2 bau Seo Joon, ia sepertinya mencium bau alcohol. Tak lama kemudian, ia pun menyadari bau nya berasal dari minuman Seo Joon. Hyun Woo pun langsung merebut minuman Seo Joon.

“Ini bukan kopi, benarkan? Pria ini benar2…” gerutu Seo Joon.

“Pria ini? Dari mulut seorang gadis? Kau! Pria ini kau bilang? Kau tidak punya sopan santun!” sewot Hyun Woo.


“Berikan padaku, berikan padaku!” teriak Seo Joon, sambil berusaha merebut ‘kopi’ nya. Tapi kemudian ‘kopi’ nya itu malah tersiram ke badan Seok. Hyun Woo hanya berkata, sorry. Seo Joon panic, kemudian cepat2 membersihkan baju Seok. Seok risih badannya dipegang2 Seo Joon.



Tae Seok akhirnya muncul di lokernya!! Begitu membuka loker, ia menemukan tas berisi uang dan juga secarik surat.

“Ayah terkapar pingsan. Mereka bilang ayahku sekarat, tidak ada harapan, sayang. Mereka tiba-tiba menyuruhku untuk datang di saat akhirnya, bagaimana ini bisa terjadi? Kakiku bergetar setengah mati. Aku menaruh telpon ilegal di tas, jadi jawablah.Aku akan menghubungimu kalau ayah meninggal.”

Tae Seok terkejut, seketika ia ingat kata2 Presdir Choi.

“Aku melakukan segalanya untuk mendapatkan itu semua, tapi sekali aku memutuskan, aku bisa melepaskannya secara langsung. Aku rasa aku menahannya terlalu lama, berpegangan pada dinding batu. Rasanya bebas, cobalah merelakan segalanya seperti aku.” ucap Presdir Choi.

“Ya, selamat tinggal. Pergilah kemanapun kau mau. Aku tidak akan mengedipkan mataku. Aku tidak akan menangis setetespun untukmu, Ayah. Aku tidak mau melepaskannya, aku tidak akan merelakannya, aku akan menahannya. Meski aku harus bertahan pada dinding batu, meski aku harus merangkak di dinding batu, aku akan selamat.” Ucap Tae Seok.


Saat hendak membawa tas uangnya, tanpa sengaja ia menjatuhkan uangnya ke lantai. Sontak, seorang ibu yang berdiri disampingnya terkejut. Ibu2 itu kemudian menyadari Tae Seok adalah  seorang buronan dan bergegas memanggil polisi.



Tae Seok kabur. Di belakang, dua orang polisi patroli terus mengejarnya. Tae Seok lalu terjatuh karena lututnya membentur mobil yang parkir di tepi jalan. Sambil menahan nyeri di lututnya, ia berlari mencari tempat sembunyi.



Jin Ri akhirnya datang menjenguk sang ayah. Sejak pertama ayahnya dirawat, tak pernah sedikit pun ia datang melihat kondisi sang ayah. Begitu melihat sang ayah yang sudah sekarat, bukannya sedih tapi ia malah menatap tajam ayahnya itu.

“Kenapa kau baru datang sekarang? Ibu rasa ayah sedang menunggumu.” Ucap Nyonya Hong.

“Ya, benar, dia menungguku, tidak pernah sekalipun dia menungguku. Tidak pernah sekalipun. Tidak seperti Jin Eon, setiap hari aku seperti nasi dingin atau makanan dingin bagi ayah. Tidak ada alasan bagi ayah untuk menungguku.” Jawab Jin Ri.


“Tidak, kau salah, ayah melakukan segalanya untuk menunggumu. Dokter bertanya apakah ada orang lain yang belum datang. Ayahmu bertahan untuk bertemu denganmu sebelum dia pergi. Mereka bilang, ayahmu bisa mendengar semuanya, jadi ucapkan salam perpisahanmu.” Ucap JiN Eon.


