Hae Gang mematung begitu melihat sosok Jin Eon di hadapannya. Jin
Eon pun sama terkejutnya. Hae Gang kemudian berkata, sudah lama. Tapi Jin Eon
malah bersikap seolah2 dirinya tidak mengenal Hae Gang. Hae Gang yang menatap
Jin Eon dengan penuh rasa rindu itu pun terkejut.
“Namamu Do Hae Gang? Aku tidak mengenalmu, jadi tolong jangan
bersikap seolah2 kau mengenalku.” ucap Jin Eon.
“Kalau begitu, itu kesalahan saya. Saya minta maaf, Tuan.” Jawab
Hae Gang.
Jin Eon pun semakin kesal mendengar Hae Gang memanggilnya tuan.
Hae Gang kemudian mendekati Jin Eon dan menuangkan teh untuk Jin Eon. Jin Eon
tampak menahan amarahnya. Hae Gang berkata lagi, apa anda tidak memesan, Tuan?
Jin Eon pun akhirnya mengambil buku menu di atas meja dan membolak balik
halamannya dengan kasar.
Jin Eon menyebutkan nama2 makanan yang ada di daftar menu dan
meminta Hae Gang menjelaskan seperti apa makanan2 yang disebutnya. Hae Gang pun
meminta maaf, ia berkata ini adalah hari pertamanya bekerja di restoran itu,
jadi dia tidak tahu seperti apa makanan2 itu. Jin Eon pun kembali memarahi Hae
Gang. Ia menyuruh Hae Gang mempelajari nama2 makanan yang ada di dalam daftar
menu makan itu terlebih dahulu.
“Kalau begitu, bolehkan saya menyiapkan makanan yang anda sebutkan
tadi?” tanya Hae Gang.
“Aku mau melihat2 menu yang lain!” ketus Jin Eon.
“Pesanlah makanan yang anda makan sebelumnya. Pesan makanan yang
anda tahu sehingga anda tidak perlu menguliahi karyawan yang tidak berdaya.”
Jawab Hae Gang.
“Terlihat seperti itu.” ucap Jin Eon.
“Anda bilang apa? Terlihat seperti apa? Ada apa dengan penampilan
saya? Pelanggan yang mengatakannya juga tidak begitu bagus. Tampak tidak
bersemangat, kelihatan buruk dan marah. Jika Anda akan begini, lalu mengapa
Anda kemari? Aku bertanya mengapa kau duduk begini di sini? Kau tidak
menampakkan wajahmu selama setahun. Mengapa muncul tiba-tiba dan menghadapi
penderitaan?” jawab Hae Gang.
“Bukankah sudah kubilang jangan bersikap seperti kau mengenalku,
Do Hae Gang-ssi!” tegur Jin Eon.
Jin Eon lantas memanggil Kepala Pelayan. Tak lama kemudian, Kepala
Pelayan datang dan Jin Eon pun menyuruh Kepala Pelayan mengganti Hae Gang.
Kepala Pelayan pun meminta maaf atas ketidaknyaman yang dirasakan Jin Eon dan
menyuruh Hae Gang keluar. Hae Gang pun beranjak pergi dengan mata yang
berkaca2. Setelah Hae Gang pergi, Jin Eon pun memesan wine yang sangat kuat
pada Kepala Pelayan.
Diluar, Hae Gang bertemu Hyun Woo.
“Aku bertanya-tanya bagaimana setahun akan berlalu, dan ada
akhirnya, bukan begitu? Kau sangat menderita, lahir batin.” Ucap Hyun Woo.
“Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Hae Gang.
“Aku mencengkram leher Pengacara Baek tanpa sepengetahuan Jin Eon.
Apa yang akan kau lakukan mengenai orang itu? Dia benar-benar sangat marah.”
Jawab Hyun Woo.
Hyun Woo lalu bertanya apa kata Jin Eon.
“Bahwa dia tidak ingat diriku, bahwa aku orang yang tidak dia
kenal.” Jawab Hae Gang.
“Aku berniat beremigrasi. Sangat sulit karena kalian berdua,
sampai-sampai aku tak bisa tinggal di Korea lebih lama lagi. Kekuatanku tidak
banyak lagi yang tersisa. Aku mengidap penyakit hati berlemak (FLD). Aku sudah
banyak mengurangi alkohol setahun ini, kupikir bisa-bisa aku mati mendadak, kapan
saja, atas yang telah terjadi. Demikian pula Jin Eon. Bungkus dia dengan kain
dan bawa dia ke sisimu. Siang malam, dia mengajakku ke gym kendo, lapangan
basket atau bermain racquetball. Aku benar-benar bisa gila.” ucap Hyun Woo.
“Baiklah. Akan kubungkus dia dengan kain dan menculiknya agar Hyun
Woo tidak pindah ke luar negeri.” Jawab Hae Gang.
Hae Gang kemudian menyuruh Hyun Woo untuk meredam amarah Jin Eon.
Hae Gang berkata bahwa Jin Eon benar2 marah padanya setelah melihat
penampilannya. Hae Gang lalu pamit. Dan Hyun Woo bergegas menemui si pemarah
Choi Jin Eon.
Di dalam Jin Eon sedang minum2. Tak lama, Hyun Woo datang dan
memberitahu Jin Eon bahwa Hae Gang bekerja di restoran itu untuk menangkap seorang
pembunuh. Hyun Woo menjelaskan, teman satu sel Hae Gang merupakan karyawan di
restoran itu, dan dia dituduh membunuh dan sedang menjalani hukumannya dan
pelakunya ada di restoran itu.
