Jin Eon sedang
mengobati luka Hae Gang. Hae Gang tersenyum dan mengelus2 kepala Jin Eon. Jin
Eon meminta Hae Gang berhenti mengelus kepalanya, tapi Hae Gang tidak mau
berhenti dan terus mengelus kepala Jin Eon, membuat Jin Eon kesal dan menatap
Hae Gang.
“Bukankah kau
terlalu baik pada wanita yang tidak kau kenal? Aku tidak suka lelaki yang
terlalu baik pada sembarang perempuan. Menurutku lelaki yang terlalu baik pada
perempuan yang tak dapat diingatnya, agak berbahaya. Aku tidak akan membuat
kepalamu sakit. Aku tak akan membuat kepalamu mendidih. Aku akan melekat erat
padamu hingga kau bisa berbuat sesukamu. Akan kuserahkan seluruh diriku padamu.”
Ucap Hae Gang.
Tapi Jin Eon diam
saja, ia hanya menatap Hae Gang haru.
“Hmm, yeobo? Ya,
Choi Jin Eon. Choi Jin Eon!” panggil Hae Gang.
“Aku akan tidur
bersamamu malam ini.” ucap Jin Eon.
Hae Gang tersenyum,
kemudian berkata mereka akan tidur bersama besok. Jin Eon pun kesal dan berkata
kalau dia tidak akan tidur dengan Hae Gang, apapun yang terjadi ia tak akan
pernah mau tidur dengan Hae Gang.
“Aku akan tidur
denganmu besok.” Ucap Hae Gang.
“Siapa bilang?”
tanya Jin Eon.
“Aku.” jawab Hae
Gang, membuat Jin Eon makin sewot.
“Aku harus pergi ke
panti asuhan. Aku berjanji pada seorang anak akan tidur bersamanya nanti malam.
Hanya hari ini saja, mengalahlah padanya. Dia sedang sakit.” Ucap Hae Gang.
“Aku juga sedang
sakit.” Jawab Jin Eon.
Anak itu menungguku.”
Ucap Hae Gang.
“Aku telah
menunggumu lebih lama.” Jawab Jin Eon.
“Itu sebabnya kau
bisa menunggu sehari lagi saja.” Ucap Hae Gang.
“Itu sebabnya aku
tak bisa menunggu sehari lagi. Aku tak mau menunggumu lagi. Tak bisakah kau
mengalah padaku sekali saja? Mintalah pada sang anak agar menunggu.” Jawab Jin
Eon.
“Kau akan melakukan
hal ini?” tanya Hae Gang.
“Bagaimana denganmu?”
tanya Jin Eon balik. Dan itu membuat Hae Gang sebal.
“Bagaimana bisa
seseorang tidak menjengukku lebih dari setahun?” tanya Hae Gang.
“Kau tidak datang
selama 2 tahun 2 bulan.” Jawab Jin Eon.
“Kau sungguh jahat.”
Ucap Hae Gang.
“Kau yang membuatku
begini. Kau membuatku menyedihkan, jahat dan kekanak-kanakan.” Jawab Jin Eon.
“Kalau begitu, ayo
pergi bersama-sama.” Ajak Hae Gang.
“Jadi sudah pasti
kau pergi. Kau bahkan tidak berpura-pura memikirkannya, tidak mempedulikanku
dan pergi begitu saja.” Jawab Jin Eon.
“Ayolah kita bertemu
besok. Oke? Besok, ayo bersama seharian. Aku akan menghubungimu saat
meninggalkan panti asuhan.” Ucap Hae Gang.
“Tidak perlu. Aku
tidak mau menemuimu. Jangan hubungi.” Jawab Jin Eon, lalu beranjak pergi.
Jin Eon balik ke
rumahnya dengan wajah kesal. Sementara di panti, Hae Gang berusaha menghubungi
Jin Eon, tapi Jin Eon malah mematikan ponselnya. Hae Gang pun kecewa. Ha Na
yang sudah tidur pun terbangun mendengar suara Hae Gang.
“Kau benar-benar
datang?” tanya Ha Na.
“Tentu saja aku
datang. Aku sudah berjanji denganmu.” Jawab Hae Gang, lalu menunjukkan
gelangnya.