“Aku tidak mau, apa yang dilakukan ayah untukku sampai aku harus mengucapkan selamat tinggal? Apa yang telah dilakukannya untukku?  Kebaikan apa yang telah ayah lakukan untukku? Kenapa kau menelponku? Siapa yang ingin melihat ini? Kenapa kau menelponku untuk melihat pemandangan menggelikan ini? Apa kau memanggilku untuk menunjukkan wajah sekaratmu? Lihatlah, aku disini.. Jadi sekarang apa? Apa yang akan kau lakukan. Jangan mengharapkan ucapan perpisahan dariku. Aku tidak bisa, aku tidak bisa mengucapkan selamat tinggal. Karena ini sangat salah, tidak bisa dipercaya aku bisa melakukannya.” Ucap Jin Ri.


“Pegang tangan ayahmu, Jin Ri. Jangan menyesalinya nanti.” Jawab Nyonya Hong.


Tapi Jin Ri tidak mau memegang tangan sang ayah. Melihat Jin Ri yang diam saja, akhirnya Nyonya Hong menyatukan tangan Jin Ri dan Presdir Choi. Dan tepat setelah itu, suara mesin pendeteksi detak jantung bersuara memberi tanda bahwa Presdir Choi sudah pergi.


“Lihatlah, dia sedang menunggumu. Setelah mendengar tentang jalan-jalan kami…dia tidak mendengarkan kata-kataku.” Ucap Nyonya Hong lirih.

Barulah tangis Jin Ri pecah. 



Dengan tangan bergetar, Jin Eon menggenggam tangan sang ayah. Tangis Jin Eon kemudian pecah..

Hae Gang yang menuju kamar Presdir Choi pun terkejut melihat jenazah Presdir Choi yang dipindahkan dari ruang rawat. Jin Eon dan Jin Ri tampak mendampingi jenazah ayah mereka. Dari dalam kamar rawat Presdir Choi, terdengar tangisan histeris Nyonya Hong.


Hae Gang kemudian memeluk Nyonya Hong yang menangis histeris.
Jin Eon yang berpakaian serba hitam masuk ke ruangan sang ayah sambil memeluk foto sang ayah. Sepertinya, ia baru saja kembali dari pemakaman sang ayah. Tangis Jin Eon kembali pecah.


Hae Gang yang juga baru kembali dari pemakaman Presdir Choi, langsung rebahan di kasurnya. Untuk menghibur dirinya, ia mendengarkan rekaman suara Yong Gi~Woo Joo. Berikutnya, kita melihat Hae Gang yang menggigil kedinginan. Hae Gang yang merasa kedinginan, mengambil selimutnya dan menyelimuti dirinya.


Jin Eon membawakan bubur untuk sang ibu. Tapi sang ibu yang masih berduka malah menampik sendoknya saat Jin Eon hendak menyuapinya.


“Tidak apa-apa, nanti aku bisa membawanya lagi. Tapi nanti ibu harus memakannya, ya?” ucap Jin Eon.

Nyonya Hong pun mengangguk.
Hae Gang baru terjaga saat hari sudah malam. Dengan tubuh lemas, ia berusaha bangkit dari kasurnya. Hae Gang bangkit dan beranjak ke dapur. Ia membuat bubur sendiri. Saat sedang melahap buburnya, tiba2 saja ia menyadari sesuatu. Hae Gang kemudian beranjak menuju raknya dan meraih jam tangan Jin Eon. Hae Gang tersenyum, kemudian mengenakan jam itu di pergelangannya.

Hae Gang yang sudah tiba di rumahnya di Buamdong, namun tak langsung masuk. Ia diam saja di depan pagar sambil menerawang jauh, menatap sekeliling rumahnya. Tak lama kemudian, ia mendengar suara Jin Eon yang memanggilnya. Hae Gang terkejut, apalagi saat melihat Jin Eon melambaikan tangan ke arahnya dan berdiri di teras sambil menatapnya.