Jin Eon makin kesal mendengarnya. Ia terus melanjutkan minum2nya
saking kesalnya. Hyun Woo memperingatkan Jin Eon kalau minuman yang diminum Jin
Eon itu kadar alkoholnya sangat tinggi, tapi Jin Eon yang benar2 marah tidak
peduli. Tak lama kemudian, Hae Gang pun datang membawakan makanan.
“Biar aku yang melakukannya.” Ucap Hyun Woo.
“Aku akan melakukannya, silakan duduk. Kalau ada yang melihat, aku
akan dipecat.” Jawab Hae Gang.
Hae Gang lalu memberitahu Hyun Woo bahwa ia selesai bekerja jam
sepuluh. Jin Eon makin melotot mendengarnya. Hyun Woo pun bertanya, kemana Hae
Gang akan pergi setelah selesai bekerja.
“Aku akan mampir mengambil pakaian di Buamdong, dan pergi ke Panti
Asuhan Damai di Huamdong. Putri temanku sedang sakit, jadi aku harus
memberitahukan ibu dari sang anak, bagaimana keadaannya. Itu sebabnya, tanpa
pikir-pikir, aku langsung pergi ke panti asuhan begitu keluar.” Jawab Hae Gang.
“Kalau seorang anak sakit, kau harus pergi ke sana dulu, tak
peduli betapapun kau merindukan dia. Kalau kau orang intelek dan manusia,
membiarkan anak yang sakit sendirian, seseorang tidak boleh berlari menemui
mantan suami. Kau melakukannya dengan baik. Bagaimanapun, Hae Gang, kau wanita
yang tidak terkait dengan pelanggan ini.” ucap Hyun Woo.
“Aku akan berhenti setelah 2 atau 3 hari di sini, jadi jangan
khawatir, Hyun Woo-ssi. Dan juga, silakan minum alkohol-mu secukupnya. Tak
bisakah kau menggantinya dengan bir dari minuman wine beras yang kuat saat ini,
Hyun Woo-ssi?” jawab Hae Gang.
Jin Eon makin2 melotot mendengarnya. Hae Gang pun menatap Jin Eon.
“Melihat wajahmu setelah setahun, setidaknya dengan begini, sangat
menyenangkan, Hyun Woo-ssi. Aku tahu kau tampan dulu, tapi hari ini aku baru
menyadari kau setampan ini, Hyun Woo-ssi.” Ucap Hae Gang.
“Aku tahu. Kapan saja aku memandang cermin aku juga terkejut,
setiap hari.” Jawab Hyun Woo sambil menatap Jin Eon.
Jin Eon yang sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, mengajak
Hyun Woo minum di tempat lain. Hae Gang hanya bisa mengurut dada menghadapi
kemarahan Jin Eon.
Hyun Woo menemani Jin Eon minum. Hyun Woo berkata, kalau Jin Eon
khawatir soal penampilan Hae Gang, mengapa Jin Eon memperlihatkannya.
“Jika aku membuat keputusan besar membawamu ke sana, kau harus
membuat sejarah. Mengapa kau mundur? Mengapa kau bahkan membalikkan sejarah? Bahkan
setelah kau tidak muncul selama setahun, dia mengatakan, senang bertemu denganmu.
Di mata Hae Gang, dia bilang, kau masih tampan. Apa masalahnya? Kapan kau akan
memberikannya cincin?” ucap Hyun Woo.
Tapi Jin Eon diam saja dengan wajah kesal. Hyun Woo pun makin
sebal dibuatnya, ia melonggarkan dasinya dan berkata ia akan pindah keluar
negeri karena tidak tahan melihat tingkah Jin Eon.
“Dia menyembunyikan sesuatu dariku, melihat bahwa akulah
satu-satunya orang yang tak bisa dia beritahukan, aku khawatir hal ini terkait
ayahku, karena hal lain mungkin saja muncul karena begitu aku tanyakan, aku
khawatir semua akan jadi hancur.” Jawab Jin Eon.
“Cinta tidak berusaha mencari jalan lain dan juga tidak pergi
sendirian. Cinta memerlukan hidup yang usang dan terluka dan hidup yang
tertusuk dan ingin menghampirimu di sana. Ini bukan perkataanku, ini kata-kata
dari penyair bijak, jadi cobalah percaya. Percaya. Percaya. Percaya.” Ucap Hyun
Woo.
“Hidup yang usang dan terluka dan hidup yang tertusuk. Dapatkah
aku pergi ke sana?” tanya Jin Eon.
“Katanya itulah cinta! Jangan melihat-lihat ke sekeliling, maju
saja. Pokoknya pergi, kataku! Tolong pergi saja!” ucap Hyun Woo.
Hae Gang pura2 membersihkan lantai kafe. Disaat semua karyawan
sudah pergi, Hae Gang pun mulai mengamati sekelilingnya sambil terus mengepel
lantai kafe. Ia ingat perkataan teman satu selnya yang mantan karyawan di kafe
itu.
“Hati-hati karena di balik
dinding konter, ada kamera CCTV di bingkai bunga. Aku ketahuan, mencuri uang dan
tak bisa berbuat apapun soal itu dan juga dituduh membunuh.”
Dan benar saja, memang ada kamera CCTV di bingkai bunga.
Hae Gang kembali mengingat perkataan temannya. Tangannya mendorong
tangkai pel hingga ke dapur.