Hae Gang lalu
memberitahu Ha Na bahwa ibu Ha Na akan datang menjemput Ha Na. Ha Na tersenyum
senang. Hae Gang pun berterima kasih karena Ha Na sudah mau menunggu kedatangan
sang ibu. Hae Gang lalu berniat membacakan dongeng untuk Ha Na. Ha Na berseru
senang, lalu beranjak mengambil buku dongengnya.
Jin Eon tak bisa
tidur karena masih kesal pada Hae Gang. Hae Gang sendiri tengah membacakan
dongeng putri duyung pada Ha Na. Tak lama kemudian, Ha Na jatuh tertidur. Hae
Gang memeluk erat Ha Na dan wajahnya seketika berubah sedih.
“Ibu akan selalu
berada di sisi tuan putri. Juga, tidurlah yang nyenyak, bidadariku.” Ucapnya,
ingat pada Eun Sol.
Jin Ri panic karena
demam Tae Seok tak kunjung turun. Jin Ri lantas memaksa Tae Seok menelan pil untuk
menurunkan demam Tae Seok. Jin Ri juga memaksa Tae Seok minum banyak air, agar
Tae Seok tidak dehidrasi.
“Bagaimana ini? Apa
yang harus kulakukan sekarang? Mandi es. Aku tak boleh menambah pakaian lagi.
Aku harus melepas pakaianmu. Ayo lepaskan ini.” ucap Jin Ri, kemudian
melepaskan pakaian Tae Seok.
“Dingin. Aku
kedinginan.” Jawab Tae Seok.
“Meskipun dingin,
tahan. Kalau demam-mu tidak turun-turun, kau akan mati. Kau akan mati seperti
ini.” ucap Jin Ri.
“Kalau aku mati
seperti ini, tidak akan begitu buruk. Sangat nyaman dan hangat. Aku tak ingin
bangun. Aku tak pernah ingin pergi keluar lagi. Aku ingin mati di rumah. Aku
tak suka di luar, aku tidak suka apapun. Aku hanya ingin tinggal...” jawab Tae
Seok.
“Jangan bicara yang
tidak-tidak. Siapa yang akan mati? Kau pikir aku akan membiarkanmu mati? Pikirkan
kesembuhan sebelum keluarga kita tahu. Kalau ketahuan, habislah sudah. Kau tak
bisa kabur dengan tubuh ini. Kau akan langsung ditahan.” Ucap Jin Ri.
“Aku lelah melarikan
diri. Sebelum keluarga kita tahu, tetap seperti ini... Mati saja mungkin lebih
baik.” Jawab Tae Seok.
“Tetap di sini. Akan
kubawakan es.” Ucap Jin Ri.
Namun sialnya, saat
mengambil es di dapur, ia kepergok Nyonya Hong. Jin Ri pun mengaku akan memakan
es itu karena dia merasa gerah. Nyonya Hong tak setuju, ia menyuruh Jin Ri
minum jus dingin saja, makan es sebanyak itu bisa merusak gigi Jin Ri. Tapi Jin
Ri tak peduli. Saat mau naik ke atas, ia tak sengaja menabrak Jin Eon. Es nya
pun berjatuhan. Jin Eon membantu Jin Ri memungut es itu. Nyonya Hong pun
bingung melihatnya.
Jin Eon lantas
memeriksa suhu tubuh Jin Ri dengan meletakkan tangannya di kening Jin Ri, dan
ia heran karena Jin Ri tidak demam. Jin Ri pun melarang Jin Eon dan yang lain
masuk ke kamarnya. Ia berkata, bisa mengurus dirinya sendiri.
Setibanya di kamar,
Jin Ri langsung meletakkan es itu di badan Tae Seok. Tae Seok berkata, kalau ia
mengantuk.
“Jika kau pergi ke
rumah sakit, mungkin mereka akan langsung menangkapmu, kan?” tanya Jin Ri. Dan Tae
Seok mengangguk lemah.
“Pasti inilah
sebabnya mereka berkata kau tak boleh hidup berbuat dosa. Bagaimana ini? Apakah
kubiarkan kau mati seperti ini atau apakah kuantarkan kau ke penjara?” ucap Jin
Ri.