Flashaback…

“Aku di sini, suamimu sudah kembali, Do Hae Gang!” ucap Jin Eon.

“Ada apa ini, Choi Jin Eon? Apa kau Hong Gil Dong? Kau seharusnya ada di Osaka, kenapa ada di rumah? Bukannya seminarnya sampai besok?” tanya Hae Gang.

“Bukan kau tapi yeobo. Bukan kau, tapi dangsin! Yeobo! Apa kau sudah lupa? Apa kau lupa gara-gara aku pergi beberapa hari saja?” protes Jin Eon.

Hae Gang diam saja, sambil memanyunkan bibirnya.

“Apa yang kau lakukan, kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya Jin Eon.

“Memangnya apalagi yang kulakukan di sini? Aku sedang melihatmu, dangsin. Aku suka melihat sayangku dari sini.” Jawab Hae Gang

Jin Eon pun berseru senang karena Hae Gang memanggilnya dangsin alias sayang.

“Hentikan melihatnya dan masuklah kedalam, aku juga ingin melihat sayangku. Biarkan aku melihat sayangku dari dekat sebanyak yang aku mau. Aku merindukanmu sampai rasanya mau mati.” Ucap Jin Eon.

“Aku juga merindukanmu. Anehnya, aku benar-benar merindukanmu. Aku rasa aku pasti sangat mencintaimu, Choi Jin Eon.” gumam Hae Gang.

“Kau bergumam apa di sana?” tanya Jin Eon.

“Udaranya dingin, udaranya sangat dingin.” Jawab Hae Gang.

“Makanya aku menyuruhmu cepat masuk! Kau bisa terkena flu! Cepatlah masuk ke dalam!” suruh Jin Eon.

Flashback end…

Hae Gang pun kecewa karena tidak menemukan sosok Jin Eon di sana, seperti yang ada dalam bayangan masa lalunya.

Setibanya di dalam, Hae Gang langsung membersihkan lantai. Tiba2, ponselnya berdering. Sayangnya, bukan dari Jin Eon tapi Seok.

“Aku tidak bisa menghubungimu, apa terjadi sesuatu?” tanya Seok.

“Aku tidur.” Jawab Hae Gang pelan.

“Baguslah, apa kau berada di pemakaman sepanjang hari?” tanya Seok.

“Iya.” Jawab Hae Gang.

“Pasti berat bagimu. Itu pasti sangat berat, aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya.” Ucap Seok.

Hae Gang membenarkan.

“Tidakkah terasa aneh? Dan sangat berbeda. Jangan menahannya, oke? Kalau kau mau menangis, maka menangislah, kalau kau mau berteriak, maka berteriaklah. Kalau kau ingin memaki, maka memakilah, oke? Jangan berpura-pura kuat, kau tidak kuat, benarkan?” ucap Seok.

Dan tangis Hae Gang pecah lagi.

“Kalau kau tidak baik, maka katakan kau tidak baik, oke?” ucap Seok.

“Aku tidak baik, Seok. Sebenarnya, aku benar-benar kacau sekarang. Ini terasa sangat berat dan aku merasa sangat marah, bersikap seolah-olah aku memaafkannya, menipu diriku sendiri dan menipu dirinya, aku tidak baik. Aku rasa aku tidak baik, aku rasa aku tidak akan bisa baik-baik saja. Kalau saja ingatanku tidak pernah kembali. Kalau saja aku hidup seperti itu, seandainya saja aku hidup tanpa mengetahui apapun.” Ratap Hae Gang.

“Aku sedang menjalani pemulihan sekarang ini. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan aku akan segera pulih, tapi sebenarnya, aku cemas. Dan aku benar-benar takut aku mungkin harus terus hidup seperti ini. Apakah aku akan pulih atau tidak, tidak ada yang tahu. Dokter mengatakan, mereka juga tidak tahu. Itu sebabnya kenapa terapi sebenarnya sangat berat. Tapi Ong Gi, kalau aku tidak menjalani terapi, kesempatan untuk pulih akan hilang. Maka aku tidak akan bisa sembuh. Itu sebabnya, meskipun sulit, aku harus melakukannya, apalagi? Aku harus menjalani terapi supaya bisa pulih. Kau juga, aku juga…” ucap Seok.