“Lensa kacamata. Nyonya
yang sekarat itu menaruh lensa kacamata si pemilik di tanganku Itulah bukti
bahwa si pemilik merupakan pelaku kejahatan. Seorang eonni manajer
memberitahuku saat berkunjung, bahwa dia merenovasi dapur tak lama setelah
istrinya meninggal. Dia bahkan tidak tahu aku memiliki lensa kacamata dan tidak
tahu kapan atau di mana bisa muncul, dia merombak semuanya. Istrinya meninggal,
tapi bukannya menutup restoran, dia merenovasi dapur? Karena syok? Karena
istrinya tewas di dapur? Kalau begitu lumrah memindahkan restoran ke tempat
lain, tapi dia buru-buru melakukan rekonstruksi.”
Tepat setelah Hae Gang keluar dari dapur, si pemilik restoran
masuk ke dapur dan melihat2 dapur dengan wajah cemas.
Hae Gang kemudian masuk ke ruangan si pemilik restoran sambil
pura2 menyapu. Perhatiannya pun langsung tertuju pada foto si pemilik restoran
dengan istrinya yang bertengger di meja. Namun anehnya, foto itu diletakkan
menghadap ke pintu, bukannya menghadap ke arah kursi agar si pemilik bisa
melihatnya setiap saat.
“Aku harus mulai dengan menemukan lensa ini. Mengapa lensa yang
seharusnya pasti berada di rumah tidak ditemukan? Dia dibawa langsung dari
rumah, tapi mengapa tidak?” pikir Hae Gang.
Tiba2, si pemilik restoran masuk dan curiga melihat Hae Gang di
ruangannya. Hae Gang beralasan kalau ia disuruh membersihkan ruangan itu oleh
manajer karena manajer memiliki urusan penting. Si pemilik pun berkata, kalau
ponselnya ketinggalan jadi karena itulah ia kembali padahal mah dia mencurigai
Hae Gang.
“Sudah larut, jadi silakan pulang. Sudah cukup bersih-bersihnya.”
Ucap si pemilik.
“Istrimu sungguh cantik.” Pancing Hae Gang.
“Katanya kecantikan dan keberuntungan jarang saling bergandengan.
Dia meninggal tahun lalu.” jawab si pemilik restoran.
“Mohon maaf.” Ucap Hae Gang.
“Kau tidak bertanya dengan sengaja.” Jawab si pemilik.
“Kalau begitu, apakah sakit?” tanya Hae Gang.
“Dia diserang perampok karena aku mempekerjakan orang jahat. Seorang
karyawan yang menipu pinjaman tertangkap basah oleh istriku, mencuri uang. Sifat
istriku seperti api, tampaknya dia berkelahi, lalu tanpa sengaja dia...”
“Kau masih belum bisa melupakannya, begitu rupanya.” Ucap Hae
Gang, lalu memutar foto itu menghadap ke kursi.
“Aku memutarnya agar hanya kau yang bisa melihatnya. Dengan begini
kau bisa melihat istrimu dengan baik tatkala kau duduk di mejamu. Andai aku
istrimu, aku ingin melihat suamiku lebih dari siapapun.” Ucap Hae Gang.
Hae Gang pun beranjak pergi. Si pemilik restoran menatap kepergian
Hae Gang dengan tatapan curiga.
Hae Gang singgah ke rumahnya di Buamdong. Ia menatap sekeliling
rumahnya dengan penuh kerinduan. Tak lama kemudian, ia terkejut mendapati Jin
Eon yang tidur di kursi. Ada Hyun Woo juga di sana yang ketiduran di sofa. Hae
Gang pun langsung membangunkan Jin Eon.
“Apakah ini benar-benar dirimu, Sayang?” tanya Jin Eon begitu
membuka matanya.
“Ini aku.” jawab Hae Gang.
Jin Eon lalu mengeluhkan kepalanya yang sakit.
“Mengapa kau minum sangat banyak? Jika kau melawan alkohol,
alkohol yang akan menang. Kau pikir kau bisa menang? Mengapa melakukan ini pada
dirimu sendiri dengan bodohnya? Akan kuambilkan obat. Masuklah ke dalam dan
berbaring di tempat tidur.” Ucap Hae Gang.
“Ini bukan karena alkohol. Kepalaku sakit gara-gara dirimu. Gara-gara
dirimu, Sayang, kepalaku mendidih. Demam sepanjang tahun... Kau tertancap di
sini dan tidak pergi-pergi.” Jawab Jin Eon sambil memegangi kepalanya.
“Begitukah? Maaf.” Ucap Hae Gang.
“Dan setiap hari, aku memikirkanmu, aku membebani diriku denganmu
dan kalah padamu. Aku jadi sangat marah. Karena kau yang tidak mau berbuat
seperti keinginan dalam hatiku. Karena aku masih tidak dapat mengerti Do Hae
Gang, membuatku marah.” Jawab Jin Eon.
“Tapi aku berada dalam genggaman eratmu. Tapi aku selalu dipegang
erat oleh Choi Jin Eon. Kau benar-benar tidak tahu?” ucap Hae Gang.
“Tapi aku menginginkan segalanya darimu. Aku ingin semuanya. Aku
ingin memiliki seluruh dirimu.” Jawab Jin Eon.
“Akan kuserahkan segalanya. Akan kuserahkan segalanya padamu,
Sayang. Sungguh. Aku akan memberikan segalanya padamu. Akan kuserahkan
segalanya padamu, Sayang.” Ucap Hae Gang.
Jin Eon pun kembali tertidur.