Tak lama kemudian,
terdengar suara Nyonya Hong yang menyuruh Jin Ri membuka pintu. Jin Ri pun
berkata, kalau ia mau tidur jadi ia tak ingin diganggu. Nyonya Hong menyuruh
Jin Ri makan bubur abalone nya dulu sebelum tidur. Jin Ri pun berkata akan
memakannya nanti.
“Jin Eon, ambilkan
kunci.” Suruh Nyonya Hong.
Jin Ri pun tak punya
pilihan lain selain memindahkan Tae Seok kamar mandi. Usai memindahkan Tae Seok
ke kamar mandi, Jin Ri menyembunyikan jaket Tae Seok, kemudian melompat ke
tempat tidur dan mengemut es nya. Tepat saat itu, Nyonya Hong dan Jin Eon
masuk. Mereka terkejut melihat Jin Ri mengunyah es.
“Kapan kau mulai
mencemaskanku? Aku baik-baik saja. Aku sehat-sehat saja. Tak ada yang tidak
beres. Tak ada yang salah denganku.” Ucap Jin Ri.
“Berhentilah
mengunyah es dan ayo makan buburnya.” Jawab Nyonya Hong.
“Tinggalkan di sana
dan pergilah.” Ucap Jin Ri.
“Aku akan
mengawasimu makan. Aku akan pergi setelah melihatmu makan.” Jawab Nyonya Hong.
Sementara Jin Eon
heran sendiri melihat banyak obat penurun panas di atas meja. Ia juga bingung
melihat handuk di bawah kasur, tapi Jin Eon meskipun ia merasa aneh, ia memilih
tidak menanyakan apapun pada sang noona dan mengajak sang ibu pergi.
Seok datang ke
kantor membawa sarapan saat Ha Joon masih tertidur di meja. Seok pun menjahili
Ha Joon. Ia menarik penutup mata Ha Joon, kemudian melepaskannya membuat Ha
Joon meringis kesakitan terkena jepretan penutup matanya. Begitu melihat Seok,
senyum Ha Joon pun langsung mengembang.
“Oh, ternyata kau,
Sunbae. Kok bisa? Tapi sekarang Hari Minggu. Apakah kau datang untuk
menjengukku...Kurasa tidak.” Ucap Ha Joon.
“Lensanya aman.
Mereka membawanya kemari, jadi cepat bangun.” Jawab Seok.
“Secepat itu?
Kemampuan mereka luar biasa. Tapi akankah penyidik mengakui mereka bersalah? Mereka
akan tahu itu merupakan penyelidikan sasaran yang dipaksakan. Menurutku mereka
tidak akan mudah bergerak.” Ucap Ha Joon.
“Sudah kupastikan
dia mengganti kacamatanya sehari setelah kejadian.” Jawab Seok sembari
memberikan kopi yang dibawanya pada Ha Joon.
“… Bila kita membawa
lensa yang ditemukan di TKP dan lensa yang dipakainya sekarang, akan sulit bagi
mereka tidak bergerak. Ini juga lensa khusus dan resep penglihatannya juga
sama. Tapi yang lebih penting, seorang suami yang mengganti kacamatanya sehari
setelah istrinya dibunuh, 100 persen dia orangnya.” Ucap Seok.
Seok lantas
memberikannya roti baguette.
“Dasar keparat
terkutuk! Begitupula kasus pembunuhan dengan pelaku remaja di jalan simpang
lima Yakchon. Mereka tidak berniat menangkap penjahatnya setelah menyelidiki
bukti. Kok bisa mereka masih menghajarnya dan tidak membiarkan mereka tidur, dan
menyelidiki dengan pengakuan yang dipaksakan? Seharusnya tidak kubiarkan orang
brengsek seperti bayam ini begitu saja...” sewot Ha Joon.
“Kau tidak akan
merunduk? Leherku sakit.” Protes Seok.
“Bagaimana kau tahu
aku suka roti baguette?” tanya Ha Joon.
“Kau berkeliling
dengan roti baguette di mulutmu setiap pagi seperti anak anjing dengan
tulangnya.” Jawab Seok.
“Apa? Itu artinya
kau mengamatiku setiap pagi. Dengan hati-hati.” Tanya Ha Joon ge-er.