Hae Gang pun menghapus tangisnya.

“….Tidak ada hal bagus yang terjadi dengan sendirinya. Mari kita pikirkan itu sebagai suatu langkah, bagian dari cobaan. Kalau kita tidak bisa melaluinya, kita tidak bisa mengatasinya, tidak akan terjadi apa-apa. Itu satu hal yang pasti. Kalau kau tidak akan berhenti di sini, mari kita terus bergerak.Selangkah demi selangkah, kau menuju hidupmu, dan aku menuju hidupku. Satu langkah setiap hari, mari kita melangkah satu demi satu. Ingatlah ini, tidak ada jalan memutar dan tidak ada jalan lain.”

Usai bicara dengan Seok, Hae Gang pun mulai sedikit tenang.

Jin Eon yang sendirian di kamarnya, mau mengirimkan pesan pada Hae Gang bahwa ia mencemaskan Hae Gang tapi entah kenapa ia urung mengirimkannya.

Hae Gang membuka mesin penyedot debunya. Ia terkejut saat menemukan cincin pernikahannya di dalam sana.

Di kamarnya, Seok sedang melatih kekuatan tangannya dengan alat sederhana. Seol Ri yang menemani Seok meminta Seok berhenti sekarang juga. Menurutnya, Seok terlalu berlebihan sejak awal. Karena itulah, Seol Ri meminta Seok pelan2 saja dalam melatih kekuatan tangan. Seol Ri lalu menyuruh Seok duduk agar ia bisa memasang penyangga tangan Seok.

“Nanti saja memasangnya.” Ucap Seok.

“Hapuslah keringatmu, haruskah aku menghapusnya untukmu?” tanya Seol Ri, sembari menyodorkan handuk ke Seok.

“Biar aku yang melakukannya.” Jawab Seok, kemudian mengambil handuk dari Seol Ri.

“Apa mereka memanggilmu sebagai saksi?” tanya Seok.


“Karena Kim Hak Soo sudah tertangkap.” Jawab Seol Ri.

“Tubuhnya menghilang, tapi hanya ekornya yang tertangkap. Sepertinya penyelidikan Min Tae Seok akan dihentikan.” Ucap Seok.

“Jadi, kau juga berpikir dia masih hidup, benarkan?” tanya Seol Ri.

“Fifty-fifty.” Jawab Seok.

“Kalau dia masih hidup, apakah Presdir Min Tae Seok akan bebas begitu saja?” tanya Seol Ri.

“Itu juga masih fifty fifty, masih ada surat perintah penangkapan, meski penyelidikannya dihentikan, bahkan jika mereka berhenti menyelidikinya, kalau dia terlihat sedang berkeliaran, dia akan segera ditangkap. Karena surat perintah penangkapan tersebar luas, dia bahkan bisa tertangkap saat melanggar lampu merah.” Jawab Seok.

“Dia pasti akan tertangkap, benarkan?” tanya Seol Ri.

“Mereka sebaiknya menangkapnya.” Jawab Seok.

Suara Tuan Baek kemudian terdengar, menyuruh mereka makan.

Tuan Baek meletakkan daging ke sendok Seok dan meminta Seok makan lebih banyak. Seok pun meminta hal yang sama pada ayahnya.  Tuan Baek pun berkata, akan makan pelan2 setelah mengantar Seok dan Seol Ri.

“Kau sengaja tidak makan saat kau berada di luar, benarkan? Karena orang-orang melihat.” Ucap Tuan Baek.

“Aku membeli kimbap dan memakan semua makananku. Kemarin kimbap tuna, sebelumnya kimbap keju dan sebelumnya lagi kimbap daging. Anakmu ini tidak akan kelaparan, jadi ayah tidak perlu khawatir.” Jawab Seok.