“Tidurlah di dalam. Kau akan kena pilek atau punggung-mu sakit. Cepat,
bangun. Kau kelewat berat. Aku tak bisa menggendongmu.Terlalu sulit. Tolong
bangun, Sayang.” Pinta Hae Gang.
Jin Eon pun langsung berdiri, tapi saat Hae Gang mau memapahnya ke
kamar, ia menolak dan menyuruh Hae Gang pergi. Jin Eon lantas masuk ke kamar
sendiri. Hae Gang mengikuti Jin Eon. Setibanya di kamar, Jin Eon langsung
rebahan. Dan Hae Gang pun mengambilkan selimut dan bantal yang baru untuk Jin
Eon.
“Aku benar-benar khawatir.” Gumam Jin Eon.
“Aku tahu.” jawab Hae Gang.
“Aku hampir membencimu setengah mati.” Gumam Jin Eon lagi.
Hae Gang lantas melepaskan jam tangan Jin Eon, juga kaos kaki Jin
Eon dan menyelimuti Jin Eon. Hae Gang juga memberikan Hyun Woo selimut. Dan
setelah itu, ia beranjak pergi namun langkahnya tertahan di depan pintu. Ia
menoleh kembali ke pintu kamarnya dan tak lama kemudian ia kembali ke kamarnya
untuk melihat Jin Eon.
Hae Gang mendekati Jin Eon, kemudian berbaring disamping Jin Eon.
Ia tak berkedip memandangi Jin Eon. Hae Gang lalu memegang wajah Jin Eon. Dan
Jin Eon, ia merangkul Hae Hang. Hae Gang tersenyum sembari terus menatap wajah
Jin Eon. Hae Gang kemudian mendekap Jin Eon.
Keesokan harinya, begitu terbangun, Jin Eon heran mendapati
dirinya di kamar. Ia kemudian menghela nafas saat menyadari Hae Gang lah yang
membawanya ke kamar. Jin Eon lantas melihat ke samping dan terkejut melihat Hae
Gang yang tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Jin Eon pun menyibak
selimut dan ia kecewa mendapati yang tidur di sebelahnya adalah Hyun Woo.
Hae Gang sendiri sudah kembali ke panti. Ia tidur bersama anak
teman satu selnya. Tak lama kemudian, Seok dan Ha Joon datang. Ha Joon terlihat
kesal melihat Seok yang memandangi Hae Gang penuh cinta. Seok melarang Ha Joon
berisik agar Hae Gang dan gadis kecil itu tidak terbangun. Tapi Ha Joon yang
cemburu tidak peduli dan membuat suara berisik saat ia mau duduk. Hae Gang
terkejut dan langsung menatap ke arah si gadis kecil.
“Kau harus bangun jika akan bekerja di restoran Tionghoa.” Ucap
Seok.
“Wow, kau datang lebih awal. Aku bisa menemuimu usai kerja.” Jawab
Hae Gang.
“Aku ingin menemuimu secepatnya. Kita harus memecahkan kasusnya.
Ini membuat ibu sang anak tak menentu.” Ucap Seok.
Seok lalu menyodorkan tahu yang sengaja ia bawa untuk Hae Gang.
Seok bilang, Hae Gang belum memakan tahu sejak keluar dari penjara. Hae Pun
berkata akan memakannya setelah menggosok gigi.
“Wajahmu tampak seperti kau tidak cukup tidur. Gara-gara dia?”
tanya Seok.
“Karena penumonia, aku harus mengecek suhunya setiap jam. Tapi
demamnya sudah benar-benar turun dan dia tidur lelap. Kupikir kami sudah
melewatinya.” Jawab Hae Gang.
“Syukurlah. Anak kecil ini sudah melewati banyak hal.” Ucap Seok.
“Itulah kataku.” Jawab Hae Gang.
Ha Joon menatap sebal Hae Gang. Ia lalu membuat suara dengan
berdehem agar Hae Gang dan Seok menyadari keberadaannya di sana. Hae Gang pun
menyapa Ha Joon.
“Tapi kenapa bisa kau memulai pekerjaan begitu pagi, di Hari Sabtu
pula?” tanya Hae Gang pada Ha Joon.
“Uang sewa kelewat mahal, jadi aku tinggal di kantor. Merepotkan
juga pergi bolak-balik. Aku punya matras tidur. Matras tidur zaman sekarang
sangat bagus.” Jawab Ha Joon.
“Kau tidur di atas lantai?” tanya Hae Gang kaget.
“Tidak, di atas meja rapat. Aku bukan pengemis yang tidur di atas
lantai. Aku ini putri kesayangan seseorang juga. Di waktu musim panas, aku
bermaksud memasang hammock (ayunan gantung). Melayang di tengah malam! Bukankah
menurutmu bagus? Keren, kan?” jawab Ha Joon.
Dan Seok pun langsung memberi kode pada Hae Gang, kalau Ha Joon
gila dengan meletakkan tangan di kepalanya. Hae Gang tersenyum geli.
“Kau sudah menyiapkan banding?” tanya Seok.
“Ya. Aku akan periksa lagi besok dan mengajukannya pada Hari
Senin.” Jawab Hae Gang.
“Kau temukan lensa kacamatanya?” tanya Seok.
“Aku sudah 2 kali menyusuri semuanya di rumah 4288, namun tak
dapat menemukannya. Dia bilang ada darah di pakaiannya karena memegang almarhum
korban, jadi dia berlari pulang tanpa pikir-pikir. Dan dia takut dicurigai,
jadi dia menanggalkan pakaiannya dan berkata lensanya pasti ada di dalam saku.”