“Mana bisa aku tidak
melihatmu saat kau seperti ini?” jawab Seok.
‘Kau memanggilku
anak anjing, aku bukan anjing.” Ucap Ha Joon.
“Anjing atau anak
anjing, terserah.” Jawab Seok.
“Kau seperti anjing
kedengarannya seperti menghina. Tapi jika kau bilang, kau seperti anak anjing,
seperti pujian. Kau memujiku, kan? Mulai dari pagi hari.” Ucap Ha Joon.
“Omong kosong tulang
anjing apa itu? Kuatkan dirimu dan keluarlah dari kantung tidur itu!” jawab
Seok.
“Aku akan keluar
kalau kau mengencaniku.” Ucap Ha Joon.
“Berhenti bergurau.”
Jawab Seok.
“Karena merepotkan,
tidak usah berkencan dan lewati saja sampai menikah. Menurut pendapatku, bukan
sepertinya kita tidak berkencan. Tak peduli apapun omongan orang, aku hidup
tahun lalu merasa seperti sedang berkencan denganmu.” Ucap Ha Joon.
“Yang terpenting,
kau mengidap penyakit tukang bohong? Cepat mandi dan pulang.” Jawab Seok.
“Apakah berkencan
masalah besar? Kita makan bersama-sama dan pergi mengelilingi pengadilan
bersama. Dari pagi sampai malam, kita bertatapan dan bicara, dan memikirkan
masalah bersama. Dan bahkan setelah semua itu, semakin ingin bersama-sama. Semakin
ingin.” Ucap Ha Joon.
“Selain penyakit
tukang bohong, kau mengidap penyakit megalomania?” tanya Seok.
Ha Joon mengusap
serpihan roti di bibir Seok, lalu menjilat tangannya.
“Aku menyukaimu. Aku
amat sangat menyukaimu. Apa kau tahu ini? Wangimu enak. Wangi yang hangat.
Keharuman seseorang.” ucap Ha Joon.
Ingatan Seok pun
langsung melayang pada Hae Gang saat masih menjadi Dokgo Yong Gi. Saat itu,
keduanya sedang menyantap makan siang. Seok mengambil nasi yang tertinggal di
bibir Hae Gang dan memakannya. Hae Gang pun terheran melihatnya. Tak lama
kemudian, Hae Gang menempelkan nasi di bibir Seok, kemudian mengambilnya dan
memakannya.
“Kupikir kotor tetapi
hangat, dan rasanya hangat.” Ucap Hae Gang.
Ingatan Seok pun
buyar saat Ha Joon protes karena Seok terus menerus melihat ke arah pintu.
Mereka kemudian berdebat. Tak lama kemudian, Hae Gang dan itu membuat Ha Joon
kesal setengah mati.
“Sunbae Do, tak
bisakah kau berhenti menjadi cantik? Standar ini...” ucap Ha Joon.
“Bersihkan kotoran
matamu. Jangan mandi seperti kucing, dan jangan hanya menaruh pasta gigi di
gigimu.” Sewot Seok.
“Kapan kulakukan?”
protes Ha Joon.
“Kapan? Kemarin.
Kemarin pagi. Kau sangat jorok. Aku tak tahan.” Jawab Seok.
“Tapi apa yang kau
pakai saat ini?” tanya Hae Gang.
“Rumahku. Rumah
bahagiaku.” Jawab Ha Joon.
“Ah, rumahmu
kelihatan sangat hangat.” Puji Hae Gang.
“Tapi, sangat
hangat, sulit keluar darinya, lantaran rumah murah. Sunbae, tarik ini. Tidak
akan lepas karena aku keringatan.” Ucap Ha Joon.
“Kalau tidak lepas,
maka jangan lakukan. Kalau begitu, ganti kantung tidurmu. Setiap hari kau
menyuruhku melepasnya.” Protes Seok.
“Tolong tarik.” Pinta
Ha Joon.
Dan Hae Gang tersenyum geli melihat tingkah keduanya.
Ha Joon menyikat
giginya dan mencuci mukanya di toilet. Usai menyikat giginya, ia ngomong
sendiri.
“Dia buruk, bukan
begitu? Karena melewatkan tangkapan bagus seperti Baek Sunbae. Permata yang
dilepaskan Sunbae Do, pasti akan kudapatkan dengan tekun. Berjuang!”