“Kalau kau tidak mau membuat ayah khawatir, maka menikahlah, usiamu sudah berapa? Aku masih duduk di sini memberi makan anakku.” Ucap Tuan Baek.

“Menikah? Memangnya ada yang mau menikah denganku?” tanya Seok.

“Memang kenapa denganmu? Selain tua, miskin, dan gelandangan, kau adalah kandidat pengantin terbaik di Korea.” Ledek Tuan Baek.

Seol Ri pun tertawa.

“Aigoo, aigoo, aigoo! Ayah sedang mengejekku sekarang ini, benarkan?” ucap Seok pada Seol Ri.

“Pastinya.” Jawab Seol Ri.

“Ayah!” protes Seok.

“Kim Yong Tae ingin ayah jadi kepala sekolah di sekolahnya.” Ucap Tuan Baek.

“Kepala sekolah?” tanya Seok.


“Itu sekolah alam di Gunung Sobaek.” Jawab Tuan Baek.

“Gunung Sobaek?” tanya Seol Ri.

“Ayah belum mengiyakannya, ayah masih memikirkannya. Ayah akan mencobanya kalau sudah tua, tapi ayah pikir harus melakukannya lebih cepat.” Jawab Tuan Baek.

“Apa ayah membuat keputusan itu karena aku? Aku akan sembuh, aku pasti akan sembuh, ayah. Baiklah, aku juga akan menikah. Aku akan menemui gadis yang baik, menikah lalu punya anak. Aku bilang akan hidup dengan penuh kasih sayang, selamanya. Jadi ayah jangan menyerah. Saat mengajar anak-anak, tulislah puisi ayah.” ucap Seok.

“Apa kau benar-benar akan menikah?” tanya Tuan Baek.

“Ya, pasti, aku pasti akan menikah, aku pasti akan melakukannya Aku bilang aku akan sembuh, ayah!” jawab Seok.

“Dan kau?” tanya Tuan Baek pada Seol Ri.

“Apa? Menikah atau sembuh?” tanya Seol Ri.

“Kedua-duanya.” Jawab Tuan Baek.

“Pertama-tama, sembuh dulu.” Ucap Seol Ri.

“Baik, pertama-tama sembuh dulu.” Jawab Tuan Baek.

Jin Ri menuruni anak tangga dengan tergesa2, tangannya tampak menggenggam erat ponselnya. Bersamaan dengan itu, Jin Eon keluar dari kamar. Begitu melihat Jin Eon, Jin Ri pun kembali ke atas, namun Jin Eon menghentikan langkahnya dengan mengatakan soal Tae Seok yang masih belum ditemukan.

“Karena penyelidikannya akan selesai hari ini, jadi pergilah ke kantor polisi bersamaku besok.” Ucap Jin Eon.

“Apa mereka menelpon? Kenapa kau juga melakukan ini padaku? Aku bilang aku yang akan mengurusnya.” Jawab Jin Ri.

“Aku sangat khawatir, tapi melihat kau pulih dengan cepat membuatku lega.” Ucap Jin Eon.

“Kau sangat khawatir? Merasa lega? Apa kau berusaha menyembuhkan aku setelah membuat aku sakit? Siapa yang membunuh kakak iparmu? Siapa yang membunuh ayah? Siapa yang melakukan itu pada mereka berdua? Sejak kapan dia jadi orang baik? Sejak kapan dia hidup untuk orang lain? Apa ini setelah muncul tiba-tiba? Muncul setelah 4 tahun, apakah ini yang harus dilakukan? Mati lebih baik, semuanya lebih baik saat dia mati. Aku mengusirnya, benarkan? Aku memintanya untuk tidak muncul di hadapanku Beraninya dia datang ke pemakaman ayah? Bagaimana dia bisa berada di samping ayah? Apa? Sekarang dia ingin membayar dosa-dosanya? Jadi berapa banyak yang akan didapatkannya? Dia membunuh kakak iparmu, dia membunuh ayah kita. Jadi berapa banyak hukuman untuk Do Hae Gang? Dia harus dihukum. Kalau tidak, aku tidak akan membiarkannya.” Ketus Jin Ri.