Jawab Hae Gang.
“Melihat catatannya, disebutkan dia ditangkap seketika saat sedang
mencuci pakaian yang berdarah di rumah. Kalau begitu pasti ada di rumah. Apakah
si pemilik mengambilnya? Kudengar dia mengobrak-abrik dapur. Jika dia
mengambilnya, dia tidak akan merenovasi dapur.” Ucap Seok.
“Ya. Aku sudah pastikan dia mengganti kacamata. Dia memakai
kacamata berbeda dari yang di foto. Bukan foto lama, jadi kita tinggal
memastikannya pada toko kacamata yang dia datangi, bahwa mereka menggantinya.”
Jawab Hae Gang.
“Mungkin dia menggantikannya sehari setelah insiden atau sehari
setelahnya, karena dia tak bisa hidup tanpa kacamata.” Ucap Seok.
“Kita harus berdoa semoga demikian perkaranya.” Jawab Hae Gang.
“Apakah rumah itu tidak memiliki anjing? Saat sesuatu benar-benar
lenyap seperti itu, kemungkinan besar seekor anjing melakukannya. Hanya ada
satu kamar, dan hanya ada seorang ibu dan anak perempuan tinggal di sana.” Ucap
Ha Joon.
“Jika kita tak dapat menemukan lensa kacamatanya, kita harus
membuktikan sang ibu tidak bersalah dengan menyerang balik setiap desakan jaksa
penuntut. Lihat saja catatannya, kau akan tahu investigasi awalnya kurang dan
ini merupakan investigasi yang ditargetkan. Mereka menyalahkannya dan
menuntutnya atas pembunuhan berdasarkan satu klip video CCTV.” Jawab Seok.
“Dengan 2 pengacara handal, apa yang harus dikhawatirkan?” puji
Hae Gang.
“Termasuk kau, ada 3.” Ucap Seok.
“Izin praktikku dibekukan.” Jawab Hae Gang.
“Kau sudah dibekukan, namun pengetahuanmu yang berguna tidak
hilang semua. Tak maukah kau datang ke kantor? Kami tak punya manajer kantor.”
ucap Seok.
“Setelah kudiskusikan dengan suamiku.” Jawab Hae Gang.
“Apa? Suami?” kaget Ha Joon.
“Mulai sekarang, aku akan diskusikan segalanya dengan dia sebelum
memutuskan.” Jawab Hae Gang.
Jin Eon dan Hyun Woo duduk di sofa dengan penampilan yang masih
awut2an. Hyun Woo mengaku tidak mau pergi bekerja. Jin Eon pun berkata, kalau
itu hari Sabtu. Hyun Woo bersyukur karena hari itu memang hari libur sehingga
ia tidak perlu ke kantor.
“Tapi apakah kau melepaskan pakaianku?” tanya Jin Eon.
“Jika aku ingat itu, aku pasti manusia.” Jawab Hyun Woo.
“Betul.” Ucap Jin Eon sambil senyum2.
“Karena kau tidak bisa ingat, percaya saja yang kau mau. Berapa
banyak Hae Gang melepasnya?” tanya Hyun Woo.
“Jam tangan dan kaos kaki serta sweater-ku.” Jawab Jin Eon.
“Kau gemetar hanya karena itu? Karena kau tak bisa mengingatnya,
kau kesal sekarang?” tanya Hyun Woo.
Jin Eon pun membenarkannya.
“Apa yang begitu kau sukai?” tanya Hyun Woo.
“Umur 20-an ku, 30-an , dan umur 40-an ku. Dia miliki semua.”
Jawab Jin Eon.
“Luar biasa menjijikkan.” Ucap Hyun Woo.
“Aku gemetar.Dia masih membuatku gemetar. Bahkan kemarin, kupikir
jantungku akan berhenti.” Ucap Jin Eon.
“Menjengkelkan sekali. Ke mana perginya wanita itu, yang tidak ada
kaitannya denganmu?” tanya Hyun Woo.
“Kau tahu, kan?” jawab Jin Eon.
“Kalau begitu, kau menyerah lagi padanya dengan bendera putih?
Untuk memulai hidup baru?” tanya Hyun Woo.
“Aku harus membuatnya datang memegang bendera putih.” Jawab Jin
Eon.
Seok memberitahu Hae Gang kalau hasil analisa tulisan tangan
Presdir Choi pada surat pernyataan akan selesai minggu depan. Hae Gang pun
berkata kalau malam itu ia mendengar ayah mertuanya tidur setelah minum obat
penenang, jadi ayah mertuanya tidak mungkin keluar menemui jaksa. Ditambah
lagi, ayah mertuanya hanya memakai pena tinta.
“Kalau begitu, katamu jaksa membuat surat pernyataan palsu memakai
pemalsu?” tanya Seok.
“Mungkin.” jawab Hae Gang.
“Omong kosong apa ini! Si Keparat itu baru saja dipromosikan jadi
Kepala Jaksa.” Gerutu Seok.
“Lalu kenapa? Dia kan akan segera dipecat.” Ucap Hae Gang.
“Lalu bagaimana dengan Wakil Presiden Choi Jin Ri? Kepala Jaksa
bisa saja dipecat,tapi apa yang akan kau lakukan mengenai wanita itu, Choi Jin
Ri? Keduanya berbuat salah, namun seseorang dihukum dan yang lainnya diampuni.
Salah seorang terekspos, dan yang lainnya ditutup-tutupi.” Jawab Seok.
“Kau juga menginginkanku agar menutupinya, kan?” tanya Hae Gang.