Hae Gang menyerahkan
lensa kacamata dan kacamata si pemilik restoran pada Seok. Ia lalu berkata,
bukan 4288 tapi ada banyak sekali bukti bahwa penjahat sebenarnya adalah si
pemilik kacamata.
“Masalahnya adalah
penyelidikan polisi. Kami tidak bisa mempercayai mereka dan dikhianati, menurutku
akan bagus menggunakan pers untuk kasus ini. sehingga polisi, jaksa dan hakim
tidak dapat melakukan apa-apa. Dengan demikian kita akan dapat mengeluarkan Ibu
Ha Na lebih cepat.” Ucap Hae Gang.
Seok pun setuju ide
Hae Gang melibatkan pers. Hae Gang lalu meminta laporan otopsi.
“Tidak terkait,
namun dia menikam 5 kali?” ucap Seok.
“Sedalam ini? Bahkan
bukan lelaki, melainkan perempuan yang melakukannya?” tanya Hae Gang heran.
“Dan itu juga dalam
waktu 2 menit 28 detik.” Jawab Seok.
Hae Gang kaget, apa?
2 menit 28 detik?
“Hasil CCTV adalah
orang yang mencuri uang di konter pergi ke TKP pembunuhan dan pergi melewati
konter lagi dan lari keluar pintu pada waktu itu. Dia bahkan bukan pembunuh
yang ahli. Konyol, itulah adanya.” Ucap Seok.
Hae Gang kesal
mendengarnya. Ia bahkan mengatai si pelaku keparat terkutuk. Seok pun
tersenyum.
“Kenapa?” tanya Hae
Gang heran.
“Keparat terkutuk.
Kau mengucapkannya sama seperti yang kau lakukan dulu.” Jawab Seok.
“Sama seperti Yong
Gi?” tanya Hae Gang sembari tersenyum.
“Sama seperti yang
dilakukan Dokgo Yong Gi.” jawab Seok, juga sambil tersenyum.
Seol Ri yang baru
membeli makanan Il Man dan Cheon Bong buru2 pulang karena ingat keduanya belum
diberi makan. Ia bahkan berlari agar cepat tiba di lab, namun penyakitnya
membuat ia terjatuh. Tepat saat itu, Gang San muncul dengan sepedanya. Gang San
pun bergegas membantu Seol Ri, tapi Seol Ri menampik tangannya.
“Kau mengagetkanku.”
Ucap Gang San.
“Lewati saja diriku.”
jawab Seol Ri. Tapi Gang San malah duduk di sebelah Seol Ri.
“Aku mengidap
penyakit. Aku terjatuh tanpa alasan dan tulangku patah. Ini penyakit yang
membuatku terjatuh kapan saja seperti ini.” ucap Seol Ri.
“Begitu rupanya.
Jadi begitu rupanya. Dan lalu?” tanya Gang San.
“Jangan seperti ini
padaku.” Pinta Seol Ri.
“Tapi aku belum
melakukan apa-apa. Aku harus melakukan sesuatu untuk berhenti melakukannya. Aku
akan mencoba melakukan semuanya sekarang, tidak berhenti.” Jawab Gang San.
Seol Ri kaget, apa?
“ Kalau begitu,
maukah kau keluar bersamaku 10 kali saja? Keluar bersamaku 10 kali dan kalau
kau tidak menyukaiku, maka aku akan menyerah sepenuhnya.” Ucap Gang San.
Gang San kemudian
membantu Seol Ri berdiri. Namun Seol Ri hanya diam saja.
“Pada saat-saat
seperti ini, lumrah mengucapkan terima kasih.” Ucap Gang San.
Seol Ri berpikir
sejenak, sebelum akhirnya ia mengucapkan terima kasih pada Gang San.
“Naik sepeda. Aku
akan mengantarkanmu ke laboratorium.” Ucap Gang San.
“Tidak usah.” Tolak Seol
Ri.
“Tolong, naiklah
saja. Il Man dan Yi Cheon akan mati kelaparan.” Jawab Gang San.
Seol Ri pun menurut.
Ia naik ke sepeda Gang San. Dan Gang San pun mengayuh sepedanya dengan senang
hati.