Setelah mengatakan itu, Jin Ri kembali ke kamarnya. Dan Jin Eon, dia hanya bisa menghela napas mendengar kakaknya terus menerus menyalahkan Hae Gang. 

Setibanya di kamarnya, Jin Ri memikirkan sesuatu yang bisa diambilnya dari Hae Gang. Ponselnya kemudian berbunyi dan ia pun buru2 mengunci pintu kamarnya. Setelah mengunci pintu kamar, ia bergegas menjawab panggilan dari Tae Seok.

“Polisi belum mengetahuinya kan?” tanya Tae Seok.

“Tidak.” Jawab Jin Ri. Jin Ri lalu menanyakan keadaan kaki Tae Seok.

“Apalagi? Aku harus menahannya.” Jawab Tae Seok.


“Kau seharusnya lebih berhati-hati! Bagaimana kalau kakimu patah, kau bahkan tidak bisa pergi ke rumah sakit? Kau tidak boleh sakit sekarang. Kau bahkan tidak boleh terkena flu, kalau kau sakit, kau harus menahannya.” Ucap Jin Ri.

“Aku tahu.” jawab Tae Seok.

Tae Seok lalu memperhatikan sekeliling kamarnya.

“Sms apa yang kau perlukan, aku akan membelinya di perjalanan.” Ucap Jin Ri.

“Dangsin.” Jawab Tae Seok.

“Dangsin apa? Kenapa kau jadi diam begitu?” tanya Jin Ri.

“Aku membutuhkanmu.” Jawab Tae Seok.

Jin Ri kaget, apa?

“Aku takut setengah mati, Jin Ri, bahwa aku akan mati seperti ini. Bahwa aku bisa saja tertangkap dan membusuk di penjara sampai aku mati. Kalau aku melakukan ini atau itu, aku tetap saja akan dihukum penjara seumur hidup.” jawab Tae Seok.


“Dangsin, sadarlah!  Kalau kau sudah mati, kau harus tetap mati selama 5 tahun ke depan. Kau harus mati supaya bisa hidup. Kau harus merubah identitasmu. Karena kita punya uang, apa yang tidak bisa kau lakukan? Lupakan pembicaraan yang lemah dan pikirkan bagaimana kau akan menjadi orang yang sudah mati.” Ucap Jin Ri.

“Gyu Seok bagaimana? Apa yang dilakukan Gyu Seok?” tanya Tae Seok.

“Adik Ipar pergi ke Amerika.” Jawab Jin Ri.

“Apa? Dia pergi kemana?” kaget Tae Seok.

“Ke Amerika bersama dengan Dokgo Yong Gi. Melihat dia belum menelpon, sepertinya dia belum mendengar kabarmu.” Jawab Jin Ri.


Tae Seok pun murka mendengar adiknya pergi ke Amerika bersama Yong Gi.
Hae Gang pergi ke rumah Jin Eon. Jin Eon terpaku melihat sosok Hae Gang di layar intercom. Sosok Hae Gang kemudian menghilang dari layar intercom nya, membuat ia panic. Tapi kemudian Hae Gang kembali memencet bel membuat wajahnya terlihat lagi di layar intercom. Jin Eon pun membukakan pintu.

“Ada apa? Aku sudah menyuruhmu untuk tidak datang lagi.” Ucap Jin Eon.

“Ini bukan karena kau, aku datang karena ingin bertemu ibu.” Jawab Hae Gang.

“Terlepas dari siapa yang ingin kau temui, kau datang kesini....”


Kata2 Jin Eon pun terputus begitu menyadari wajah Hae Gang yang pucat.