Seok bingung, apa?
“Karena kita manusia lemah, karena kita bukan Tuhan yang membuat
kita mengambil tindakan bukan hukum, melainkan kehidupan itu sendiri. Kupikir
ini tugas sulit. Melakukan hal yang benar, membuat keputusan yang tepat, hidup
dengan benar, maksudku. Pasti itu sebabnya kita hidup bersama. Yang tak bisa
kulakukan, kau yang lakukan dan keputusan yang tak bisa kau buat, aku
melakukannya untukmu. Dengan demikian, kita hidup saling mengisi kekurangan.”
Jawab Hae Gang.
“Apakah kau mendapatkan kebangkitan spiritual sendiri di sana?”
tanya Seok.
“Tidak, tidak juga. Kami berkumpul, saling cekcok dan hidup
bersama setiap hari, saling membenci,dan saling bersandar, setiap saat bersama.”
Jawab Hae Gang sembari tertawa.
Jin Ri yang baringan di kasurnya, mengecek ponselnya dan kecewa
karena tidak ada kabar dari Tae Seok. Jin Ri lalu mengelus bantal milik Tae
Seok di sampingnya dengan penuh kerinduan.
Tae Seok sendiri yang tengah berada di kebun Strawberry terlihat
pucat. Tak lama kemudian, ia batuk dan pria berkulit hitam menghampirinya.
“Kimchi, kau sakit?” tanya pria itu.
“Bukan Kim-chi, tapi Kim-ssi.” Jawab Tae Seok.
“Ah, maaf. Kau sakit, Kim-ssi? Di mana yang sakit?” tanya pria itu
lagi setelah meminta maaf. Hmm.. jadi Tae Seok mengubah panggilannya menjadi
Tuan Kim.
“Ini flu.” Jawab Tae Seok.
“Sudah minum obat?” tanya pria itu.
“Belum.” Jawab Tae Seok.
“Aku punya obat pilek. Kau mau minum?” tanya pria itu.
“Terima kasih.” Jawab Tae Seok.
“Kau tak punya rumah? Kau tak punya keluarga?” tanya pria itu.
“Siapa namamu?” Tae Seok bertanya balik.
“Dennis Hason. Nama Korea-ku Hyun Bin.” Jawab pria itu.
“Hei, Dennis Hason, kalau kau Hyun Bin, aku Won Bin.” Ucap Tae
Seok.
“Kau lihat Ahjusshi?” tanya Tae Seok kemudian.
“Aku sudah sering melihatnya.” Jawab Dennis.
“Di dalamnya, bukankah Won Bin berkata, Kau hidup hanya melihat
hari esok, kan. Mereka yang hidup hanya untuk hari esok akan dibunuh oleh mereka
yang hidup untuk hari ini. Aku hidup hanya untuk hari ini. Akan kutunjukkan
padamu betapa menjijikkannya." Ucap Tae Seok.
Seorang wanita yang bekerja di sana juga datang dan memberikan
obat pada Tae Seok. Tae Seok terkejut melihat obatnya, itu adalah Ssanghwasan.
Saat Tae Seok tengah meminum obatnya, si pemilik kebun datang dan langsung
memarahi Tae Seok. Ia menyebut Tae Seok pria tak berguna dan bahkan memecat Tae
Seok dan menolak menggaji Tae Seok. Ia juga berkata, Tae Seok tidak memiliki hari
esok saat Tae Seok berkata akan bekerja keras mulai besok. Tae Seok pun kesal.
“Begitukah? Aku tak punya hari esok, terus? Apanya yang salah akan
hal itu? Tak bolehkah orang tanpa hari esok sakit? Aku bilang aku sedang sakit.
Aku sangat sakit! Tubuh dan hatiku benar-benar, sangat sakit, dasar brengsek!”
ucap Tae Seok.
“Sampah!” maki si pemilik kebun.
Dikatai sampah, membuat Tae Seok mencengkram kerah si pemilik
kebun. Tapi si pemili kebun tidak takut dan mengancam akan memanggil polisi. Ia
berkata, bahwa ia tahu Tae Seok seorang buronan. Tae Seok kesal, ia pun
beranjak meninggalkan kebun itu.
Hae Gang menghampiri Ha Na yang asyik dengan bonekanya. Hae Gang
meminta Ha Na menciumnya agar ia mendapatkan tambahan energy. Tapi Ha Na diam
saja. Lalu, pemilik panti masuk dan berkata kalau Ha Na sedang berusaha
melepaskan diri dari Hae Gang. Ha Na lalu beranjak keluar, dengan wajah murung.
“Kupikir kita bisa mengawasinya saja hari ini dan mulai besok dia
bisa tinggal bersama anak-anak lain. Bagaimanapun, kau sudah bekerja keras.”
Ucap pemilik panti.
“Dia tidak sekalipun menanyakan ibunya.” Jawab Hae Gang.
“Secara naluriah dia tahu bahwa ibunya meninggalkannya.” Ucap
pemilik panti.
“Dia tidak meninggalkannya.” Jawab Hae Gang
Tampak Ha Na mengintip Hae Gang dari balik pintu. Namun begitu Hae
Gang melihatnya dan tersenyum padanya, ia terkejut dan langsung menyembunyikan
dirinya.
“Tapi aku akan datang nanti malam. Aku juga akan tidur denganmu
nanti malam. Mulai besok, tidurlah dengan baik bersama teman-temanmu, tapi nanti
malam bersamaku, oke, Ha Na-ya.” ucap Hae Gang.