Sesampainya di lab,
Seol Ri langsung memberi makan Il Man Cheon Bong. Tapi kemudian, Gang San ikut
melihat mereka dan itu membuat Seol Ri sebal.
“Mereka sudah tumbuh
besar pada waktu itu. Kau keluar hanya untuk memberi mereka makan? Kau bahkan
tidak beristirahat di akhir pekan.” Ucap Gang San.
“Kau tidak pergi?
Bukankah kau datang untuk belajar?” tanya Seol Ri.
“Aku harus
mendengarkan jawabanmu supaya bisa pergi belajar.” jawab Gang San.
“Jawaban apa?” tanya
Seol Ri.
“Berkencan denganku
10 kali. Oke, baiklah. Hari ini terhitung selesai, jadi selanjutnya 9 kali. Dalam
9 kali itu, aku akan memikatmu atau kau boleh menendangku ke trotoar. Ayo
bertaruh. Yang mana saja, kau akan menang. Kau tinggal mengalahkanku. Tanpa
belas kasihan hancurkan khayalan memilikimu agar aku dapat bernapas.” Jawab Gang
San.
“Mengapa aku harus
melakukannya?” tanya Seol Ri.
“Karena kau tampak
seperti orang yang telah disakiti oleh seseorang. Aku tak tahu pasti, namun
kelihatannya seperti itu. Meskipun aku tidak tahu pasti, tampaknya kau harus
terbebas darinya agar bisa membuka dirimu pada seseorang. Aku ingin diriku orangnya,
tapi meskipun bukan.” jawab Gang San.
“Walau aku dosen,
tetap saja aku ini seorang pendidik.” Ucap Seol Ri.
“Aku lulus di musim
gugur.” Jawab Gang San.
“Kalau begitu,
datanglah setelah kau lulus. Nanti, akan kupikirkan soal berkencan denganmu 9
kali.” Ucap Seol Ri.
“Cinta merupakan hal
yang tak dapat diprediksi. Kalau begitu, bagaimana kalau seseorang merebutmu
pada waktu itu. Apa yang akan kulakukan?” jawab Gang San.
“Maka kau harus
menerima bahwa ini tidak ditakdirkan.” Ucap Seol Ri.
“Kau harus
menciptakan takdirmu sendiri. Kalau begitu, sekali saja. Ayo berkencan sekali
sebelum nanti. Dengan demikian aku bisa memastikan kau tidak melupakanku hingga
nanti. Kalau kau tidak menjawab, aku akan tetap di sini seharian. Aku akan
mengikutimu ke mana-mana seperti gila, asal tahu saja.” Jawab Gang San.
Dan Seol Ri pun
menghela napas kesal.
Jin Ri ke apotik dan
meminta obat pereda demam. Ia mengatakan, demamnya lebih dari 40 derajat
celcius. Dia tak dapat bicara dan bahkan mengenalinya. Tapi petugas menyuruh
Jin Ri membawanya ke rumah sakit saja untuk mencegah hal2 yang tidak diinginkan
terjadi. Namun, Jin Ri malah sewot.
“Apa? Berikan saja
padaku obatnya. Cepat! Apa sih yang kau tahu sampai mengoceh? Jual saja obatnya
padaku!” teriak Jin Ri.
“Apa katamu?” tanya
petugas.
“Kau tuli? Aku
bilang berikan obat pereda demam! Obat pereda demam!” jawab Jin Ri.
“Apa? Aku hanya
mengkhawatirkanmu. Pada siapa kau menjerit? Lupakan, aku tak bisa memberikanmu
obatnya, jadi cari saja di tempat lain.” Ucap si petugas kesal.
“Maaf. Aku bersalah.
Aku akan minta maaf. Nyonya Apoteker. Aku akan minta maaf setulusnya. Maafkan
aku. Aku benar-benar minta maaf. Mohon maafkan aku dan berikan obatnya. Ya? Suamiku
sedang sekarat. Ayah anak-anakku sekarat, tapi dia tak bisa pergi ke rumah sakit.
Dia tak bisa mendapatkan bantuan dari siapapun. Nyonya, tolong berikan obat
padaku. Tolong berikan obat padaku!” rengek Jin Ri.
0 Comments:
Post a Comment