“Kau sakit, kau sakit kan?” tanya Jin Eon.

Hae Gang mengiyakan.

“Apa badanmu terasa sakit?” tanya Jin Eon.

Hae Gang lagi2 mengiyakan.

“Kalau begitu kau seharusnya menghubung…” Jin Eon lagi2 menghentikan kalimatnya.


“Ini, taruh di kulkas, aku akan membuat bubur setelah menemui ibu.” Ucap Hae Gang menyerahkan barang bawannya ke Jin Eon. Namun Jin Eon diam saja.

“Kau tidak akan mengambilnya?” tanya Hae Gang.

“Apa kau sudah makan?” tanya Jin Eon.

“Aku akan membuat bubur abalone dan memakannya bersama ibu. Aku datang karena tidak ingin makan sendirian, jadi biarkan saja ya? Selain kalian, aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak makan bersama. Aku akan menemui ibu lalu keluar.” Jawab Hae Gang.


Hae Gang pun pergi ke kamar Nyonya Hong. Setibanya di kamar Nyonya Hong, ia melihat Nyonya Hong sedang termenung di kasur. Hae Gang pun bergegas mendekati Nyonya Hong.

“Aku akan membuat bubur abalone, jadi mari kita jalan-jalan setelah memakannya ibu. Dengan begitu, kau bisa tidur dengan nyenyak dimalam hari. Setelah jalan-jalan, maukah kau menonton film?” tanya Hae Gang.

“Kenapa kau melakukan ini, tidak seperti kau yang biasanya? Kau terus membuntuti aku. Apa kau merasa kasihan padaku? Kau memang merasa kasihan padaku, kau melihat aku seperti itu. Kau bahkan tidak pergi saat aku menyuruhmu pergi. Dan kau menempel padaku seperti permen karet di pemakaman dan bertindak seolah-olah kau menantuku. Kenapa kau melakukan ini padaku?” ucap Nyonya Hong.

“Aku pasti merindukan saat-saat aku hidup sebagai menantumu.” Jawab Hae Gang.

“Kau?” tanya Nyonya Hong.

“Ya, aku.” jawab Hae Gang.

“Ya, benar, itu menyusahkan. Kau juga menyusahkan, bersamamu menyusahkan, semuanya menyusahkan. Aku akan berbaring, keluarlah. Aku akan tidur sampai pagi.” Ucap Nyonya Hong.
Nyonya Hong pun mulai berbaring membelakangi Hae Gang. Tapi Hae Gang tidak mau pergi. Ia malah berbaring di sebelah Nyonya Hong. Nyonya Hong pun membuka matanya menatap Hae Gang.

“Haruskah aku tidur di sini hari ini? Tolong biarkan aku tidur di sini.” Ucap Hae Gang.

“Kenapa?” tanya Nyonya Hong.

“Karena aku ingin bersama dengan ibu. Aku berpikir untuk menjadi menantu ibu lagi. Aku akan melakukannya dengan baik kali ini. Aku tidak akan kaku seperti kayu, dan tidak akan dingin seperti es. Aku akan menjadi sopan dan ramah.” Jawab Hae Gang.


Nyonya Hong pun terharu mendengarnya. Hae Gang kemudian menggenggam erat tangan Nyonya Hong.


Hae Gang tampak sibuk membersihkan kerang di dapur. Tak lama kemudian, Jin Eon datang dan menyuruh Hae Gang pergi. Tapi Hae Gang menolak. Ia bilang akan tidur di sana menemani Nyonya Hong malam itu.

“Hae Gang, berat bagiku melihat kau melakukan ini. Sekarang ini berat bagiku untuk bersamamu. Melihatmu, bersama denganmu, dan memikirkanmu. Tidak semudah sebelumnya. Kalau aku bisa akan kulakukan, kenapa tidak? Kalau tidak bisa, maka tidak bisa.” ucap Jin Eon.

“Apa kau tidak percaya pada kata-kata terakhir ayah?” tanya Hae Gang.