Ha Na pun mendekati Hae Gang.
“I love you. Ibumu ingin agar aku memastikan menyampaikan hal itu
padamu.” Ucap Hae Gang.
Hae Gang pun mencium pipi Ha Na dan berkata, itu kecupan dari ibu
Ha Na. Ha Na pun langsung memeluk Hae Gang. Hae Gang menepuk2 punggung Ha Na.
Ia tampak iba pada Ha Na. Pemilik panti lantas mengajak Ha Na keluar. Sebelum
keluar, Ha Na mengambil sesuatu dari kotak mainannya dan memberikannya pada Hae
Gang. Sebuah gelang.
“Kau memberikan ini untukku?” tanya Hae Gang.
“Ya.” jawab Ha Na. Dan Hae Gang pun langsung memakainya.
Begitu Ha Na keluar, Hae Gang melihat ke arah kotak mainan Ha Na
dan teringat ucapan Ha Joon.
“Apakah rumah itu tidak
memiliki anjing? Biasanya saat benda benar-benar hilang, kemungkinan besar
seekor anjing yang melakukannya. Hanya ada satu kamar, dan katamu hanya ada Ibu
dan anak yang tinggal di sana.”
Hae Gang pun menyadari sesuatu dan segera memeriksa kotak mainan
Ha Na. Dan benar saja, ia menemukan lensa kacamata yang dicari2nya di dalam
kotak mainan Ha Na.
“Terima kasih, Ha Na. Kau menyelamatkan ibumu.” Gumam Hae Gang.
Dengan sisa2 tenaganya, Tae Seok berjalan menuju Kediaman Choi. Ia
memilih memencet bel meski ia tahu apa password rumahnya. Nyonya Hong yang
menjawab. Tapi tak kelihatan siapapun di layar intercom. Saat ia bertanya, tak
ada jawaban. Nyonya Hong pun heran. Sementara Tae Seok bergumam…
“Jin Ri-ya, aku datang. Tolong...
Selamatkan aku, yeobo. Yeobo.”
Perawat Sohn pun datang. Nyonya Hong mengeluh karena Hae Gang yang
belum menghubunginya. Perawat Sohn terkejut mengetahui Hae Gang sudah
bebas. Nyonya Hong berkata, minggu lalu
saat ia pergi mengunjungi Hae Gang, Hae Gang berkata dia akan keluar kemarin.
“Kau baik-baik saja dengan menantu mantan napi?” tanya Perawat
Sohn.
“Memangnya semua mantan napi sama? Siapa yang kau panggil mantan
napi? Kau tidak tahu anak kami? Di matamu, apakah dia kelihatan seperti
penjahat?” protes Nyonya Hong.
“Aku mengerti, aku mengerti.” Jawab Perawat Sohn.
Jin Ri turun dan ia sebal ibu tirinya memuji2 Hae Gang.
“Itu menimpanya karena melakukan pekerjaan untuk ayah mertuanya,
melakukan pekerjaan untuk perusahaan. Dan juga, apabila putrimu jadi mantan
napi, kau mengabaikannya? Saat tahu aku menderita demensia, dia bilang dia
tetap akan jadi anak menantuku. Dengan rajin dia menuliskan surat pada ibu
mertuanya yang mengidap demensia, selagi di dalam sana. Mana bisa aku abaikan
orang seperti itu? Buat apa?” ucap Nyonya Hong.
“Anak menantu apa? Aku tak pernah bisa membawa masuk Do Hae Gang
ke dalam rumah ini. Jika kau ingin melihatku terpenjara juga, bawa dia masuk
sebagai anak menantu. Tak peduli aku ini bukan putrimu, aku seperti ini
gara-gara dia.” kesal Jin Ri.
“Jika aku bicara sepertimu, suamimu-lah orang yang membuat suamiku
ambruk dan kau bahkan bukan putriku. Haruskah aku berpaling darimu? Dan
meskipun Menantu Min hidup kembali, haruskah aku mengusirnya, tidak
membiarkannya menginjakkan kaki di rumah ini? Mengapa kau hanya memikirkan
dirimu sendiri, selalu berkata, Ibu Tiri, Ibu Tiri? Meskipun kau mungkin
bahagia mengatakannya seperti itu, aku merasa sangat tak berarti tatkala
mendengarnya. Kaulah orang yang membangun dinding. Kaulah orang yang berpihak. Kaulah
orang yang tidak menganggapku sama sekali. Aku sudah menjadi hantu bagimu
seumur hidupmu. Tidak seperti dirimu, aku tak sempat. Tiap hari berharga. Itu
sebabnya tidak ada yang tak bisa kumaafkan. Bahkan hal-hal yang memerlukan
waktu setahun untuk dimaafkan bagi orang lain, aku bisa memaafkan dalam sehari.
Begitulah adanya. Pada akhirnya, kebencian dan kemarahan persis seperti itu. Mungkin
saja menyelesaikan dan menghilang. Jangan rusak masa sekarang dengan kemarahan
yang bahkan tak bisa kau ingat dalam beberapa tahun. Masa sekarang merupakan waktu
yang berharga juga. Kuharap kau akan lebih cepat menyadarinya ketimbang diriku,
Jin Ri-ya. Hidup ini singkat.” ucap Nyonya Hong panjang lebar.
Suara bel kembali berbunyi. Jin Ri sewot karena tidak ada siapapun
di layar intercom. Saat ia mau pergi, ia terkejut melihat Tae Seok di layar
intercom. Nyonya Hong mendekati Jin Ri. Jin Ri pun langsung mematikan layar
intercom dan berkata tidak ada siapapun diluar.