“Aku percaya padanya, aku ingin mempercayainya, aku akan mempercayainya.” Jawab Jin Eon.

“Kalau begitu, apakah karena ibu?” tanya Hae Gang.


Jin Eon pun membenarkan. Hae Gang pun menghela napas kecewa. Hae Gang kemudian berbalik dan menatap Jin Eon. Ia menyuruh Jin Eon membersihkan kerangnya.

“Aku menyuruhmu untuk pergi.” Ucap Jin Eon.

“Aku menyuruhmu untuk membersihkan kerangnya. Dengan memegang sikat gigi dan abalone, bolehkah aku mengakui sesuatu?Ada sesuatu yang aku inginkan. Ini pertama kalinya dalam hidupku aku ingin menjadi sesuatu seperti ini dengan tulus. Apa kau tidak akan bertanya apa yang kuinginkan?” jawab Hae Gang.

“Kau ingin menjadi apa?” tanya Jin Eon.

“Isterimu. Aku ingin menjadi isterimu. Bukan wanitamu, tapi isterimu. Tidak bisakah kau menikah denganku? Mari kita lakukan. Mari kita menikah saja.” Jawab Hae Gang.


Jin Eon berkaca2 mendengarnya, tapi berikutnya ia malah emosi dan menyeret Hae Gang keluar.

“Maaf, tapi aku tidak berpikir untuk menjadi suami siapapun. Carilah pria lain. Kau masih punya si cahaya, dia masih menunggumu. Menikahlah dengannya dan hiduplah. Daripada hidup sebagai isteriku, hiduplah sebagai isteri si cahaya, bagimu dan aku…”

“Bodoh! Aku akan hidup denganmu. Aku akan hidup denganmu, bodoh! Aku hanya mencintaimu.” Jawab Hae Gang.

“Ini tidak ada hubungannya denganku.” Ucap Jin Eon.

Jin Eon lantas beranjak masuk ke rumahnya. Ia menutup pintu pagar dengan kasar. Hae Gang terluka dengan perkataan Jin Eon.


Hae Gang tak langsung pergi. Ia menenangkan dirinya dengan bersandar ke tembok rumah Jin Eon. Ingatan Hae Gang langsung melayang ke masa lalu, saat dirinya masih amnesia. Saat itu, ia mengantarkan Jin Eon yang mabuk . Karena tidak bisa membangunkan Jin Eon, Hae Gang akhirnya turun dari mobilnya dan bersender ke tembok Jin Eon sambil mendengarkan lagu lewat headset nya. Tak lama kemudian, Jin Eon datang dan mengambil tali headset yang satunya dari telinga Hae Gang.  Jin Eon lantas ikut bersender di tembok rumahnya, disamping Hae Gang. Mereka berbagi headset yang sama. Hae Gang larut dalam kenangan itu.

Tak lama kemudian, Hae Gang pun kembali berdiri di depan pagar rumah Jin Eon.

“Aku tahu kau ada di sana. Aku hanya akan menunggu sampai nada deringnya berhenti. Kalau nada deringnya berhenti dan kau tidak membuka pintu dan keluar, aku tidak akan pernah lagi muncul dihadapanmu. Aku akan menghilang darimu, dari pandanganmu, dari hidupmu, selamanya. Aku tidak hanya sekedar basa-basi. Aku bersungguh-sungguh. Jadi pastikan kau membuka pintunya dan keluar, Choi Jin Eon.” ucap Hae Gang.

Hae Gang pun mulai menghubungi ponsel Jin Eon. Namun Jin Eon tak kunjung keluar. Hae Gang terus menanti Jin Eon dengan wajah cemas. Sementara di dalam, Jin Eon bingung harus keluar menemui Hae Gang atau tidak. Nada deringnya pun akhirnya berhenti, namun Jin Eon tetap tak keluar. Hae Gang mengerti, ia pun pergi dengan wajah kecewa.

0 Comments:

Post a Comment