Saat Nyonya Hong dan Perawat Sohn lengah, Jin Ri langsung keluar.
Ia menemukan Tae Seok yang duduk dan pingsan tak jauh dari rumahnya. Jin Ri
panic. Ia menangis dan berusaha membangunkan Tae Seok. Tae Seok pun akhirnya
sadar.
“Senang bertemu denganmu, Jin Ri-ya.” ucap Tae Seok.
“Ayo ke rumah sakit. Ayo cepat pergi ke rumah sakit.” Ajak Jin Ri.
“Tidak. Aku tak bisa ke rumah sakit.” Jawab Tae Seok.
“Kau tak bisa. Kau tak bisa pergi. Kalau begitu, bagaimana ini?”
tanya Jin Ri.
“Aku akan melihat wajahmu dan pergi. Karena aku sudah melihat
wajahmu, aku pergi.” Jawab Tae Seok.
“Tidak, aku tak mau! Aku tak bisa membiarkanmu pergi. Aku tidak
akan membiarkanmu pergi. Aku tidak akan mengirimkanmu pergi!” ucap Jin Ri.
Dan, Tae Seok pun kembali pingsan.
“Sayang! Sayang, Sayang! Ada apa? Sadarlah.” Pinta Jin Ri.
Jin Ri lalu masuk ke rumah. Sendirian. Ia langsung mengajak Nyonya
Hong main kartu bertiga dengan Perawat Sohn, tapi di kamar Nyonya Hong. Tentu
saja, itu untuk mengalihkan perhatian Nyonya Hong. Setelah bermain satu ronde
dan dimenangkan Perawat Sohn, Jin Ri pun beranjak keluar sementara Nyonya Hong
dan Perawat Sohn terus bermain.
Jin Ri memapah Tae Seok ke kamar. Sampai di kamar, ia langsung
membaringkan Tae Seok di kasur. Tae Seok mulai menggigil. Jin Ri pun mengelap
wajah dan tangan Tae Seok dengan handuk basah. Jin Ri kemudian menangis.
Jin Ri lalu turun ke bawah sambil memikirkan harus memberikan Tae
Seok bubur atau obat dulu. Jin Ri pun memutuskan memberikan obat dulu dan
beranjak ke dapur. Namun ia terpeleset begitu mendengar suara Jin Eon.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jin Eon sambil memegangi Jin Ri.
“J-Jin Eon... Aku baik-baik saja. Sungguh baik-baik saja.” Jawab
Jin Ri gugup.
“Kau merasa sakit?” tanya Jin Eon.
“Sakit? Selain hatiku, aku baik-baik saja.” Jawab Jin Ri.
“Bangun. Ayo ke kamarmu. Berbaring di tempat tidurmu.” Ucap Jin Eon
hendak memapah Jin Ri.
“Apa? Mengapa? Mengapa, apa? Mengapa, mengapa? Apa?” tanya Jin Ri
panic.
“Apa?” tanya Jin Eon bingung.
“Aku turun untuk mengambil air.” Jawab Jin Ri.
“Akan kuambilkan untukmu. Duduk di sini. Tampaknya sulit bagimu
berdiri.” Ucap Jin Eon.
Saat Jin Eon ke dapur, Jin Ri mau kabur tapi Jin Eon keburu
datang. Jin Ri pun terpaksa kembali duduk dan meminum air putih yang dibawakan
Jin Eon. Jin Ri lantas menyuruh Jin Eon istirahat, tapi Jin Eon mau menemani
Jin Ri ke kamar. Jin Ri makin panic.
“HEI! Aku tidak mau berbaring! Aku TIDAK BERBARING! Aku tidak mau
pergi ke lantai atas denganmu! Lebih baik mati! Bagaimana bisa kau begitu tak
mengerti? Jangan pedulikan diriku! Jangan pedulikan dan bahkan jangan pergi ke
dekat-dekat kamarku!”
Jin Ri berlari ke atas, tapi sampai di tangga ia kembali
terpeleset. Jin Eon mau membantu Jin Ri, tapi Jin Ri langsung berteriak,
melarang Jin Eon mendekatinya. Jin Ri pun kembali ke kamarnya sambil meringis
kesakitan memegangi kakinya. Setibanya di kamar, Jin Ri menatap Tae Seok
bingung. Ia tak tahu harus melakukan apa.
Seol Ri yang berada di kantornya mengambil air dan ia langsung
teringat pada Gang San yang tak sengaja menjatuhkan galon air, sehingga air itu
membasahi sepatunya. Gang San pun langsung meminjamkan sepatunya pada Jin Ri.
Hal itu membuat ingatan Jin Ri melayang ke masa lalu.
Flashback…
Jin Eon menghampiri Seol Ri
di tengah hujan deras. Jin Eon memberikan payung, serta meminjamkan sepatunya,
bahkan membantu Seol Ri memakai sepatunya.
Flashback…
Ingatan Seol Ri itu langsung buyar karena Gang San datang dan
menegurnya.
“Kau mengenalku, kan?” tanya Gang San. Tapi Seol Ri diam saja.
“Nah, tidak apa. Mari kita mulai kembali. Aku mahasiswa tahun ke-4
di Jurusan Arsitektur, Geum Gang San. Meskipun lebih sopan memanggilmu
Instruktur Kang, aku akan memanggilmu Sunbae Kang saja.” Jawab Gang San.
0 Comments:
Post a Comment